louisé


Gunhak membuka gulungan kertas yang ke-99. Tertulis di sana, 'jangan lupa bahagia, ya<3'

Tentu.

Sekarang sudah 99 hari setelah Dongju pergi. Gunhak masih belum bisa membuka hati untuk orang lain. Hatinya benar-benar dibawa Dongju.

Hari sudah sore. Ia masih berada di kafe bersama teman-temannya. Lebih tepatnya di lahan parkirnya. Ia sedang berada di mobilnya.

Toplesnya selalu ia taruh di mobilnya. Agar ingat kalau saja berpergian. Kadang ia membuka suratnya ketika masih pagi sebelum berangkat ke kampus, kadang pun sore seperti sekarang ini.

Lagu Reminisce About All berputar sebagai background music. Membuat ia menyesali kenapa dirinya tak ada di tempat ketika kejadian itu berlangsung.

Ya, tapi, semua sudah terjadi. Ia tidak bisa memundurkan waktu.

Why did i not know? Why did it hurt?

Mengambil pulpen dari tasnya, juga secarik kertas, kemudian ia tuliskan-

day 100- I love you till death

Setelah itu, ia menggulungnya, kemudian ia satukan dengan surat-surat di toples dari Dongju.

“99 hari itu berapa bulan sih..?” ia bertanya kepada dirinya sendiri. Men-starter mobilnya lalu keluar dari area parkir.

“Ah, iya, sekitar 3 bulanan ya. Apa 4 bulan? Ah, pusing.”


Perjalanan menuju apartemennya lumayan macet. Sudah hampir 3 jam ia berada di daerah yang sama dengan kampusnya. Akhirnya ia pun mencari jalan pintas.

Jalan pintasnya lumayan sepi, tapi juga lumayan gelap kalau malam. Makanya kalau sudah malam begini sedikit yang lewat.

Gunhak berbelok di pertigaan jalan. Suasana mobil hanya diisi dengan suara dari radio, entah lagu yang disetel ataupun penyiar radio yang mengobrol lucu.

Karena dirasanya sangat sepi, jadi dia menaikan kecepatan mobilnya. Ia merasa sangat lelah hari ini, jadi ingin cepat berbaring di kasur.

Pikirannya kembali ke masa lalu. Ke masa-masa indah ketika Dongju masih bersamanya. Yah, tidak semuanya indah. Tapi, apa itu hubungan kalau tidak ada bumbu penyedap sedikitpun?

Ia ingin kembali ke masa lalu. Ia masih ingin bersama Dongju. Ia rindu Dongju.

Gunhak menghela napas. Ia merasa dirinya semakin gila tanpa Dongju. Benar-benar rindu Dongju.

I'm always in your heart, tulis Dongju di salah satu kertas dalam toplesnya.

Kalau Dongju tau dirinya yang sedang tidak bahagia, pasti Dongju akan sangat sedih. Ia tak mau Dongju sedih karena dirinya yang payah.

Matanya berkaca-kaca membayangkan kejadian hari itu. Membayangkan Dongju yang terbaring lemas di lantai kamar mandi dengan mulut yang penuh darah, wajahnya yang mulai membiru.

Pasti rasanya sakit sekali sampai-sampai Dongju menyerah terhadap hidupnya.

Ia mendongakkan kepalanya, mencegah air matanya untuk keluar. Kemudian fokus menyetir lagi.

Tanpa diduga, ada sebuah truk yang dikemudikan secara ugal-ugalan menuju ke arahnya, membuatnya banting stir.

Mobilnya terhantam keras ke separator jalan sampai terguling.

Kepalanya pusing. Jarinya memegang kepalanya, berdarah, cukup menjelaskan cairan dingin yang mengalir turun dari kepalanya. Hidungnya mimisan. Tulang kakinya terasa patah.

Matanya yang perlahan meredup mencoba mencari orang di dekat lokasinya.

Darah yang dikeluarkannya lumayan banyak. Membuat dirinya terasa sangat pusing, semua terasa seperti berputar.

“Dongju.. Tolong..”

Kupingnya tidak dapat menangkap suara lagi. Matanya melirik ke toples dari Dongju. Pecah. Semua suratnya berhamburan. Matanya yang menitikkan air mata perlahan tertutup, ingin menyudahi rasa sakit yang dirasakannya sekarang.

Napasnya perlahan terpotong. Sampai akhirnya ia menghembuskan napasnya untuk terakhir kalinya.

Gunhak telah pergi. Menyusul Dongju di alam sana.


END


Gunhak membuka gulungan kertas yang ke-99. Tertulis di sana, 'jangan lupa bahagia, ya<3'

Tentu.

Sekarang sudah 99 hari setelah Dongju pergi. Gunhak masih belum bisa membuka hati untuk orang lain. Hatinya benar-benar dibawa Dongju.

Hari sudah sore. Ia masih berada di kafe bersama teman-temannya. Lebih tepatnya di lahan parkirnya. Ia sedang berada di mobilnya.

Toplesnya selalu ia taruh di mobilnya. Agar ingat kalau saja berpergian. Kadang ia membuka suratnya ketika masih pagi sebelum berangkat ke kampus, kadang pun sore seperti sekarang ini.

Lagu Reminisce About All berputar sebagai background music. Membuat ia menyesali kenapa dirinya tak ada di tempat ketika kejadian itu berlangsung.

Ya, tapi, semua sudah terjadi. Ia tidak bisa memundurkan waktu.

Why did i not know? Why did it hurt?

Mengambil pulpen dari tasnya, juga secarik kertas, kemudian ia tuliskan-

day 100- I love you till death

Setelah itu, ia menggulungnya, kemudian ia satukan dengan surat-surat di toples dari Dongju.

“99 hari itu berapa bulan sih..?” ia bertanya kepada dirinya sendiri. Men-starter mobilnya lalu keluar dari area parkir.

“Ah, iya, sekitar 3 bulanan ya. Apa 4 bulan? Ah, pusing.”


Perjalanan menuju apartemennya lumayan macet. Sudah hampir 3 jam ia berada di daerah yang sama dengan kampusnya. Akhirnya ia pun mencari jalan pintas.

Jalan pintasnya lumayan sepi, tapi juga lumayan gelap kalau malam. Makanya kalau sudah malam begini sedikit yang lewat.

Gunhak berbelok di pertigaan jalan. Suasana mobil hanya diisi dengan suara dari radio, entah lagu yang disetel ataupun penyiar radio yang mengobrol lucu.

Karena dirasanya sangat sepi, jadi dia menaikan kecepatan mobilnya. Ia merasa sangat lelah hari ini, jadi ingin cepat berbaring di kasur.

Pikirannya kembali ke masa lalu. Ke masa-masa indah ketika Dongju masih bersamanya. Yah, tidak semuanya indah. Tapi, apa itu hubungan kalau tidak ada bumbu penyedap sedikitpun?

Ia ingin kembali ke masa lalu. Ia masih ingin bersama Dongju. Ia rindu Dongju.

Gunhak menghela napas. Ia merasa dirinya semakin gila tanpa Dongju. Benar-benar rindu Dongju.

I'm always in your heart, tulis Dongju di salah satu kertas dalam toplesnya.

Kalau Dongju tau dirinya yang sedang tidak bahagia, pasti Dongju akan sangat sedih. Ia tak mau Dongju sedih karena dirinya yang payah.

Matanya berkaca-kaca membayangkan kejadian hari itu. Membayangkan Dongju yang terbaring lemas di lantai kamar mandi dengan mulut yang penuh darah, wajahnya yang mulai membiru.

Pasti rasanya sakit sekali sampai-sampai Dongju menyerah terhadap hidupnya.

Ia mendongakkan kepalanya, mencegah air matanya untuk keluar. Kemudian fokus menyetir lagi.

Tanpa diduga, ada sebuah truk yang dikemudikan secara ugal-ugalan menuju ke arahnya, membuatnya banting stir.

Mobilnya terhantam keras ke separator jalan sampai terguling.

Kepalanya pusing. Jarinya memegang kepalanya, berdarah, cukup menjelaskan cairan dingin yang mengalir turun dari kepalanya. Hidungnya mimisan. Tulang kakinya terasa patah.

Matanya yang perlahan meredup mencoba mencari orang di dekat lokasinya.

Darah yang dikeluarkannya lumayan banyak. Membuat dirinya terasa sangat pusing, semua terasa seperti berputar.

“Dongju.. Tolong..”

Kupingnya tidak dapat menangkap suara lagi. Matanya melirik ke toples dari Dongju. Pecah. Semua suratnya berhamburan. Matanya yang menitikkan air mata perlahan tertutup, ingin menyudahi rasa sakit yang dirasakannya sekarang.

Napasnya perlahan terpotong. Sampai akhirnya ia menghembuskan napasnya untuk terakhir kalinya.

Gunhak telah pergi. Menyusul Dongju di alam sana.


END


Chapter 11


Hari demi hari berlalu. Tak banyak yang bisa dilakukan mereka berdua mengingat keadaan Dongjju. Jadi mereka hanya menghabiskan waktu di kamar milik Dongju.

Pergelangan kaki Gunhak sudah mulai membaik. Bahkan perkembangannya terhitung cepat. Dan baru kemarin ia mengucapkan selamat tinggal pada gipsum yang membungkus kakinya.

Berbanding terbalik dengan Dongju. Dongju akhir-akhir ini jadi sering batuk berdarah. Bahkan beberapa kali pingsan saking sakitnya. Kadang wajahnya sampai membiru karena sesaknya saluran pernapasannya.

Terlepas itu semua, ia masih tetap giat menulis surat-suratnya. Kemarin ketika ada Hwanwoong menjenguk, ia menitipkan sebuah surat untuk nanti diberikan ke Gunhak kalau ia tiba-tiba saja kritis. Sekarang sudah ada 95 surat. Pencapaian yang tentu saja di luar dugaan.

Hari sudah mulai malam, tapi belum ada kejadian batuk atau muntah berdarah. Membuat Gunhak merasa agak lega. Tadi ia habis menyuapi Dongju makan sementara Dongju menonton tv.

Selama di kamarnya, ia jarang sekali menyalakan tv. Biasanya hanya sibuk sendiri atau karena sibuk berduaan dengan Gunhak.

Sesekali ia menanyai ada kejadian apa saja di kampus. Dan berujung dengan membicarakan teman-temannya.

Seoho dan Keonhee yang tiba-tiba jadian yang padahal hampir setiap hari bergelut terus-terusan, Youngjo dan Giwook yang menjadi produser musik, Yonghoon yang tidak pernah berhenti mengusili Dongmyeong dan Hyungu, Harin yang tiba-tiba belajar dance, sampai Hwanwoong yang mencoba memasak kue sendiri dan berujung gagal dengan Youngjo sebagai target percobaan. Banyak lagi.

Ah, Dongju melewatkan banyak hal.

Ia rindu berangkat ke kampus, bertengkar dengan kembarannya dan juga Hwanwoong, lalu pulang bersama Gunhak.

Ia rindu masa-masa leukimia-nya belum terlalu parah.

Dongju mematikan tv-nya, “Ah, acaranya kurang seru, bosen.” Ia berbicara pada dirinya sendiri.

Dongju sedang sendirian di kamarnya. Gunhak tadi pergi membeli minum untuk mereka berdua. Baru beberapa menit yang lalu Gunhak keluar dari kamarnya.

Dongju pun melanjutkan menulis surat-suratnya. 5 buah lagi untuk mencapai 100.

Apakah ia bisa memberikan toples ini langsung pada kekasihnya?


Setelah menggulung dan memasukan kertas yang ke-99 ke dalam toples, tiba-tiba ia terbatuk. Awalnya hanya batuk kecil, tapi makin lama makin keras dan sakit. Membuat dirinya panik sendiri. Tangannya berusaha menggapai tisu yang berada di seberang mejanya, namun tidak sampai. Darahnya menetes ke lengan bajunya dan telapak tangannya.

Ia berusaha berdiri dan berjalan ke toilet, tapi selang napasnya yang terhubung ke tangki oksigen menahannya, jadi ia lepas secara paksa.

Sampai di wastafel kamar mandi, ia langsung memuntahkan banyak darah, membuat mulutnya merah. Wajahnya pucat. Perut dan tenggorokannya terasa sakit sekali. Kepalanya pening. Mulutnya terus-terusan memuntahkan darah tanpa bisa ia kendalikan.

“Sakit..” rintihnya.

Satu tangannya menopang tubuhnya dengan memegang pinggiran wastafel, berusaha untuk tetap sadar. Satu tangannya lagi memegang perutnya yang sakit. Air keran mengucur keras membersihkan darah yang ada di wastafel. Kedua lengan bajunya merah dan basah.

“Ga.. kuat..”

Penglihatannya semakin buram, gelap.


Gunhak baru saja kembali dari kafeteria sambil membawa dua botol minuman ion.

Kakinya berjalan menyusuri lorong, kemudian berhenti di depan kamar Dongju. Beberapa kali mengetuk pintu tapi tidak mendapat jawaban, akhirnya Gunhak pun masuk sendiri.

Ceklek

Kamarnya sepi.

'Dongju kemana?' pikirnya.

Melihat selang oksigen di kasur dan tetesan darah di lantai membuat dirinya merasa panik. Ia menaruh minumannya di meja dan langsung mengecek ke kamar mandi. Beberapa kali mengetuk namun tak kunjung mendapatkan jawaban dari dalam sana, akhirnya Gunhak membuka pintunya.

“Tidak, tidak, tidak. Jangan dulu.”

Gunhak langsung menghampiri Dongju. Berjongkok di samping tubuh Dongju. Merasa bingung harus apa, ia menepuk pelan pipinya, “Dongju sayang, ayo bangun yok. Jangan sekarang, jangan begini, please.”

Air matanya menetes karena perasaan yang ia rasakan sekarang. Antara bingung, panik, takut. Semuanya jadi satu.

Ia mengecek denyut nadi Dongju, hampir tidak terasa. Dirinya semakin panik.

Gunhak lalu berlari keluar, mencari suster maupun dokter yang lewat. Beruntung, ada suster yang akrab dengan Dongju baru saja melewati lorong. Ia pun langsung meminta bantuan untuk mengangkut Dongju.


Dua jam Dongju berada di UGD. Dan masih belum ada kabar apapun.

Ada semua temannya datang menemani. Mereka pun kaget mendengar kabar Dongju yang sudah tak sadarkan diri di kamar mandi dengan mulut yang penuh darah.

Di sinilah mereka, menemani Gunhak sekaligus menunggu kabar tentang Dongju di dalam sana.

Gunhak dari tadi terus-terusan melangkah ke sana-sini. Gelisah. Sesekali menengok ke jendela ruang UGD. Matanya yang berkaca-kaca terus memperhatikan Dongju yang terbaring lemah dengan masker oksigen berada di wajahnya. Alat monitor jantung pun terlihat di sampingnya, menunjukan detak jantung Dongju yang melemah. Dengan dokter-dokter yang mengelilingi berusaha menyelamatkan Dongju.

Semuanya takut, takut Dongju tiba-tiba menghembuskan napas terakhirnya di dalam sana.

Dongju benar-benar sedang berada di ambang hidup dan matinya.

Gunhak yang semakin takut hanya membalikkan badannya, membelakangi jendela UGD. Dirinya terus berharap Dongju akan tetap hidup.

Sementara yang Hwanwoong lihat di dalam sana, monitor jantung menunjukan garis lurus, dengan angka 0 mengindikasikan jantung Dongju telah berhenti.

Para dokter dan suster yang ada di dalam sana pun berhenti, menundukan kepalanya. Kemudian salah satunya keluar dari UGD.

Gunhak langsung menghampiri dokternya, “Gimana dok?! D-dia-dia masih hidup kan? Dia s-selamat??!”

Sang dokter hanya terdiam dengan kepala yang menunduk.

Ah..

Gelengan sang dokter menjawab pertanyaan Gunhak.

Keadaan pun langsung hening. Bahu Gunhak yang awalnya tegap langsung lesu. Ia menunduk berusaha menahan tangisnya. Berusaha menganggap semua ini mimpi belaka.

Tidak mungkin Dongju meninggalkannya secepat ini.

Ini hanya mimpi, kan?

Tepukan di pundaknya menyadarkannya. “Yang sabar, ya, Hak,” ucap Youngjo turut bersedih.

Semuanya bukan mimpi ternyata.

Dongju-nya telah pergi. Malaikat-nya telah menjadi malaikat surga.

Ia benar-benar tidak menyangka akan secepat ini. Padahal dirasa baru kemarin Dongju keluar dari masa komanya.

Gunhak dan Dongmyeong ijin masuk ke dalam, ingin menyapa Dongju untuk terakhir kalinya.

Dongmyeong menyapanya sekaligus mengucap selamat tinggal lebih dulu. Gunhak ingin jadi yang terakhir untuk mengucapkan selamat tinggal padanya.

“Son, gue ga nyangka lu bakal secepet ini perginya.” Ada jeda sebentar. “Makasih, maaf; gue sebenernya gengsi juga mau ngomong gini, tapi gue bersyukur punya lo sebagai kembaran gue. Maaf kalo banyak tingkah laku gue yang bikin lo kesel, risih, atau apapun itu. Pasti udah gak sakit lagi kan ya?.. Dadah, Son Dongju kembaran Son Dongmyeong, yang tenang disana, ya.” Dongmyeong mengucapkan itu semua sambil menahan tangisnya.

Sekarang giliran Gunhak. Dongmyeong pergi meninggalkan ruangan dengan didampingi Harin.

Gunhak menghampiri Dongju, kemudian mengelus pipi Dongju yang semakin mendingin. Tangannya memegang tangan Dongju.

“Pasti sakitnya udah ga kerasa lagi, kan? Seneng dong, ya?” Lagi-lagi matanya meneteskan air mata. “Di sana udah lebih tenang, kan? Makasih banget pernah hadir di hidupku, pernah jadi malaikatku, pernah jadi orang yang kuat melawan penyakitnya, pernah jadi Son Dongju yang disayang semua orang. Makasih banget, kamu pernah jadi pacarku. Berkat kamu, hidupku jadi makin berwarna.”

Gunhak mengecup punggung tangan Dongju, “Yang tenang ya disana. Sekarang kamu udah jadi malaikat beneran. Agak ga rela kamu pergi secepet ini.. Pengen bilang jangan tinggalin aku, tapi Tuhan lebih sayang sama kamu. Jujur, aku masih butuh kamu sebagai penerang hidup.”

Ia menahan tangisnya, “I love you, sayang. Dadah, aku bakal terus bahagia kok. Janji.” Kelingkingnya melingkari kelingking Dongju yang mulai kaku.

Ia berdiri, merasa berat melangkah menjauhi Dongju.

“Hak, sini deh.”

Tiba-tiba Hwanwoong mengajaknya ke kamar Dongju. Tiba-tiba sekali?

Ada yang mereka berdua tau tapi dirinya tidak tau?

Kenapa Dongju tidak memberitaukannya..?

Sesampainya di sana, Hwanwoong mengambil toples yang berisi gulungan kertas buatan Dongju.

“Ini,” Hwanwoong menyodorkannya ke Gunhak. Sementara Gunhak hanya menerima dengan ekspresi bingung.

“Katanya buat lo. Dia nitip ke gue sebelumnya, katanya kalo dia udah pergi duluan tanpa sempet ngasih ini, dia jadiin gue perantara.” Hwanwoong kemudian menjelaskan. “Targetnya sampe 100 lembar katanya, tapi gatau apa sekarang udah sampe targetnya atau belum.. Tapi kayaknya belum.”

Gunhak menatap toplesnya. Iya juga, kenapa Dongju rajin sekali membuat catatan obat sampai segini banyaknya? Toplesnya juga terlalu cantik untuk kumpulan catatan obat. Masuk akal.

“Ah, iya, sama ini juga.” Hwanwoong mengeluarkan secarik kertas berwarna hijau mint, lalu menyodorkannya kepada Gunhak. “Dia juga pernah nitip ini, takut kelupaan. Gue tadi langsung bawa pas denger Dongju masuk UGD, jaga-jaga aja, taunya beneran..” Hwanwoong menjelaskan lagi dengan nada sedih.

Gunhak menerima kertas itu. Kemudian karena penasaran, ia langsung membuka lipatannya.

Untuk: Gunhak GEMES.

Hai, hehehe

Mungkin kamu buka surat ini pas aku udah pergi, ya.

Selalu inget ya, aku bakalan selalu ada di hati kamu, ;)

Kamu jangan lupa bahagia nantinya ya, terus-teruslah bahagia. Ada atau enggaknya aku, kamu berhak bahagia.

Maafin kelakuanku yang kadang bikin kamu kesel, atau bikin kamu marah. Maafin diriku yang selalu pesimis dan terlalu pasrah dengan keadaan.

Makasih udah pernah berjuang bersamaku. Menemaniku sampai detik ini. Makasih udah jadi pacarku. Makasih udah jadi cinta pertama dan terakhirku.

Haha, apasih, bahasanya baku banget

Inget ya, aku ga akan kemana-mana. Aku bakal tetep di sampingmu, di hatimu.

Oiya, tau toples yang isinya kertas-kertas itu?

Itu isinya surat. Buat kamu. Buka setiap hari ya. Targetnya harusnya ada 100 gulung, tapi kalau nyatanya belum genap 100, yah, sudahlah. Kalo ada 100 beneran, yey seneng :D

Jaga dirimu yaa, jangan lupa peduliin diri sendiri juga, jangan orang lain terus yang kamu peduliin.

Sekian, dari malaikatmu(?), xoxo hihi

Matanya yang awalnya sudah kering kembali menumpahkan air mata.

Ah, padahal baru beberapa menit yang lalu ia mengucapkan selamat tinggal pada Dongju, tapi ia ingin melihatnya lagi.

Hwanwoong pergi duluan meninggalkan kamar Dongju, meninggalkan Gunhak yang masih berdiri, menahan tangisannya agar tidak pecah di tempat umum seperti ini.

Ia tau, dirinya bukan lah manusia paling kuat. Bahkan dirinya saja sudah menangis 3 kali malam ini.

Ia harus bisa bahagia sendiri sekarang, tanpa adanya Dongju berjalan di sampingnya lagi. Bisa kah?


end/?


a/n; makasih ya udah ngikutin cerita ini dari awal sampe akhir, have a nice dayy~


Chapter 10


Satu hari telah berlalu. Dongju menghabiskan waktunya seharian dengan berbaring di ruang ICU. Ia merasa sangat bosan. Untungnya hari ini ia bisa dipindahkan lagi ke kamarnya.

Selang di hidungnya tidak dilepas. Karena kadang kadar oksigen untuk ia bernapas tanpa selang menurun. Alhasil harus dipakai mulai sekarang.

Ah, teman sehidup-sematinya bertambah. Selain infus dan kursi roda tentunya.

Kenapa kursi roda?

Tidak ada masalah pada kakinya, masih berfungsi dengan baik. Hanya saja, dokternya menyarankannya untuk menggunakan kursi roda agar tidak cepat merasa lelah, efek dari kurangnya sel darah merah dalam tubuhnya.

Dongju dari kemarin sibuk memikirkan bagaimana keadaan surat-suratnya. Ia belum melanjutkan menulisnya sejak 5 hari yang lalu. Bahkan ia sendiri pun lupa sudah menulis sampai berapa kertas. Seingatnya ada 50an lebih.

Dongju merasa tidak sabar untuk kembali ke kamarnya dan melanjutkan menulis surat-suratnya. Minimal targetnya ada 70 gulungan kertas sebelum ia mati nanti.

Susternya mengetuk pintu, kemudian memanggilnya, “Ayo, balik ke kamarmu,” ajaknya.

“Yeay, ayo, Kak, bantuin,” pinta Dongju sambil pindah ke kursi rodanya.

Sebelum itu, ia melepaskan selang oksigennya. Karena nanti di sana akan diganti dengan yang baru lagi.

Saking lamanya tinggal di rumah sakit ini, dokter dan suster yang merawatnya sampai akrab dengannya.

Dongju dibantu mendorong kursi rodanya sampai ke kamarnya. Ketika membuka pintu, matanya kembali berbinar. Ia rindu kamarnya, meskipun baru 5 hari tidak ditempati.

“Ju,” panggil susternya.

“Iya, Kak?” Dongju menoleh.

“Itu burung-burung kertas origami bikinan kamu?” tanyanya.

“Bikinan aku sama temen-temen sih, Kak. Pas kemaren sebelum operasi pendonoran. Kenapa?” tanya Dongju balik.

“Ooh..” susternya mengangguk, “Gapapa, lucu aja liatnya. Tapi itu kenapa yang hitam dipisah sendiri?”

Dongju kembali menoleh ke arah burung-burungnya yang digantung. “Ahh, itu semacam 'si penyakit'. Si leukim ini. Terus, itu kan ada 7 lainnya, tuh, bersebrangan dengan si burung hitamnya, ceritanya itu yang paling depan aku, terus ada temen-temenku, pacarku juga, kita berenam. Sementara satunya lagi itu pihak rumah sakit, suster dan dokter yang ngerawat dan ngedukung aku buat sembuh. Kita sama-sama lagi ngelawan si burung hitam itu. Ukurannya memang besar, karena leukim itu kan lumayan susah dimatikan. Kalian semua berada di sisiku ngebantu aku berjuang ngelawan leukim itu,” jelas Dongju panjang lebar.

Susternya yang mendengarkan menganggukan kepalanya mengerti. Agak merasa terharu karena Dongju menyertakan dirinya—suster, dan dokter yang membantunya.

Sorot mata Dongju yang awalnya berbinar ketika menjelaskan tiba-tiba kembali meredup. Kemudian ia melanjut, “tapi semuanya gagal. Malah burung hitamnya yang menang..”

Gunhak yang sedari tadi berdiri di depan pintu—di belakang mereka, hanya mendengar tidak mau mengiterupsi, melangkah masuk. Kakinya melangkah mendekati Dongju, kemudian turun jongkok di depan Dongju.

“Kamu belum gagal. Burung hitamnya belum sepenuhnya menang.”

Dongju yang tersentak kaget, tidak menyangka bahwa pacarnya menyimaknya dari awal. Tangannya langsung menggenggam tangan Gunhak yang terulur padanya.

“Tapi emang gagal.. Operasi pendonorannya saja gagal, apanya yang belum gagal,” tutur Dongju. Hidungnya memerah menahan isakan tangisnya. Matanya sudah berkaca-kaca. Ia mendongakkan kepalanya, tidak ingin air matanya jatuh.

“Ngga gagal, Dongju-ya. Mungkin belum sih, lebih tepatnya. Kalo kamu fokus sama pengobatan, rutin, juga fokus nikmatin hidup, kamu masih bisa hidup lebih lama dari waktu yang diprediksi,” kata susternya menimpali. Gunhak pun mengangguk.

“Tuh, bener kok kata susternya.”

“Tapi kan palingan nambah hidupnya beberapa hari doang.. Ujungnya pasti juga mati.” Dongju berusaha kuat untuk tidak menangis.

“Ya memang manusia itu pasti ujungnya bakal mati, sih. Cuma tergantung keberuntungan kamu aja. Maksudnya keberuntungan itu semacam.. Bagi orang yang seperti kamu, kamu termasuk yang beruntung. Karena kamu sempat dikasih donor sumsum tulang belakang—yang aslinya pendonor ini susah banget nyari yang cocok,” ucap susternya.

“Dan operasinya memang susah sekali untuk berhasil. Karena itu kamu termasuk yang beruntung, Dongju,” sambungnya.

Tanpa disadar, air mata Dongju menetes.

“Iya, jarang loh, penderita leukim dapet donor, ya, sus?” tanya Gunhak ke susternya, yang kemudian diangguki setuju.

“Saya ijin keluar, ya, Kak, Ju,” ucap susternya yang dibolehkan oleh Gunhak, lalu pergi keluar dan menutup pintu.

“Udah, ya, jangan nangis. Cup cup cup, sayang.” Gunhak berdiri, kemudian mengusap pipi Dongju yang basah karena air mata.

Entah bagaimana ia bisa dipertemukan manusia berhati malaikat seperti Gunhak. Gunhak terlalu sempurna untuk dirinya yang cacat.

Dongju terlihat menahan batuknya. Efek terlalu terbawa emosi. Wajahnya agak membiru, kemudian Gunhak mengambilkan beberapa lembar tisu dan disodorkan ke Dongju yang langsung batuk di tisunya. Gumpalan darah keluar dari mulutnya. Matanya berair, menahan sakit di perut dan tenggorokannya. Membuat Gunhak merasa prihatin dengan kondisinya.

“Ahh.. Harusnya aku ga begini,” lirih Dongju. Kemudian meringis sakit memegang perutnya. Gunhak hanya bisa merasa prihatin. Ia tidak tega melihat kekasihnya terus-terusan merasa sakit seperti ini.

Dongju beranjak berdiri dari kursi rodanya, Gunhak dengan sigap langsung membantunya berjalan ke kamar mandi untuk mencuci mulutnya. Dongju berjalan dengan agak sempoyongan, lalu setelah selesai langsung diantar duduk di kasurnya.

Wajar saja sempoyongan, ia berbaring terus-terusan selama 2 hari di kasur ICU. Membuat otot kakinya harus menahan tubuhnya secara mendadak juga melatih keseimbangannya lagi.

“Bae,” panggil Dongju. Yang dipanggil menoleh.

“Kalo aku nanti udah pergi, terus kamu ada yang suka, terus kalian ujungnya pacaran, dijaga ya, disayang dengan tulus. Kayak kamu sayang ke aku,” ucap Dongju tiba-tiba.

“Maksudnya..?” tanya Gunhak bingung. Ucapan Dongju barusan agak menohok hatinya. Ia berjalan mendekati Dongju, kemudian duduk di sampingnya.

“Iya, terus juga nanti, kalo kamu suka sama seseorang, kejar orang itu ya. Sayangi dia kayak kamu sayang ke aku sekarang,” lanjut Dongju. Matanya yang berkaca-kaca menatap kosong ke depan.

“Gimana bisa aku suka sama orang lain lagi..” balas Gunhak. “Hatiku udah dipegang sama kamu,” lanjutnya.

Entah itu hanyalah ucapan manis untuk menenangkannya atau ia benar-benar jujur, yang pasti itu berhasil membuat pipinya memunculkan semburat merah samar.

Tapi di lubuk hatinya, ia yakin yang diucapkan Gunhak memang benar. Kalau itu adalah bohong, Gunhak tidak mungkin menemaninya sampai sini. Gunhak pasti langsung meninggalkannya ketika tau dirinya pengidap leukimia. Gunhak tidak akan mencintainya apa adanya.

“Kenapa ngomong gitu, sayang? Jangan bikin aku khawatir..” tanya Gunhak.

“Nggapapa.. Cuma pengen bilang gitu,” jawabnya, menatap mata Gunhak.

“Kamu ngucapinnya kayak ngucapin.. perpisahan..” Gunhak menunduk.

“Humm.. Maaf,” ucap Dongju, kemudian memegang pipi Gunhak tiba-tiba. Mengangkat wajah Gunhak, menunjukan bekas lintasan air mata di pipinya. Kemudian ia lap dengan jempolnya.

“Cup cup cup, sayang, jangan nangis yaa.” Dongju mengatakannya kembali ke Gunhak sambil tersenyum.

Gunhak yang melihatnya pun turut tersenyum.

Senyum yang ia suka kembali merekah di wajah kesukaannya. Ia senang melihat pacarnya kembali tersenyum. Meskipun hanya untuk menghibur dirinya, ia merasa cukup senang.

“Iyaa,” jawab Gunhak.

“Nah, mau bantuin aku, ga? Sekalian nungguin dokter atau susterku balik lagi masangin selang napas,” tanya Dongju. Kemudian diangguki Gunhak.

“Itu, tolong ambilin toples kertasnya, dong,” kata Dongju sambil menunjuk toples di mejanya.

Gunhak mengambilkannya, kemudian sekalian menggeser meja ke hadapan Dongju, karena ia tau Dongju pasti akan menulis sesuatu.

Thank you.” Dongju mengambil pulpen dan kertas lainnya. “Ah, kamu duduk di sebelah situ, terus kamu bantuin hitung kertas-kertasnya ya, ga boleh ambil intip ke dalamnya.”

Gunhak hanya mengangguk. Kemudian mengambil kursi untuk duduk di seberang Dongju.

1..

2..

3..

4..

...

56..

57..

58..

“Ada 58. Banyak banget??” ucap Gunhak heran. Sementara Dongju hanya terkikik sendiri.

“Oke. Berarti ditambah sama yang ini udah ada 63 ya,” Dongju menunjuk gulungan kertas yang ada di hadapannya dan yang dipegangnya.

“Rajin banget nulisin ginian. Ini apaan? Pasti bukan catetan konsumsi obat perhari, kan?” tanya Gunhak mulai curiga.

“Hehehe, iya,” jawab Dongju. “Ini tuh buat—”

Belum selesai ngomong, susternya masuk membawakan selang baru untuknya, juga tabung oksigen.

“Ayo, Dongju, pake ini dulu.”

“Oke, Kak.”

Dongju menoleh ke Gunhak, “Ada deh~” ucapnya dengan usil. Terpampang senyum usil di wajahnya.

Gunhak awalnya ingin menggerutu kesal, tapi melihat senyuman Dongju lagi, hatinya kembali menghangat.

Ia senang Dongju seperti ini, seperti lupa dengan penyakitnya.

Ia harap ia bisa membantu Dongju melupakan penyakitnya. Tapi siapa dia bisa memanipulasi ingatan seseorang?


to be continue

Hwanwoong membukakan pintu apartemennya setelah mendengar beberapa kali ketukan. Membiarkan Youngjo masuk membawakan sebungkus camilan untuk dimakan bersama.

“Sibuk ngapain, by?” tanya Youngjo penasaran. Ia menaruh bungkusan camilannya di dapur sebentar. Lalu menyusul Hwanwoong duduk di ruang tengah.

“Ini, tugas disuruh bikin ppt, trus nanti ada lagi. Aduh, capek,” keluh Hwanwoong. Ia pun sibuk mengutak-atik laptopnya lagi.

“Oalah, udah minum belum? Ntar kalo kelupaan bisa dehidrasi,” Youngjo mengingatkannya.

“Oiya, belum, hehe,” celetuk Hwanwoong. Kemudian berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air. Kembali ke ruang tengah lagi untuk duduk di samping Youngjo.

Ia merasa bersyukur memiliki kekasih yang sangat perhatian seperti Youngjo. Meskipun kadang sangat menyebalkan dengan semua gombalan kejunya.

Mungkin Hwanwoong akan terlihat kesal atau mungkin bersikap cuek terhadap Youngjo, tapi sebenarnya ia menyayanginya. Ia hanya suka melihat pacarnya memberikannya perhatian.

Ia bersikap cuek karena tidak tahu caranya mengembalikan perhatian Youngjo.

Ia ingin jujur kepada Youngjo, takut Youngjo nantinya merasa salah paham jika tidak diberikan penjelasan karena sikapnya.

Mungkin bisa sekarang.

“Makasih,” kata Hwanwoong tiba-tiba.

“Hah? Ngapain makasih tiba-tiba?” tanya Youngjo.

“Ya.. Kamu perhatian banget ke aku. Aku gatau mo ngebales gimana, jadi aku keliatan cuek terus ke kamu,. Maaf” tutur Hwanwoong, mengetuk-ngetukan kaca gelas yang dipegangnya dengan jarinya.

Youngjo tersenyum, “Nggapapa. Aku tau ga semua orang bisa nunjukin perasaannya dengan baik dan juga secara langsung. Kamu salah satunya. Jangan minta maaf karena hal itu.” Youngjo menepuk kepala Hwanwoong gemas, kemudian diusak-usak.

Hwanwoong menatap Youngjo. Ia benar-benar kagum dengan manusia di depannya. Bisa pengertian dan perhatian. Ah, kalau kata orang, dirinya sangat beruntung bisa memiliki pacar yang seperti itu.

“Heum.. Makasih,” ucap Hwanwoong lagi.

“Iya, gatau makasih-in apa tapi, masama,” balas Youngjo.

“Kamu apa ga bosen ngerjain tugas mulu?” Youngjo mengalihkan topik pembicaraan.

“Capek, sih. Ya, mau gimana lagi.”

“Nonton aja, yuk, bentar aja. Cuma buat istirahat doang,” ajak Youngjo, kemudian mengambil remot tv.

Hwanwoong hanya mengiyakan ajakan Youngjo. Lagipula, ia memang butuh istirahat sebentar.


Di tengah film yang mereka tonton, Youngjo berceletuk, “Ah, iya. Hari ini tuh pocky day, tau.”

“Hah?” Hwanwoong mengernyitkan dahi bingung. Pasalnya ia baru mendengar istilah hari seperti itu. Ia menatap kotak pocky yang dipegangnya sambil terheran, camilan begini sampai dibikin hari spesial?

“Hmm, sebentar,” Youngjo mengambil sebatang pocky dari boks yang dipegang Hwanwoong.

“Nih, jadi, cara ngerayainnya tuh, kamu gigit ini, aku gigit di ujung satunya, trus nanti digigit-gigit aja teruuss sampe abis,” jelas Youngjo sambil mengangkat pocky yang dipegangnya.

Hwanwoong hanya terdiam. “Berarti.. nanti ciuman dong..?” tanyanya.

“Eumm, iya. Kenapa?” tanya Youngjo balik.

“Ga ah, malu.” Hwanwoong melanjutkan acara menontonnya sambil menyemil dengan wajah yang agak memerah.

Padahal belum diapa-apain..

Youngjo hanya terkekeh melihat pacar mungilnya.

Diam-diam ia mengecup pipi kanan Hwanwoong. Tiba-tiba sekali. Membuat Hwanwoong mematung di tempatnya. Pipinya makin memerah.

Kemudian beranjak bangun, “Udah ah! Kesel diginiin mulu!” kesalnya. Ia langsung membawa laptopnya ke kamarnya.

Padahal mah, aslinya malu. Ia hanya ingin menyembunyikan wajah merahnya dari Youngjo.

Sementara Youngjo hanya terkekeh di tempatnya.


Chapter 9


Dongju mengerjapkan matanya, menyesuaikan dengan cahaya di sekelilingnya. Ia menoleh ke kanan-kiri, menemukan dirinya berada di sebuah taman bunga. Sendirian.

Semua tampak begitu tenang. Kicauan burung-burung di atas pohon menyapa masuk telinganya. Semilir angin sepoi-sepoi berhembus di hantaran bunga-bunga.

Sakit yang dideritanya.. hilang. Tidak ada rasa sakit sama sekali pada dirinya. Dongju kegirangan mengetahui dirinya tidak sakit lagi.

Namun suasana taman bunga yang hanya ada dirinya seorang membuatnya mengernyitkan dahi kebingungan.

Dimana semua orang?

Ini semua.. mimpi?

Bagaimana bisa terasa nyata?

Terjebak dalam mimpinya..

Iya, mimpi.

Ia pernah berharap berada di sebuah taman denhan hamparan bunga di setiap arah mata memandang. Dengan suasana yang tenang dan damai. Bagai lupa dengan penyakit yang dideritanya. Bahkan kalau bisa, ia ingin tinggal di sana selamanya—tanpa adanya rasa sakit yang menyiksanya.

Tapi tidak seperti ini.

Ia masih ingin melanjutkan hidupnya bersama orang-orang tersayangnya. Termasuk Gunhak.

Ia tidak ingin dikhianati oleh waktu seperti ini.

Ia belum siap mati.

Meskipun siap, tapi tidak seperti ini.

Dongju yang awalnya senang, sekarang mulai gelisah. Ia mencoba membangunkan dirinya yang tertidur lelap. Sampai sebuah suara yang familiar memasuki gendang telinganya.

“Pasti mimpimu disana jauh lebih tenang, ya, Sayang?” tanya suara familiar itu.

Dongju menengok ke segala arah, mencoba mencari asal sumber suara itu. Matanya berkaca-kaca, hampir menangis karena gelisah dan kebingungan.

“Iya.. disini suasananya tenang,” jawabnya, seakan ia berbicara pada suara itu.

“Pasti di sana kamu ga kesakitan sama sekali, kan?” tanya suara itu—Gunhak, lagi.

Dongju mengangguk, “iya..” jawabnya. Seolah Gunhak dapat mendengar dan melihatnya.

“Makanya kamu gamau bangun..” lanjut Gunhak.

Salah besar. Jelas ia mau bangun. Ia tidak mau berada di sini sendirian, meskipun ia merasa sembuh, tapi ia tetap tidak mau.

“Jangan asal bicara..” sangkal Dongju. Suaranya bergetar menahan nangisnya.

“Bangun, yok, Sayang. Aku udah nungguin lama banget. Yang lainnya juga nungguin kamu.”

Benarkah? Selama itukah? Sudah berapa hari ia tertidur?

Seolah mendengar suara batin Dongju, Gunhak bicara lagi, menjawab pertanyaannya. “Udah 2 hari kamu di sini..”

Wah.. Selama itu..?

“Aku kangen.. Apa kamu ga kangen sama aku? Sama yang lainnya?”

Jelas. Ia rindu. Kalau ia tidak rindu ia tidak akan merasa gelisah mencoba mencari jalan keluar dari mimpinya.

“Sama.. aku juga..” balasnya, “Takut.. kangen..”

“Bangun, ya. Kita masih belum selesaikan waktu yang kita punya. Aku gamau nyesel nantinya. Lagipula katamu sendiri, bukan, harus manfaatkan waktu yang tersisa dengan baik?” kata Gunhak panjang.

Benar.. Ia sendiri yang mengatakannya di awal—harus bisa manfaatin waktu yang tersisa dengan baik. Tapi nyatanya, ia sendiri yang membuang-buang waktunya.

“Aku masih nungguin, kok. Aku ga bakal kemana-mana. Aku janji bakal makan terus, asal kamu cepet bangunnya, ya?” lanjut Gunhak, yang terdengar seperti menyudahi percakapan ini.

Dongju meringkuk, memeluk lututnya kemudian menangis menahan rindunya. Ia tidak ingin berada di sini sendirian seperti ini. Ia tidak mau mati dengan cara seperti ini. Ia tidak mau membuat Gunhak sedih.

Matanya perlahan menutup. Ia tertidur, lagi.


Cahaya ruangan memasuki netranya, membuat ia mengerjapkan matanya berkali-kali, mencoba menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk ke matanya.

Matanya memeriksa sekitar.

Di rumah sakit.

Dongju sudah bangun.

Perawat yang menyadari Dongju telah siuman langsung memanggil dokter untuk melakukan pengecekan.

Sakitnya masih ada.

Dongju benar-benar kembali.

Perawat kemudian keluar bersama dokter, lalu memberitahukan Gunhak dan Dongmyeong yang saat itu sedang menunggu bahwa Dongju telah siuman dari koma 4 hari-nya.

Gunhak yang mengetahui hal itu langsung menangis—terharu.

“Kalau sudah ada perkembangan, dua hari lagi pasien bisa dipindahkan ke kamar inapnya,” kata Dokternya menginformasikan. Dongmyeong dan Gunhak mengangguk mengiyakan.

4 hari. Katanya kalau sampai 5 hari belum siuman, harus coba transfusi darah. Untungnya tidak.

Gunhak pun ijin untuk menemui Dongju. Ia berjalan masuk menggunakan tongkatnya. Menggunakan masker dan atribut pakaian dari rumah sakit.

“Halo, Sayang,” sapanya. Matanya berair, suaranya bergetar menahan nangisnya karena senang.

Dongju yang masih berbaring memakai selang oksigennya menatap Gunhak yang berjalan ke arahnya. Matanya juga berkaca-kaca.

Ia rindu menghabiskan waktu bersamanya.

“Pengen peluk..” pinta Dongju.

“Gabisa, dulu. Kamu harus istirahat, ya. Besok lusa kata dokternya kamu udah boleh pindah ke kamar,” Gunhak memberitahunya. Dongju hanya mengangguk.

Jujur, ia ingin menangis. Tapi takut nanti dirinya malah jadi sesak napas dan muntah darah lagi, jadi ia berusaha keras menahan tangisnya.

Dongju menunjukan tanda love dengan jari jempol dan telunjuknya kepada Gunhak sambil tersenyum. Gunhak pun membalas, “Love you too, baby,” sambil ikut tersenyum juga.

Meskipun Dongju tau nyawanya kapan saja bisa diambil, ia tetap senang bisa berada di sini.

Cepat atau lambat ia akan mati.

Kabar baik tentangnya sekarang ini hanya kabar sementara—temporary. Dirinya berada di sini hanya untuk sementara.

Ia tau dirinya nanti akan terkapar lemas tak berdaya—entah di kasur rumah sakit atau di lantai.

Membuat semua orang menjadi sedih lagi, terutama Gunhak.

Mau tak mau, siap tak siap, takdirnya sudah menetapkan.

Ia hanya tinggal menunggu waktu untuk mengkhianatinya.

Gunhak pun tau, ini semua juga tidak akan bertahan lama. Ia tau nanti Dongju-nya akan tidur selamanya.

Makanya, Gunhak bertekad untuk menjadikan sisa waktu Dongju menjadi yang terbaik.


to be continue


Chapter 8


Dongju sedang berada di ruang ICU. Sejak kemarin ia dipindahkan karena kondisinya yang tiba-tiba drop. Dan sampai hari ini, ia masih belum siuman sama sekali.

Gunhak masih setia menunggunya di depan ruangan tertutup tersebut. Kemarin ia sampai tidak mau makan seharian, alasannya takut tiba-tiba Dongju siuman saat dia sedang tidak menunggunya. Hanya meminum air putih botolan yang diberikan temannya.

Youngjo yang menemaninya tentu saja khawatir pada kesehatan sahabat karibnya itu. Terlebih ia belum sepenuhnya pulih dari cideranya. Padahal kata dokter ia harus banyak makan terutama makanan yang mengandung zat besi dan kalsium kalau ingin cepat pulih.

Tapi sepertinya Gunhak lebih memedulikan keadaan Dongju dibanding dirinya.

Berkali-kali Youngjo mencoba membujuknya agar mau makan sebentar saja, tapi jawabannya selalu sama; “Ga mau.”

Ya mungkin Youngjo juga bakal seperti ini kalau yang di dalam sana itu adalah Hwanwoong.

Kali ini ia akan mencoba lagi untuk membujuk Gunhak agar mau makan. Kebetulan ia juga baru saja membelikan makanan.

“Hak, ini gue abis beli makanan. Mau ga?” tawarnya sambil menyodorkan bungkusan makanan yang dimaksud.

Gunhak hanya menoleh sebentar, kemudian menggeleng. “Ga mau, makasih,” jawabnya.

Youngjo menghela napas. “Lo mau terus-terusan begini? Apa Dongju bakal seneng ngeliatnya nanti? Apa Dongju ga bakal kepikiran terus-terusan pas tau lo ga makan sama sekali nungguin dia siuman? Lo mau dia abis siuman langsung drop lagi karena khawatir sama lo?” tanya Youngjo bertubi-tubi.

Deretan pertanyaan tadi membuat Gunhak merenung. Jelas ia tak mau Dongju khawatir padanya. Ia tak mau Dongju terlalu memikirkannya sampai ia drop lagi, membuatnya terbaring lebih lama lagi di ruangan tertutup itu.

“Ayo lah, makan, Hak,” bujuk Youngjo. “Lo udah hampir dua hari ga makan, nanti kalo lo yang malah drop pas Dongju bangun kan jadi ga seru lagi. Ayo makan.” Youngjo menyodorkan bungkusan makanannya ke Gunhak, yang kemudian perlahan diambil olehnya.

Gunhak pun akhirnya mau mengisi perutnya. Ia juga butuh tenaga untuk bertemu Dongju nanti— kalau sudah siuman.


Waktu berlalu, sekarang sudah menunjukkan pukul 6 sore, dan Dongju masih belum bangun.

Gunhak berniat menjenguknya ke dalam sana. Sekedar menjenguk, tidak lebih.

Setelah memakai atribut untuk menjenguk yang disediakan oleh pihak rumah sakit, Gunhak pun membuka pintu ruangan tersebut dan melangkah masuk.

Matanya menatap sendu Dongju yang terbaring lemah tak berdaya di kasurnya. Selang oksigen terlihat mengulur dari hidungnya. Tangannya yang tertancap jarum infus serta selangnya. Badannya agak.. membiru. Wajahnya terlihat tak berekspresi— seperti sedang tertidur lelap.

Monitor jantung berada di samping kasurnya, menunjukkan frekuensi detakan jantung dari Dongju. Mengindikasikan ia masih hidup, namun hanya dalam masa koma.

“Pasti mimpimu di sana jauh lebih tenang, ya, Sayang?” Gunhak berdiri di samping kasur Dongju, masih menatapnya sedih. “Pasti di sana kamu ga kesakitan sama sekali kan? Makanya kamu gamau bangun..” lanjutnya lirih. Matanya mulai berkaca-kaca.

“Bangun, yok, Sayang. Aku udah nungguin lama banget.” Air matanya menitik.

Di depan kaca ruangan ini, sudah ada Hwanwoong yang datang ingin menemani Youngjo, dan Dongmyeong yang datang untuk melihat keadaan saudara kembarnya. Mereka bertiga nampak ikut sedih melihat Gunhak menangisi Dongju di dalam.

“Kak, kasian banget ya Kak Gunhak. Sampe segitunya..” ucap Dongmyeong kepada dua orang lainnya.

Youngjo membalas, “Iya, dia bahkan kemaren sampe gamau makan, cuma karena terlalu khawatir sama Dongju.”

Balasan Youngjo tentu membuat keduanya kaget. Benar-benar segitunya..

“Tapi tadi mau makan kah dia, Kak?” tanya Dongmyeong ikut khawatir.

“Untungnya hari ini udah mau, tadi abis gue bujuk juga. Padahal dia harusnya fokus diri sendiri dulu biar cepet sembuh,” jawab Youngjo.

Gunhak mulai terisak di dalam sana, ia merindukan kekasihnya. Meskipun baru dua hari tidak saling komunikasi, tetap saja ia merindukannya.

Ia rindu senyuman yang merekah di wajahnya. Ia rindu suara tawa yang keluar dari mulutnya yang mengembang tersenyum. Ia rindu dipanggil, diusili, dipukuli, semuanya. Ia rindu semuanya tentang Dongju. Padahal baru dua hari.

“Bangun, ya. Kita masih belum selesaikan waktu yang kita punya. Aku gamau nyesel nantinya. Lagipula katamu sendiri, bukan, harus manfaatkan waktu yang tersisa dengan baik?” Gunhak mengelus pipi Dongju.

“Aku masih nungguin, kok. Aku ga bakal kemana-mana. Aku janji bakal makan terus, asal kamu cepet bangunnya, ya?”

Setelah sekiranya rasa rindunya cukup tersampaikan, ia pun beranjak keluar dari ruangan itu seraya mengusap air matanya yang sedari tadi menetes.

“Loh, ada Dongmyeong?” ucap Geonhak baru menyadari kehadiran saudara kembar tak seiras kekasihnya itu. “Loh, ada Hanung juga,” lanjutnya, baru menyadari karena tertutupi oleh Dongmyeong.

“Iya, gue kesini mau nemenin pacar gue sama sekalian nemenin lo juga, tapi karena lo secara ga langsung ngatain gue pendek..” Hwanwoong sengaja tak melanjutkan kalimatnya, ia hanya menunjukkan muka sinis kepada Gunhak. Sementara Gunhak hanya mendengus mendengarnya.

“Lagian gue ga nanya lo ngapain ke sini, tapi, oke.” Gunhak meledek Hwanwoong, membuat Hwanwoong merasa jengkel terhadapnya.

“Lo ngapain di sini, Myeong?” tanya Gunhak pada Dongmyeong.

“Gapapa, tadi cuma penasaran aja sama keadaan si Dongju, gue kira dia udah siuman, ternyata.. belum.” Volume suara Dongmyeong mengecil ketika menyebutkan kata terakhir. Kemudian menyodorkan sebungkus makanan yang dari tadi ia pegang, “Ini, Kak, makanan dari Mama. Katanya buat isi tenaga nungguin Dongju biar semangat.”

Gunhak pun mengulurkan tangannya, menerima kiriman makanan dari Mama-nya Dong-kembar. Lalu mengucapkan terimakasih sebelum Dongmyeong beranjak pergi.

“Hak, balik yok,” ajak Youngjo. “Udah mulai malem. Bareng lagi sama gue sama Hanung.”

Gunhak hanya mengiyakan ajakan tersebut.

Gunhak menatap Dongju yang tertidur pulas di kasurnya melalui jendela ruangan itu untuk yang terakhir kalinya hari ini. Kakinya terasa berat untuk meninggalkan tempatnya, ia ingin terus berada di sini menunggu Dongju siuman.

Tapi dirinya juga butuh istirahat. Ia belum sembuh sepenuhnya dari cidera kakinya. Dan kalau ingin cepat sembuh, ya.. harus banyak beristirahat juga.

Huft, andai saja, Dongju tidak pernah mengidap kanker tersebut, semua ini tidak akan pernah terjadi.

Waktu pun akhir-akhir ini berjalan dengan sangat cepat. Ia takut kalau-kalau waktu akan mengkhianatinya— Dongju bisa saja pergi lebih cepat dari perkiraan.

Tapi, siapa dia untuk mengontrol takdir dan waktu?

Semoga, besok Dongju siuman. Atau minimal ada perkembangan sedikit saja mampu membuat hatinya senang.


to be continue

Geonhak mengikuti Dongju yang berjalan balik ke dorm mereka.

Ia memperhatikan Dongju dari atas ke bawah. Tatapannya tertancap pada sesuatu yang menonjol di celananya.

Benar saja, ia berhasil membuat pacarnya tegang.

Senyum miring tertampang jelas di wajahnya. Merasa senang dan bangga telah menggoda pacarnya. Ia tak sabar bermain lagi dengannya nanti.

Di sisi lain, Dongju sedang menggerutu kesal sambil menenteng tasnya.

Kejantanannya tegang karena permainan Geonhak tadi. Dan karena didiamkan saja, alhasil sekarang menjadi agak nyeri.

Ah, sialan pacarnya itu.

Gaya berjalannya saja ia usahakan terlihat normal. Takut dicurigai yang lain. Meskipun begitu, celananya tetap saja menunjukkan jiplakannya yang ambigu.

Sesampainya di kamar, ia bernapas lega. Harus secepat mungkin menyelesaikan ini, sakit.

Menaruh tasnya di mejanya, kemudian mengambil handuk. Ia mau menyelesaikan ini sekaligus mandi.

Sebelum masuk ke kamar mandi, ia dikejutkan dengan kehadiran Geonhak di depan pintu kamarnya. Geonhak melangkah masuk, kemudian menutup dan mengunci pintu.

Lagi-lagi Dongju menggerutu kesal. Kenapa harus ada dia di sini?

“Mau kubantu ga?” tawar Geonhak. Matanya menunjuk pada celana Dongju yang menggembung.

Dongju langsung menggeleng, berusaha mengusirnya. Ia tak mau dibantu karena masih merasa gugup dan malu dengan kejadian di ruang latihan tadi.

Ia pun bingung, apa yang membuat Geonhak begitu menginginkannya malam ini? Biasanya tidak seperti ini.

Geonhak makin mendekati Dongju, membuat Dongju berjalan makin mundur sampai menabrak tembok di belakangnya.

Tatapan Geonhak benar-benar berkabut. Sarat akan nafsunya.

Dia tidak sedang mabuk, kan?

Tidak, ah. Kalau mabuk biasanya wajah kekasihnya itu akan sedikit memerah.

Dongju merasa pasrah di dalam kukungan Geonhak. Auranya begitu mendominasi, ia jadi merasa terintimidasi.

Tanpa basa-basi, Geonhak langsung melahap bibir Dongju, membuat si empunya terkejut sampai menahan napasnya.

Tangannya perlahan naik menggantung di leher Geonhak, meremat rambutnya. Bibirnya mengikuti gerakan sang dominan. Sebenarnya, ia juga merasa tidak sabar.

Dengan boner yang dari tadi menyiksanya, membuat kepalanya terasa makin pusing.

Jemarinya menyisir dan meremat rambut Geonhak, sekali-kali melenguh pelan karena Geonhak yang bermain di dalam mulutnya. Pinggulnya ia gesekkan dengan milik Geonhak. Ia benar-benar termakan nafsunya.

Suasana kamar yang ber-AC terasa makin panas karena sesi make out mereka. Napas keduanya terengah ketika melepas pagutan satu sama lain. Saling menatap ke dalam netra masing-masing yang tertutupi nafsu.

Kali ini Dongju yang kembali menyatukan kedua bibir mereka, menarik kerah baju Geonhak dengan paksa. Geonhak tentu saja tidak kaget, ia tahu kekasihnya itu sangat ingin melakukannya. Lagi pula Geonhak sendiri yang memulainya.

Tangan Geonhak yang sedari tadi memegang pinggang Dongju mulai merambat keatas perlahan-lahan. Menyelinap masuk ke dalam bajunya, meraba perut rata kekasihnya.

“Hnghh-” Lenguhan pelan keluar dari mulutnya. Badannya menegang karena sentuhan Geonhak yang seperti mrnghantarkan listrik-listrik kecil. Napasnya semakin berat dan tertahan, membuat dirinya merasa sesak dengan posisi berciuman seperti ini.

Ciuman Geonhak menurun ke dagu Dongju, kemudian turun lagi ke lehernya, membuat si empunya menahan napasnya lagi.

“Nnhh,” Dongju melenguh lagi. Ia merasa sangat sensitif di bagian lehernya— yang membuat Geonhak senang menggodanya di bagian itu.

Rematan Dongju menguat memegang helaian rambut Geonhak. Napasnya makin tersengal-sengal, wajahnya makin memerah, juga terasa panas.

Geonhak pindah lagi menciumi bagian tulang selangkanya. Menyesapnya bagaikan menyesap madu. Ia jilat layaknya anak kucing, kemudian ia hisap lagi sampai muncul bercak keunguan.

“Ahh- s-susah ilang in-i- hmhh,” ucap Dongju disela lenguhan tertahannya. Yang lagi-lagi,  tak dihiraukan Geonhak.

Ia masih menciumi dan menghisapi collarbone Dongju. Meninggalkan bercak keunguan dan kemerahan berbagai ukuran di kedua sisi collarbone-nya.

Tanpa aba-aba, Geonhak tiba-tiba mengangkat Dongju, membuat Dongju memekik tertahan.

Dibawanya ke kasur milik Dongju. Kemudian dihempaskan pelan membuat Dongju menahan napasnya lagi.

Geonhak melepaskan celana serta boxer yang dipakai Dongju, membiarkan membernya berdiri tegak dihadapannya.

Geonhak mengecup pucuk kepala penis milik Dongju, yang lagi-lagi mengeluarkan lenguhan tertahan. Tangannya memegang bagian bawah penisnya, dikocok dengan sangat pelan, membuat Dongju menggeram frustasi.

Ia ingin gerakan yang lebih cepat.

Tanpa disadari Dongju menggerakan pinggulnya naik turun, seketika Geonhak terkejut karena ketidaksabaran pacarnya itu.

Geonhak pun melepas celananya sendiri, menunjukan penisnya yang tegang dengan bangga.

Geonhak sekarang berada di atasnya, menyisir rambutnya sebentar sambil menatap netra coklat gelap milik Dongju— yang semakin gelap karena nafsu.

Pemandangan di atasnya begitu.. seksi dan vulgar. Membuat Dongju yang menyaksikan merasa semakin panas.

Wajah Geonhak semakin mendekat ke wajahnya, kemudian menyatukan kedua bibir mereka, memagutnya perlahan sebagai pengalih perhatian. Sementara tangan Dongju kembali meremat rambut blonde milik Geonhak.

Perlahan, lubang Dongju mulai dibobol masuk. Dongju menekukkan jemari kakinya, meremas rambut Geonhak semakin kencang, punggungnya membusur ke atas, matanya menutup kencang dengan alis yang menukik tajam. Ia berusaha menahan desahannya, tapi tetap saja lolos.

Geonhak mulai menggerakkan miliknya perlahan sambil menciumi leher Dongju.

“Lebi-hh cep-ett, ahh,” pinta Dongju tidak sabaran, yang tentu saja langsung Geonhak kabulkan.

Gerakannya yang awalnya lambat, sekarang menjadi semakin cepat, menumbuk titik manis milik Dongju berkali-kali hingga sang submisif menangis keenakan.

Desahan dan lenguhan Dongju mengisi kamar dengan diikuti suara kulit yang saling bertemu secara konstan.

Dongju mengeluarkan cairannya tanpa memberitahukan Geonhak. Menyebutkan nama kekasihnya saat ia telah mencapai klimaks disela desahannya. Mengotori kaos hitamnya dan juga kaos putih yang dipakai Geonhak. Kemudian ia melemas karena lelah.

Dongju menatap Geonhak dengan matanya yang sendu, masih mencoba mengumpulkan napas agar ia bisa berbicara lancar padanya. “Kamu belum keluar loh..” ucapnya agak khawatir.

“Nggapapa ini,” jawab Geonhak dengan suaranya yang dalam. yang membuat Dongju merinding. Padahal ini bukan pertama kalinya mendengar suara Geonhak yang seperti itu.

“Sini, mau kubantu?” Dongju menawarkan, berusaha bangun dari posisinya, namun ditahan Geonhak. Penis Geonhak dan lubangnya masih menyatu di bawah sana, agak susah bergerak juga jadinya.

“Beneran, mau lagi?” bisik Geonhak, yang dibalas anggukan pelan oleh Dongju.

“Nungging,” titahnya. Dongju pun mengubah posisinya sesuai dengan apa yang diperintahkan. Masih dengan penis dan lubang yang masih menyatu.

Gesekannya membuat Geonhak mendesah tertahan. Kejantanannya dipijat oleh dinding rektum milik Dongju.

Geonhak pun menindih Dongju, kemudian mengulum telinga Dongju secara tiba-tiba, membuat Dongju mengepalkan tangannya erat.

Ia mulai bergerak lagi. Tapi kali ini langsung secara kencang dan cepat. Menubruk titik manis Dongju secara konstan.

Bibirnya pindah menciumi leher belakangnya, bagian paling sensitif setelah titik manis Dongju.

Dongju merasa pusing karena stimulasi yang ia dapatkan. Ia terlalu sensitif— terutama lehernya. Lenguhannya semakin kencang di setiap tubrukan. Kemudian ia mencapai klimaks lagi, berbarengan dengan Geonhak yang langsung mengeluarkan cairannya setelah ia menghantam g-spot Dongju untuk yang terakhir kalinya.

Dongju memejam matanya erat, merasakan cairan hangat yang mulai mengisinya di bawah sana.

Cairan milik Geonhak menetes keluar ketika Geonhak menarik miliknya. Mengalir di paha dalamnya membuat dirinya melenguh tertahan lagi.

Dongju langsung merebahkan diri. Pinggul dan pinggangnya terasa lelah, terlebih lubangnya, penuh.

“Maaf, ya, kasar banget ya?” tanya Geonhak khawatir sambil berbaring di samping Dongju.

“Engga kok,” jawab Dongju, ia masih mengatur nalasnya yang dari tadi tersengal-sengal.

”..Oke, pokoknya maaf, ya. Aku yang mulai duluan, pasti kamu tadi agak ngerasa risih,” ucap si lawan bicara sambil mengelus rambutnya yang memanjang.

“Hmm.. Ga terlalu sih..” Dongju menjawab sambil memejamkan matanya.

“Maaf,” ucap Geonhak lagi.

“Gapapa, sayanggg,” jawab Dongju geram.

Kemudian keheningan mengisi kamar, Geonhak mencoba berbicara lagi dengan Dongju, “bukannya tadi mau mandi?”

Namun tak ada jawaban sama sekali, ia menengok ke sebelahnya, menemukan Dongju yang sudah terlelap karena kelelahan.

Geonhak hanya terkekeh menatap wajah Dongju yang terkesan polos ketika tidur, berbanding terbalik dengan ekspresinya tadi.

Geonhak pun mengecup kening Dongju, “Selamat tidur, sayang.” Kemudian ia ikut menyusul Dongju ke alam mimpi.


end.


OKE FIX INI BENERAN END KOK AJDJSJHDHS MAAP BGT INI TLLU VULGAR TRS GAJE BGT UEUEUE MAAP🙏 MET MALEM YA MIMPIIN DOSYON NANINU HEHE😉

Geonhak sedang melakukan live di V-App, menyapa para ToMoon dan menyanyikan mereka beberapa lagu.

VLive tadi hampir membuat semua ToMoon oleng mem-bias-kan dia. Suara menyanyinya yang lembut, merdu nan kuat, begitu sopan masuk telinga. Ya, siapa yang tidak oleng?

Dan Geonhak tadi secara tidak sengaja membenarkan rambutnya yang sudah ditata oleh Dongju. Agak takut dimarahi nanti, karena ia yakin pasti Dongju menonton vlive-nya juga.

Selang beberapa menit, ia mengucapkan sampai bertemu lagi ke para ToMoon yang menonton, kemudian ia mematikan live-nya.

Geonhak menghela napas, yah, minimal sekarang ToMoon sudah diberi asupan konten. Ia juga rindu ToMoon sebenarnya. Ia dan grupnya rindu melakukan konser dan fansign secara langsung, bisa berinteraksi secara langsung dengan para ToMoon. Apa boleh buat, pandemi yang tiba-tiba menyerang membuat mereka semua harus menahan rasa rindu terhadap ToMoon.

Geonhak yang sedang membereskan barang-barang vlive-nya terkejut karena penampakan Dongju di pintu.

“Astaga, kaget aku,” Geonhak berucap sambil mengelus dadanya. Menatap heran Dongju yang berdiri di ambang pintu.

“Hem, kan tadi udah aku tata rambutnyaaa,” omel Dongju, masih berdiri di ambang pintu sambil menyilangkan kedua tangan.

“Iya, maaf, sayaang,” mohon Geonhak yang masih membereskan propertinya.

Ya, mereka berdua berkencan. Hanya grupnya dan mereka yang tau.

“Nih, udah kubenerin juga, kok,” lanjutnya, berusaha membujuk Dongju yang terlihat merajuk.

Dongju menghela napas, “iyaudah deh, ga apapa, maaf juga akunya jadi lebay gini.”

“Loh, kenapa minta maaf? Kan harusnya aku yang minta maaf. Lagian juga ga ngapa kok, ini kan ditegur, lagian juga tadi ga sengaja, by.” Geonhak berjalan ke pojok ruangan, menaruh properti-propertinya di salah satu meja.

Dongju hanya mendeham mengiyakan.

“Coba, gituin lagi, beb,” pinta Dongju pelan. Entah apa yang dimaksud.

Geonhak yang bingung langsung berjalan ke arah Dongju, “apanya digituin lagi?” tanyanya.

“Ehm.. Gajadi deh.” Dongju menarik permintaannya. Bahaya juga kalau ia melihat Geonhak seperti itu lagi, tidak sehat untuk jantungnya.

“Apanyaa??” Geonhak masih penasaran, ia mengingat-ingat apa yang dilakukannya tadi.

“Nyisir rambutku lagi?” Akhirnya Geonhak mengerti. Tapi kali ini gelengan kuat dari Dongju yang ia dapatkan.

“Loh, apa? Nyanyi?”

“Ngga jadiiii,” Dongju menggelengkan kepalanya lagi. Takutnya ia tak kuat melihatnya.

Geonhak memang tampan ketika ia menyisir rambutnya, terlebih sampai jidatnya terpampang jelas, kemudian diikuti senyuman manis, dan eye-smile khasnya, benar-benar bisa membuat jantungnya copot kalau seperti itu.

Belum lagi kalau di kasur—

Ah, otaknya jadi berkelana ria.

Pikiran kotornya membuat pipinya memuncilkan semburat merah samar. Matanya tidak mau menatap Geonhak, takut kalau tiba-tiba benar-benar mengumbar jidat.

Geonhak yang melihat semburat merah di pipi Dongju langsung tersenyum miring. Ia tahu apa yang dipikirkan kekasihnya itu.

Dengan senyum usil, ia memanggil Dongju agar menatapnya, yang tentu saja tidak langsung dilakukan yang dipanggil.

Setelah dua kali mencoba memanggilnya, akhirnya berhasil, Dongju menengok ke arahnya. Geonhak langsung menyisir rambutnya sambil menyeringai.

Tentu saja wajah Dongju langsung memerah. Ditambah pikirannya yang berkelana begini, bikin semuanya jadi makin memusingkan.

“Tadi katanya minta digituin lagi? Ini udah diginiin lagi kok malah gamau noleh?” goda Geonhak. Ia makin mendempeti Dongju yang menyender di tembok di samping pintu.

Padahal ini ruang latihan. Gila saja.

Dongju mendecak, “apasih.” Pura-pura tidak tahu. Padahal wajahnya yang memerah benar-benar menunjukkan bahwa dirinya memang menginginkannya.

“Diem atau aku cium!” ancam Dongju. Entah apa yang dipikirkannya hingga kalimat tersebut terlontar dari mulutnya.

“Yaudah aku gamau diem biar kamu cium aja,” Geonhak menjawab dengan pasti. Semakin usil memainkan rambutnya di depan Dongju.

Wajah Dongju sekarang terasa panas sekali. Bahkan mungkin butuh AC untuk mendinginkannya.

“Panas ga sih?” tanya Dongju, menatap Geonhak— yang lagi-lagi ia sesali telah melakukannya.

“Kepanasan? Kok bisa?” tanya Geonhak balik, pura-pura tak tau.

“Kan AC masih nyala, by. Masa udah kepanasan aja?” Alasan Geonhak benar-benar mendukung untuk dipukuli.

Dongju menghela napas, “awas ah, aku kan kesini bukan untuk dimesumin.” Ia berusaha mendorong Geonhak agar ia bisa pergi dan berhenti merasa panas.

Tapi sepertinya Geonhak tidak tahu apa itu jarak. Ia malah makin mendekat dan membuat Dongju menahan napasnya gugup.

“M-mau diapain??” Dongju berusaha bersuara.

Bukannya menjawab, Geonhak malah mengecupi leher Dongju.

Membuat si empunya makin kesusahan bernapas. Juga, ini di tempat umum, bukan di dorm mereka. Takut tiba-tiba ada yang menciduk mereka.

Geonhak tiba-tiba menggigit kulit leher Dongju. Dongju hamoir saja kelepasan melenguh kalau ia tak menggigit tangannya.

Tangan satunya ia gunakan untuk memukuli Geonhak, “udah! Ini bukan di dorm— ahh-”

Geonhak benar-benar menggodanya. Ia tak mau mendengarkannya dan malah melanjutkan permainannya.

Tok tok

Sontak, Geonhak langsung melepas bibirnya dari leher Dongju. Mereka berdua menoleh ke arah pintu, menemukan Youngjo yang berdiri di sana.

“Gue saranin lanjut aja di dorm. Tapi kalo mau lanjut di sini tanggung jawab, ya,” pesannya. “Dah, gue mau balik.” Kemudian ia melangkah pergi setelah menutup pintunya.

Geonhak menoleh lagi ke Dongju, lalu bertanya, “mau lanjut dimana?”

“Ga. Aku mau balik aja ke dorm.” Dongju langsung menarik gagang pintu dan melangkah keluar, meninggalkan Geonhak di ruang latihan.

Bibirnya menyeringai. “Okelah.”


end.


dahlah akupun gatau ini apaan tbtb nongol di kepala. oke, sekian, slamat malam. lanjutannya silakan dipikir sndiri //wink


Chapter 7


Hari ini adalah hari operasi pendonoran Dongju. Ia telah mendapatkan donor sumsum. Ia merasa tidak sabar menunggu pengoperasiannya.

Ia tau nanti bisa saja operasinya gagal, tapi sekarang ia berharap penuh bahwa operasinya akan berhasil dan semua akan berjalan mulus.

Ia ingin hidup di dunia ini sampai ia mati karena umur, bukan penyakit. Tapi takdir berkata lain waktu ia masih berumur 17 tahun.

Didiagnosa dengan penyakit seperti ini seakan membuat harga dirinya menghilang, benar-benar memalukan bisa mengidap penyakit seperti ini.

Meskipun bukan penyakit menular, tapi teman-teman lamanya malah meninggalkannya. Seolah mereka malu memiliki teman yang mempunyai penyakit seperti ini.

Hingga tersisalah mereka berenam— Youngjo, Hwanwoong, Seoho, Keonhee, Gunhak dan dirinya.

Sebenarnya Seoho dan Youngjo awalnya bukan termasuk teman dekatnya, mereka adalah teman Gunhak. Tapi karena Dongju dan Gunhak waktu itu sangat dekat, akhirnya mereka sering berkumpul berenam. Entah itu triple date ataupun hanya sekedar main bersama.

Sambil menunggu operasinya, tadi ia menghiasi kamarnya sedikit dengan burung origami yang ia buat dua hari yang lalu saat piknik. Ia dibantu oleh Hwanwoong dan Seoho sampai terbuat sekitar 15 buah burung origami. Yang ia gantungkan di kamarnya hanya 8 buah, sisanya ia simpan untuk kenang-kenangan.

Lucunya, yang dipasang hanya ada satu berwarna hitam, sedangkan lainnya berwarna cerah.

7 buah menggambarkan ia dan teman-temannya serta tambahan para dokter dan suster yang membantu ia berjuang melawan penyakit ini— yang berwarna hitam. Ia memisahkan si penyakit dan memosisikannya berada di seberang 7 burung origami lainnya, seakan-akan 7 burung ini melawan satu burung jahat.

Sekarang ia sedang melanjutkan menulis surat-suratnya. Karena ia merasa bersemangat, ia telah membuat sekitar 53 butir gulungan kertas.

Tadi pagi ia muntah berdarah lagi. Sempat menangis karena tenggorokannya terasa sangat sakit. Sampai ia harus beristirahat sebentar dari menghias kamarnya.

Ceglek

Gunhak masuk ke kamar secara tiba-tiba, mengejutkan Dongju yang sedang fokus menulis di kertas ke-55-nya.

“Ah, eh, bae. Kok masuknya tiba-tiba banget sih?” tanya Dongju sambil mengelus dada. Kemudian melanjutkan tulisannya lagi, sambil menutupinya dari Gunhak.

“Ehehe, gapapa, emang mau ngagetin aja,” Gunhak cengengesan. “Ngapain?” Gunhak bertanya sambil duduk di kasur Dongju.

“Nulis,” jawab Dongju singkat. Ia mengambil kertas lagi untuk ditulisi.

“Nulis apa?” tanya Gunhak lagi.

“Tulisan,” jawabnya lagi.

“Buat apa?”

“Buat disimpen.”

Gunhak mendelik ke arah Dongju. “Hih, aneh.”

“Ya, kamu aneh. Dah jelas aku lagi nulis ditanyain,” Dongju mendecak. Mengganti kertas lagi.

Gunhak hanya memperhatikan pacarnya.

“Ga sabar mau operasi, ya?” tanya Gunhak. Dibalas anggukan antusias dari Dongju.

Gunhak menghela napas, “Akhirnya ada yang baik, ya, by.”

“Iya.. Tapi aku tinggal lebih dari sebulan lagi..” ucap Dongju lesu, takut operasinya gagal.

“Ya, meskipun begitu, ga ada salahnya mencoba kan? Daripada kamu minum obat terus-terusan, capek juga kan,” kata Gunhak memainkan tongkatnya.

“Iyasih.. Doain ya nanti berhasil. Harus berhasil pokoknya. Gaboleh gagal.” Dongju berucap dengan semangat sambil mengepalkan tangannya yang memegang pulpen.

Gunhak hanya bisa mengaminkan.

Ia membayangkan hidup mereka tanpa adanya penyakit itu. Pasti sekarang mereka tengah berjalan-jalan.

Gunhak juga sebenarnya berniat untuk melamar Dongju. Entah kapan. Cincinnya saja masih di rumahnya.

Kalau ia sudah melamar Dongju, sekarang pasti mereka tengah berbulan madu.

Pikirannya terus melayang dengan kata 'seandainya' mengiringi. Membiarkan Dongju melanjutkan suratnya tanpa Gunhak menyadari.

Sekarang sudah ada sekitar 58 buah surat.

Dongju menghentikan kegiatan menulisnya ketika dirinya telah dipanggil oleh salah satu dokter yang merawatnya.


Gunhak dan teman-temannya menunggu khawatir dan berharap di depan ruang operasi. Gunhak terus-terusan berdoa agar operasinya berhasil. Ia sangat berharap bahwa pacarnya akan pulih dari penyakit yang ia bawa sejak 3 tahun lalu.

Ada keluarga Dongju juga datang, mereka merasa senang mendapat kabar Dongju akan mendapatkan transplantasi tulang sumsum belakangnya.

Semua berdoa agar operasinya berhasil. Suasana lorong benar-benar sepi. Semua orang sangat mengharapkan keberhasilan operasi Dongju.

Mereka telah menunggu sekitar 45 menit di luar ruang operasi. Duduk sambil memohon kepada Tuhan. Berharap ada kabar baik saat dokter melangkahkan kakinya keluar dari sana.

Beberapa menit kemudian, sang dokter keluar dari pintu ruang operasi, berita yang tidak disangka tersampaikan.


Gunhak menunggu Dongju yang masih belum bangun dari efek bius tadi. Teman-temannya menunggu di luar kamar Dongju.

Dongju perlahan membuka mata, mengerjap menyesuaikan dengan intensitas cahaya yang ada di kamarnya. Kemudian menengok ke Gunhak yang menunjukkan raut muka yang sulit dibaca.

Dongju berusaha bangun, namun bagian pinggangnya terasa perih jadi ia urungkan niatannya.

Menoleh ke arah Gunhak, ia bertanya, “Kenapa..? Ada apa?”

“Kamu tadi abis operasi, by. Ini efek biusnya belum hilang ya?” Gunhak memastikan. Tidak mau memberitahukan yang sebenarnya karena takut Dongju malah merasa sedih.

Dongju mengangguk pelan, seakan menjawab 'mungkin'.

Gunhak memanggil dokter sebentar untuk melakukan pengecekan. Lalu dokter pun bergegas keluar setelah dirasa semuanya baik.

Matanya menatap ke gantungan burung origaminya. Berpikir, apakah burung hitam itu akan hilang? Apakah mereka bertujuh berhasil melakukan semuanya? Apa mereka bertujuh berhasil menaklukan si burung hitam?

Merasa kepalanya pusing, ia memejamkan mata sebentar.

Ia meminta Gunhak untuk menaikan kasur bagian kepalanya agar ia bisa duduk.

Tanpa disangka ia terbatuk lagi, membuat Gunhak kaget dan langsung mengambilkan tisu.

Dongju menatap tisunya dengan mata berair.

Batuknya.. mengeluarkan darah.

Dongju kembali menatap Gunhak, “Pendonorannya.. gagal..?” tanya Dongju pelan. Matanya mulai berkaca-kaca.

Gunhak mengangguk pelan sebagai jawaban. Kemudian mulai menangis pelan di tangan Dongju.

Semua harapannya bagaikan pupus. Hancur semua. Semua andai-andai yang ada di pikirannya hilang. Harapannya untuk meneruskan hidup kembali sirna.

Ia putus asa.

Ternyata memang tidak semudah yang dibayangkan untuk melakukan tranplantasi tulang sumsum. Bahkan menemukan pendonor yang cocok pun juga susah.

Tatapannya yang awalnya penuh harap, kini menatap kosong ke depan. Benar-benar hilang harapan ia untuk hidup. Pasrah.

Tuhan memang menakdirkannya untuk mati lebih dulu dibanding orang-orang tersayangnya.

Kaca cairan yang terbendung di matanya pecah. Dongju menangis, merasa semuanya gagal. Merasa ini semua salahnya.

Gunhak memeluk Dongju, mereka saling menangis di pundak masing-masing. Teman-teman dan keluarga Dongju perlahan masuk, tidak mengeluarkan suara sama sekali, tidak mau menginterupsi.

Hanya ada suara isak tangis Dongju mengisi kamar. Gunhak hanya menangis dalam diam.

Jujur, Gunhak pun merasa kecewa dengan harapannya sendiri. Ia benar-benar berharap Dongju akan sembuh. Jadi ia bisa pulang bersamanya. Ia merindukan Dongju yang selalu berucap “ayo pulang” padanya.

Ia hanya ingin membawa Dongju pulang bersamanya. Menikmati hidup tanpa ada kekhawatiran sedikitpun.

Tapi takdir berkata lain.

Dongju memang ditakdirkan menjadi malaikat surga.

“M-maaf,” ucap Dongju tiba-tiba. Melepaskan pelukannya dengan Gunhak.

“Kenapa?” tanya Gunhak dengan suara serak.

“Maaf, a-ku ngecewain k-kalian semua.” Dongju berusaha meredam tangisnya, namun tak bisa.

“Ngecewain apanya, sayang..?” tanya Gunhak lagi.

“Ak-u udah bikin ka-lian berharap t-tinggi. Taunya- opera-sinya gagal..” Dongju berusaha menyampaikannya disela isakannya.

Don't be sorry, Honey. Ini semua bukan salahmu,” ucap Gunhak berusaha menenangkan Dongju meskipun ia tahu ini tidak akan mempan.

“Ini salahku..” gumamnya, ia menunduk, masih menangis.

“Engg—” Gunhak yang ingin berbicara langsung dipotong oleh Dongju.

“Kalo aku ga be-gini, aku g-ga bakal ny-yusahin kali-an—”

Dongju terbatuk lagi, kali ini lebih menyakitkan. Darah yang dikeluarkan lebih banyak, membuat seisi ruangan panik. Ada yang memanggil dokter, ada yang membantu mengelap darah Dongju.

Tanpa diduga Dongju pingsan di kasurnya. Membuat Gunhak makin panik.

Please, jangan secepat ini.


to be continue