Chapter 11
Hari demi hari berlalu. Tak banyak yang bisa dilakukan mereka berdua mengingat keadaan Dongjju. Jadi mereka hanya menghabiskan waktu di kamar milik Dongju.
Pergelangan kaki Gunhak sudah mulai membaik. Bahkan perkembangannya terhitung cepat. Dan baru kemarin ia mengucapkan selamat tinggal pada gipsum yang membungkus kakinya.
Berbanding terbalik dengan Dongju. Dongju akhir-akhir ini jadi sering batuk berdarah. Bahkan beberapa kali pingsan saking sakitnya. Kadang wajahnya sampai membiru karena sesaknya saluran pernapasannya.
Terlepas itu semua, ia masih tetap giat menulis surat-suratnya. Kemarin ketika ada Hwanwoong menjenguk, ia menitipkan sebuah surat untuk nanti diberikan ke Gunhak kalau ia tiba-tiba saja kritis. Sekarang sudah ada 95 surat. Pencapaian yang tentu saja di luar dugaan.
Hari sudah mulai malam, tapi belum ada kejadian batuk atau muntah berdarah. Membuat Gunhak merasa agak lega. Tadi ia habis menyuapi Dongju makan sementara Dongju menonton tv.
Selama di kamarnya, ia jarang sekali menyalakan tv. Biasanya hanya sibuk sendiri atau karena sibuk berduaan dengan Gunhak.
Sesekali ia menanyai ada kejadian apa saja di kampus. Dan berujung dengan membicarakan teman-temannya.
Seoho dan Keonhee yang tiba-tiba jadian yang padahal hampir setiap hari bergelut terus-terusan, Youngjo dan Giwook yang menjadi produser musik, Yonghoon yang tidak pernah berhenti mengusili Dongmyeong dan Hyungu, Harin yang tiba-tiba belajar dance, sampai Hwanwoong yang mencoba memasak kue sendiri dan berujung gagal dengan Youngjo sebagai target percobaan. Banyak lagi.
Ah, Dongju melewatkan banyak hal.
Ia rindu berangkat ke kampus, bertengkar dengan kembarannya dan juga Hwanwoong, lalu pulang bersama Gunhak.
Ia rindu masa-masa leukimia-nya belum terlalu parah.
Dongju mematikan tv-nya, “Ah, acaranya kurang seru, bosen.” Ia berbicara pada dirinya sendiri.
Dongju sedang sendirian di kamarnya. Gunhak tadi pergi membeli minum untuk mereka berdua. Baru beberapa menit yang lalu Gunhak keluar dari kamarnya.
Dongju pun melanjutkan menulis surat-suratnya. 5 buah lagi untuk mencapai 100.
Apakah ia bisa memberikan toples ini langsung pada kekasihnya?
Setelah menggulung dan memasukan kertas yang ke-99 ke dalam toples, tiba-tiba ia terbatuk. Awalnya hanya batuk kecil, tapi makin lama makin keras dan sakit. Membuat dirinya panik sendiri. Tangannya berusaha menggapai tisu yang berada di seberang mejanya, namun tidak sampai. Darahnya menetes ke lengan bajunya dan telapak tangannya.
Ia berusaha berdiri dan berjalan ke toilet, tapi selang napasnya yang terhubung ke tangki oksigen menahannya, jadi ia lepas secara paksa.
Sampai di wastafel kamar mandi, ia langsung memuntahkan banyak darah, membuat mulutnya merah. Wajahnya pucat. Perut dan tenggorokannya terasa sakit sekali. Kepalanya pening. Mulutnya terus-terusan memuntahkan darah tanpa bisa ia kendalikan.
“Sakit..” rintihnya.
Satu tangannya menopang tubuhnya dengan memegang pinggiran wastafel, berusaha untuk tetap sadar. Satu tangannya lagi memegang perutnya yang sakit. Air keran mengucur keras membersihkan darah yang ada di wastafel. Kedua lengan bajunya merah dan basah.
“Ga.. kuat..”
Penglihatannya semakin buram, gelap.
Gunhak baru saja kembali dari kafeteria sambil membawa dua botol minuman ion.
Kakinya berjalan menyusuri lorong, kemudian berhenti di depan kamar Dongju. Beberapa kali mengetuk pintu tapi tidak mendapat jawaban, akhirnya Gunhak pun masuk sendiri.
Ceklek
Kamarnya sepi.
'Dongju kemana?' pikirnya.
Melihat selang oksigen di kasur dan tetesan darah di lantai membuat dirinya merasa panik. Ia menaruh minumannya di meja dan langsung mengecek ke kamar mandi. Beberapa kali mengetuk namun tak kunjung mendapatkan jawaban dari dalam sana, akhirnya Gunhak membuka pintunya.
“Tidak, tidak, tidak. Jangan dulu.”
Gunhak langsung menghampiri Dongju. Berjongkok di samping tubuh Dongju. Merasa bingung harus apa, ia menepuk pelan pipinya, “Dongju sayang, ayo bangun yok. Jangan sekarang, jangan begini, please.”
Air matanya menetes karena perasaan yang ia rasakan sekarang. Antara bingung, panik, takut. Semuanya jadi satu.
Ia mengecek denyut nadi Dongju, hampir tidak terasa. Dirinya semakin panik.
Gunhak lalu berlari keluar, mencari suster maupun dokter yang lewat. Beruntung, ada suster yang akrab dengan Dongju baru saja melewati lorong. Ia pun langsung meminta bantuan untuk mengangkut Dongju.
Dua jam Dongju berada di UGD. Dan masih belum ada kabar apapun.
Ada semua temannya datang menemani. Mereka pun kaget mendengar kabar Dongju yang sudah tak sadarkan diri di kamar mandi dengan mulut yang penuh darah.
Di sinilah mereka, menemani Gunhak sekaligus menunggu kabar tentang Dongju di dalam sana.
Gunhak dari tadi terus-terusan melangkah ke sana-sini. Gelisah. Sesekali menengok ke jendela ruang UGD. Matanya yang berkaca-kaca terus memperhatikan Dongju yang terbaring lemah dengan masker oksigen berada di wajahnya. Alat monitor jantung pun terlihat di sampingnya, menunjukan detak jantung Dongju yang melemah. Dengan dokter-dokter yang mengelilingi berusaha menyelamatkan Dongju.
Semuanya takut, takut Dongju tiba-tiba menghembuskan napas terakhirnya di dalam sana.
Dongju benar-benar sedang berada di ambang hidup dan matinya.
Gunhak yang semakin takut hanya membalikkan badannya, membelakangi jendela UGD. Dirinya terus berharap Dongju akan tetap hidup.
Sementara yang Hwanwoong lihat di dalam sana, monitor jantung menunjukan garis lurus, dengan angka 0 mengindikasikan jantung Dongju telah berhenti.
Para dokter dan suster yang ada di dalam sana pun berhenti, menundukan kepalanya. Kemudian salah satunya keluar dari UGD.
Gunhak langsung menghampiri dokternya, “Gimana dok?! D-dia-dia masih hidup kan? Dia s-selamat??!”
Sang dokter hanya terdiam dengan kepala yang menunduk.
Ah..
Gelengan sang dokter menjawab pertanyaan Gunhak.
Keadaan pun langsung hening. Bahu Gunhak yang awalnya tegap langsung lesu. Ia menunduk berusaha menahan tangisnya. Berusaha menganggap semua ini mimpi belaka.
Tidak mungkin Dongju meninggalkannya secepat ini.
Ini hanya mimpi, kan?
Tepukan di pundaknya menyadarkannya. “Yang sabar, ya, Hak,” ucap Youngjo turut bersedih.
Semuanya bukan mimpi ternyata.
Dongju-nya telah pergi. Malaikat-nya telah menjadi malaikat surga.
Ia benar-benar tidak menyangka akan secepat ini. Padahal dirasa baru kemarin Dongju keluar dari masa komanya.
Gunhak dan Dongmyeong ijin masuk ke dalam, ingin menyapa Dongju untuk terakhir kalinya.
Dongmyeong menyapanya sekaligus mengucap selamat tinggal lebih dulu. Gunhak ingin jadi yang terakhir untuk mengucapkan selamat tinggal padanya.
“Son, gue ga nyangka lu bakal secepet ini perginya.” Ada jeda sebentar. “Makasih, maaf; gue sebenernya gengsi juga mau ngomong gini, tapi gue bersyukur punya lo sebagai kembaran gue. Maaf kalo banyak tingkah laku gue yang bikin lo kesel, risih, atau apapun itu. Pasti udah gak sakit lagi kan ya?.. Dadah, Son Dongju kembaran Son Dongmyeong, yang tenang disana, ya.” Dongmyeong mengucapkan itu semua sambil menahan tangisnya.
Sekarang giliran Gunhak. Dongmyeong pergi meninggalkan ruangan dengan didampingi Harin.
Gunhak menghampiri Dongju, kemudian mengelus pipi Dongju yang semakin mendingin. Tangannya memegang tangan Dongju.
“Pasti sakitnya udah ga kerasa lagi, kan? Seneng dong, ya?” Lagi-lagi matanya meneteskan air mata. “Di sana udah lebih tenang, kan? Makasih banget pernah hadir di hidupku, pernah jadi malaikatku, pernah jadi orang yang kuat melawan penyakitnya, pernah jadi Son Dongju yang disayang semua orang. Makasih banget, kamu pernah jadi pacarku. Berkat kamu, hidupku jadi makin berwarna.”
Gunhak mengecup punggung tangan Dongju, “Yang tenang ya disana. Sekarang kamu udah jadi malaikat beneran. Agak ga rela kamu pergi secepet ini.. Pengen bilang jangan tinggalin aku, tapi Tuhan lebih sayang sama kamu. Jujur, aku masih butuh kamu sebagai penerang hidup.”
Ia menahan tangisnya, “I love you, sayang. Dadah, aku bakal terus bahagia kok. Janji.” Kelingkingnya melingkari kelingking Dongju yang mulai kaku.
Ia berdiri, merasa berat melangkah menjauhi Dongju.
“Hak, sini deh.”
Tiba-tiba Hwanwoong mengajaknya ke kamar Dongju. Tiba-tiba sekali?
Ada yang mereka berdua tau tapi dirinya tidak tau?
Kenapa Dongju tidak memberitaukannya..?
Sesampainya di sana, Hwanwoong mengambil toples yang berisi gulungan kertas buatan Dongju.
“Ini,” Hwanwoong menyodorkannya ke Gunhak. Sementara Gunhak hanya menerima dengan ekspresi bingung.
“Katanya buat lo. Dia nitip ke gue sebelumnya, katanya kalo dia udah pergi duluan tanpa sempet ngasih ini, dia jadiin gue perantara.” Hwanwoong kemudian menjelaskan. “Targetnya sampe 100 lembar katanya, tapi gatau apa sekarang udah sampe targetnya atau belum.. Tapi kayaknya belum.”
Gunhak menatap toplesnya. Iya juga, kenapa Dongju rajin sekali membuat catatan obat sampai segini banyaknya? Toplesnya juga terlalu cantik untuk kumpulan catatan obat. Masuk akal.
“Ah, iya, sama ini juga.” Hwanwoong mengeluarkan secarik kertas berwarna hijau mint, lalu menyodorkannya kepada Gunhak. “Dia juga pernah nitip ini, takut kelupaan. Gue tadi langsung bawa pas denger Dongju masuk UGD, jaga-jaga aja, taunya beneran..” Hwanwoong menjelaskan lagi dengan nada sedih.
Gunhak menerima kertas itu. Kemudian karena penasaran, ia langsung membuka lipatannya.
Untuk: Gunhak GEMES.
Hai, hehehe
Mungkin kamu buka surat ini pas aku udah pergi, ya.
Selalu inget ya, aku bakalan selalu ada di hati kamu, ;)
Kamu jangan lupa bahagia nantinya ya, terus-teruslah bahagia. Ada atau enggaknya aku, kamu berhak bahagia.
Maafin kelakuanku yang kadang bikin kamu kesel, atau bikin kamu marah. Maafin diriku yang selalu pesimis dan terlalu pasrah dengan keadaan.
Makasih udah pernah berjuang bersamaku. Menemaniku sampai detik ini. Makasih udah jadi pacarku. Makasih udah jadi cinta pertama dan terakhirku.
Haha, apasih, bahasanya baku banget
Inget ya, aku ga akan kemana-mana. Aku bakal tetep di sampingmu, di hatimu.
Oiya, tau toples yang isinya kertas-kertas itu?
Itu isinya surat. Buat kamu. Buka setiap hari ya. Targetnya harusnya ada 100 gulung, tapi kalau nyatanya belum genap 100, yah, sudahlah. Kalo ada 100 beneran, yey seneng :D
Jaga dirimu yaa, jangan lupa peduliin diri sendiri juga, jangan orang lain terus yang kamu peduliin.
Sekian, dari malaikatmu(?), xoxo hihi
Matanya yang awalnya sudah kering kembali menumpahkan air mata.
Ah, padahal baru beberapa menit yang lalu ia mengucapkan selamat tinggal pada Dongju, tapi ia ingin melihatnya lagi.
Hwanwoong pergi duluan meninggalkan kamar Dongju, meninggalkan Gunhak yang masih berdiri, menahan tangisannya agar tidak pecah di tempat umum seperti ini.
Ia tau, dirinya bukan lah manusia paling kuat. Bahkan dirinya saja sudah menangis 3 kali malam ini.
Ia harus bisa bahagia sendiri sekarang, tanpa adanya Dongju berjalan di sampingnya lagi. Bisa kah?
end/?
a/n; makasih ya udah ngikutin cerita ini dari awal sampe akhir, have a nice dayy~