우리 시간 (Our time)
Chapter 7
Hari ini adalah hari operasi pendonoran Dongju. Ia telah mendapatkan donor sumsum. Ia merasa tidak sabar menunggu pengoperasiannya.
Ia tau nanti bisa saja operasinya gagal, tapi sekarang ia berharap penuh bahwa operasinya akan berhasil dan semua akan berjalan mulus.
Ia ingin hidup di dunia ini sampai ia mati karena umur, bukan penyakit. Tapi takdir berkata lain waktu ia masih berumur 17 tahun.
Didiagnosa dengan penyakit seperti ini seakan membuat harga dirinya menghilang, benar-benar memalukan bisa mengidap penyakit seperti ini.
Meskipun bukan penyakit menular, tapi teman-teman lamanya malah meninggalkannya. Seolah mereka malu memiliki teman yang mempunyai penyakit seperti ini.
Hingga tersisalah mereka berenam— Youngjo, Hwanwoong, Seoho, Keonhee, Gunhak dan dirinya.
Sebenarnya Seoho dan Youngjo awalnya bukan termasuk teman dekatnya, mereka adalah teman Gunhak. Tapi karena Dongju dan Gunhak waktu itu sangat dekat, akhirnya mereka sering berkumpul berenam. Entah itu triple date ataupun hanya sekedar main bersama.
Sambil menunggu operasinya, tadi ia menghiasi kamarnya sedikit dengan burung origami yang ia buat dua hari yang lalu saat piknik. Ia dibantu oleh Hwanwoong dan Seoho sampai terbuat sekitar 15 buah burung origami. Yang ia gantungkan di kamarnya hanya 8 buah, sisanya ia simpan untuk kenang-kenangan.
Lucunya, yang dipasang hanya ada satu berwarna hitam, sedangkan lainnya berwarna cerah.
7 buah menggambarkan ia dan teman-temannya serta tambahan para dokter dan suster yang membantu ia berjuang melawan penyakit ini— yang berwarna hitam. Ia memisahkan si penyakit dan memosisikannya berada di seberang 7 burung origami lainnya, seakan-akan 7 burung ini melawan satu burung jahat.
Sekarang ia sedang melanjutkan menulis surat-suratnya. Karena ia merasa bersemangat, ia telah membuat sekitar 53 butir gulungan kertas.
Tadi pagi ia muntah berdarah lagi. Sempat menangis karena tenggorokannya terasa sangat sakit. Sampai ia harus beristirahat sebentar dari menghias kamarnya.
Ceglek
Gunhak masuk ke kamar secara tiba-tiba, mengejutkan Dongju yang sedang fokus menulis di kertas ke-55-nya.
“Ah, eh, bae. Kok masuknya tiba-tiba banget sih?” tanya Dongju sambil mengelus dada. Kemudian melanjutkan tulisannya lagi, sambil menutupinya dari Gunhak.
“Ehehe, gapapa, emang mau ngagetin aja,” Gunhak cengengesan. “Ngapain?” Gunhak bertanya sambil duduk di kasur Dongju.
“Nulis,” jawab Dongju singkat. Ia mengambil kertas lagi untuk ditulisi.
“Nulis apa?” tanya Gunhak lagi.
“Tulisan,” jawabnya lagi.
“Buat apa?”
“Buat disimpen.”
Gunhak mendelik ke arah Dongju. “Hih, aneh.”
“Ya, kamu aneh. Dah jelas aku lagi nulis ditanyain,” Dongju mendecak. Mengganti kertas lagi.
Gunhak hanya memperhatikan pacarnya.
“Ga sabar mau operasi, ya?” tanya Gunhak. Dibalas anggukan antusias dari Dongju.
Gunhak menghela napas, “Akhirnya ada yang baik, ya, by.”
“Iya.. Tapi aku tinggal lebih dari sebulan lagi..” ucap Dongju lesu, takut operasinya gagal.
“Ya, meskipun begitu, ga ada salahnya mencoba kan? Daripada kamu minum obat terus-terusan, capek juga kan,” kata Gunhak memainkan tongkatnya.
“Iyasih.. Doain ya nanti berhasil. Harus berhasil pokoknya. Gaboleh gagal.” Dongju berucap dengan semangat sambil mengepalkan tangannya yang memegang pulpen.
Gunhak hanya bisa mengaminkan.
Ia membayangkan hidup mereka tanpa adanya penyakit itu. Pasti sekarang mereka tengah berjalan-jalan.
Gunhak juga sebenarnya berniat untuk melamar Dongju. Entah kapan. Cincinnya saja masih di rumahnya.
Kalau ia sudah melamar Dongju, sekarang pasti mereka tengah berbulan madu.
Pikirannya terus melayang dengan kata 'seandainya' mengiringi. Membiarkan Dongju melanjutkan suratnya tanpa Gunhak menyadari.
Sekarang sudah ada sekitar 58 buah surat.
Dongju menghentikan kegiatan menulisnya ketika dirinya telah dipanggil oleh salah satu dokter yang merawatnya.
Gunhak dan teman-temannya menunggu khawatir dan berharap di depan ruang operasi. Gunhak terus-terusan berdoa agar operasinya berhasil. Ia sangat berharap bahwa pacarnya akan pulih dari penyakit yang ia bawa sejak 3 tahun lalu.
Ada keluarga Dongju juga datang, mereka merasa senang mendapat kabar Dongju akan mendapatkan transplantasi tulang sumsum belakangnya.
Semua berdoa agar operasinya berhasil. Suasana lorong benar-benar sepi. Semua orang sangat mengharapkan keberhasilan operasi Dongju.
Mereka telah menunggu sekitar 45 menit di luar ruang operasi. Duduk sambil memohon kepada Tuhan. Berharap ada kabar baik saat dokter melangkahkan kakinya keluar dari sana.
Beberapa menit kemudian, sang dokter keluar dari pintu ruang operasi, berita yang tidak disangka tersampaikan.
Gunhak menunggu Dongju yang masih belum bangun dari efek bius tadi. Teman-temannya menunggu di luar kamar Dongju.
Dongju perlahan membuka mata, mengerjap menyesuaikan dengan intensitas cahaya yang ada di kamarnya. Kemudian menengok ke Gunhak yang menunjukkan raut muka yang sulit dibaca.
Dongju berusaha bangun, namun bagian pinggangnya terasa perih jadi ia urungkan niatannya.
Menoleh ke arah Gunhak, ia bertanya, “Kenapa..? Ada apa?”
“Kamu tadi abis operasi, by. Ini efek biusnya belum hilang ya?” Gunhak memastikan. Tidak mau memberitahukan yang sebenarnya karena takut Dongju malah merasa sedih.
Dongju mengangguk pelan, seakan menjawab 'mungkin'.
Gunhak memanggil dokter sebentar untuk melakukan pengecekan. Lalu dokter pun bergegas keluar setelah dirasa semuanya baik.
Matanya menatap ke gantungan burung origaminya. Berpikir, apakah burung hitam itu akan hilang? Apakah mereka bertujuh berhasil melakukan semuanya? Apa mereka bertujuh berhasil menaklukan si burung hitam?
Merasa kepalanya pusing, ia memejamkan mata sebentar.
Ia meminta Gunhak untuk menaikan kasur bagian kepalanya agar ia bisa duduk.
Tanpa disangka ia terbatuk lagi, membuat Gunhak kaget dan langsung mengambilkan tisu.
Dongju menatap tisunya dengan mata berair.
Batuknya.. mengeluarkan darah.
Dongju kembali menatap Gunhak, “Pendonorannya.. gagal..?” tanya Dongju pelan. Matanya mulai berkaca-kaca.
Gunhak mengangguk pelan sebagai jawaban. Kemudian mulai menangis pelan di tangan Dongju.
Semua harapannya bagaikan pupus. Hancur semua. Semua andai-andai yang ada di pikirannya hilang. Harapannya untuk meneruskan hidup kembali sirna.
Ia putus asa.
Ternyata memang tidak semudah yang dibayangkan untuk melakukan tranplantasi tulang sumsum. Bahkan menemukan pendonor yang cocok pun juga susah.
Tatapannya yang awalnya penuh harap, kini menatap kosong ke depan. Benar-benar hilang harapan ia untuk hidup. Pasrah.
Tuhan memang menakdirkannya untuk mati lebih dulu dibanding orang-orang tersayangnya.
Kaca cairan yang terbendung di matanya pecah. Dongju menangis, merasa semuanya gagal. Merasa ini semua salahnya.
Gunhak memeluk Dongju, mereka saling menangis di pundak masing-masing. Teman-teman dan keluarga Dongju perlahan masuk, tidak mengeluarkan suara sama sekali, tidak mau menginterupsi.
Hanya ada suara isak tangis Dongju mengisi kamar. Gunhak hanya menangis dalam diam.
Jujur, Gunhak pun merasa kecewa dengan harapannya sendiri. Ia benar-benar berharap Dongju akan sembuh. Jadi ia bisa pulang bersamanya. Ia merindukan Dongju yang selalu berucap “ayo pulang” padanya.
Ia hanya ingin membawa Dongju pulang bersamanya. Menikmati hidup tanpa ada kekhawatiran sedikitpun.
Tapi takdir berkata lain.
Dongju memang ditakdirkan menjadi malaikat surga.
“M-maaf,” ucap Dongju tiba-tiba. Melepaskan pelukannya dengan Gunhak.
“Kenapa?” tanya Gunhak dengan suara serak.
“Maaf, a-ku ngecewain k-kalian semua.” Dongju berusaha meredam tangisnya, namun tak bisa.
“Ngecewain apanya, sayang..?” tanya Gunhak lagi.
“Ak-u udah bikin ka-lian berharap t-tinggi. Taunya- opera-sinya gagal..” Dongju berusaha menyampaikannya disela isakannya.
“Don't be sorry, Honey. Ini semua bukan salahmu,” ucap Gunhak berusaha menenangkan Dongju meskipun ia tahu ini tidak akan mempan.
“Ini salahku..” gumamnya, ia menunduk, masih menangis.
“Engg—” Gunhak yang ingin berbicara langsung dipotong oleh Dongju.
“Kalo aku ga be-gini, aku g-ga bakal ny-yusahin kali-an—”
Dongju terbatuk lagi, kali ini lebih menyakitkan. Darah yang dikeluarkan lebih banyak, membuat seisi ruangan panik. Ada yang memanggil dokter, ada yang membantu mengelap darah Dongju.
Tanpa diduga Dongju pingsan di kasurnya. Membuat Gunhak makin panik.
Please, jangan secepat ini.
to be continue