louisé


Chapter 6


Dua hari setelah movie night kemarin, mereka belum bertemu lagi. Dongju sekarang merasa sedikit baikan. Sementara Gunhak kemarin sudah boleh pulang.

Dongju hari ini masih melanjutkan menulis surat-suratannya. Targetnya minggu ini adalah 50 kertas masuk di dalam toples tersebut. Tapi dengan kondisinya yang seperti ini pasti akan lama. Hanya 4 hari yang lalu ia merasa lebih sehat. Beberapa hari kedepan mungkin keadaannya bakal drop parah.

Selang infus masih menemaninya hingga sekarang ini. Kelak nanti mungkin Dongju akan bersahabat sepenuh jiwa raga dengan selang infusnya. Atau mungkin memang sudah?

Dongju sangat tidak sabar untuk bertemu dengan Gunhak nanti. Hari ini ada sebuah kabar baik, tapi Dongju urungkan untuk nanti saat bersama Gunhak.

Gunhak mengajaknya piknik lagi di taman. Mungkin ia ingin menyelesaikan lukisannya waktu itu. Bahkan Gunhak sudah membeli kanvas baru untuk dipakai Dongju nanti, agar tidak hanya Gunhak yang fokus mengerjakan sesuatu.

Jam masih menunjukkan pukul 01.19 siang. Dongju sedang memakan makan siangnya, bubur hambar. Di mejanya ada segelas air putih dan beberapa butir obat telan. Ia sudah terbiasa dengan ini sejak— entah, ia pun lupa sejak kapan.

Ia penasaran apa Gunhak bisa melakukan semua kesehariannya sendiri? Dengan kakinya yang dibungkus gipsum pasti agak sulit melakukan sesuatu sendiri. Terlebih kedua tangannya harus memegang tongkat setiap saat.

Yah, tapi, apa yang bisa Dongju lakukan dengan kondisinya sekarang ini? waktunya di bumi hanya tersisa kurang dari 5 minggu lagi. Nanti ia akan menggunakan kursi roda untuk berjalan— yang pasti akan menyulitkan Gunhak juga, mengingat kondisinya yang harus memegang tongkat 24/7.

Ahh, pasti akan sangat merepotkan.

Masih berandai-andai jika saja ia tidak mengidap penyakit mematikan ini, jika saja kecelakaan itu tidak pernah terjadi. Mereka berdua pasti sedang menikmati hidup bersama tanpa adanya rasa khawatir tentang waktu.

Surat-surat yang telah ia tulis sudah mencapai total kisaran 36 buah. Dan masih melanjutkannya sekarang. Ia ingin mencapai 40 sebelum piknik nanti.


Gunhak menghampiri Dongju yang masih berada di kamarnya. Mengetuk pintu beberapa kali, kemudian dibukakan oleh pemilik kamar.

“Abis ngapain?“tanya Gunhak melihat meja Dongju penuh potongan kertas.

“Hm.. Adadeh~” jawab Dongju sambil membersihkan mejanya.

“Idih,” Gunhak mendelik, “ayo, jadi ga nih?” ajaknya.

“Hmm sebentar, ini infusan ribet tau,” keluh Dongju.

Gunhak tertawa kecil, “sini kubantu aja.” Gunhak membantu membersihkan potongan-potongan kertas yang berserakan di meja, ada yang sampai ke lantai jadi ia harus menyapunya.

“Seriusan, abis ngapain sih? Kok ampe berantakan kertas gini?” tanya Gunhak penasaran.

It's a secret~” jawab Dongju lagi sambil terkekeh, yang lagi-lagi hanya mendapat tatapan sinis dari Gunhak.

Dongju mengambil seplastik origaminya, juga sebatang lem kertas, lalu ditaruh di dalam tas tentengnya.

Setelah Gunhak selesai, ia langsung mengajak Dongju keluar, tidak lupa dengan sahabat sehidup-sematinya— infus.

Sesampainya di taman, Dongju kaget karena kehadiran keempat temannya.

Ada Seoho yang sedang memainkan boneka Pepe-nya, Keonhee yang sedang makan sambil berceloteh, Youngjo dan Hwanwoong yang.. bermesraan.

“Ih kok ada kalian?” tanya Dongju mau duduk.

“Oh, kita diusir nih, maksudnya? Oke, ayo guys kita cabut aja,” canda Hwanwoong sambil berdiri menarik Youngjo.

“Eh, ga gitu maksudnya,” Dongju menatap sinis Hwanwoong yang kembali duduk. “Ngapain di sini? Bukannya harusnya kalian kuliah?” tanya Dongju lebih detail lagi.

“Ya nemenin lo,” jawab Keonhee disela kegiatan makannya.

“Noh, Gunhak yang ngajak kita kesini.” Seoho menyela sambil mengambil camilan Keonhee, membuat si empunya menggerutu tidak jelas.

Dongju menatap Gunhak kemudian berbalik menatap teman-temannya.

“Dih, aturan mah gausah diajak,” ucap Dongju ke Gunhak. Sementara teman-temannya mendelik ke arahnya.

“Yaudah, ayok, pulang aja, yok,” Hwanwoong bangkit lagi sambil menarik Youngjo.

Semua canda tawa bersama teman-temannya membuat Dongju lebih ceria hari ini.

Gunhak yang melanjutkan lukisannya disertai Youngjo yang melukis pemandangan. Keonhee dan Seoho hanya memakan ayam yang dipesan Gunhak tadi, mereka makan berdua sambil mengusili Youngjo dan Gunhak sekali-kali. Sementara Dongju sedang melukis asal ditemani Hwanwoong yang hanya berkomentar.

“Ju, lu kemaren beli apaan?” tanya Hwanwoong, masih penasaran dengan barang yang waktu itu ia beli.

“Itu.. Gue beli kayak jaket gitu, Han.” Volume suaranya mengecil, membuat Hwanwoong makin mencondongkan tubuhnya ke arah Dongju. “Awalnya buat surprise Gunhak, tapi gajadi, soalnya menurut gue itu kado kayak udah mainstream banget, jadi gue ubah idenya,” jawab Dongju panjang lebar, namun dengan suara yang pelan, takut yang dibicarakan mendengar.

“Oalah.. Terus? Lu ganti apa?” Hwanwoong masih penasaran.

“Ehmm.. Ini lagi proses,” jawabnya lagi. Tangannya sesekali menyeluncurkan kuasnya di atas kanvas, sesekali mencelupkannya ke salah satu cat yang ada.

“Wih, bikin apa emangnya?”

“Penasaran banget keknya lu.” Dongju menatap sinis ke Hwanwoong, sementara yang ditatap hanya cengengesan.

“Ya namanya juga kepo,” balas Hwanwoong sambil tersenyum kecil.

“Yeu, dasar.” Dongju melanjutkan lukisannya. Ia melukis berdasar referensi yang ada di ponselnya.

Hwanwoong yang merasa diabaikan berusaha menarik perhatian Dongju lagi. Ia masih penasaran dengan apa kadonya.

“Han,” panggil Dongju. Yang dipanggil tentu saja kaget.

“Iya, kenapa, Ju?” sahut Hwanwoong.

“Ntar kalo misalkan gue udah pergi, nanti lu yang ngasih hadiahnya ya,” pesannya.

Hwanwoong yang mendengarnya bingung, “Loh, kok ngomong gitu?”

“Iya.. mana tau gagal..” gumam Dongju.

“Gagal apanya?”

“Hm.. Sesuatu~” balas Dongju sambil tersenyum ke arahnya. “Serius tapi, ya. Gue bikinin doi surat-suratan dalam toples gitu. Targetnya sih harus ada 100 surat. Tapi kalo misalkan gue belum selesein dan gue malah pergi duluan, gue nitip ke lo buat kasih ke dia, jaketnya juga sekalian,” jelas Dongju panjang.

Agak sedih mendengar pesannya, seolah-olah Dongju benar-benar pasrah dengan takdirnya.

“Oke, Ju.” Hwanwoong berjanji.

“Makasih.”

“Sama-sama.”

Kemudian keadaan menjadi sepi, hanya ada suara orang di sekeliling mereka dan suara angin yang menggesek dedaunan pohon-pohon.

“Kalian,” Dongju angkat bicara.

“Kenapa?” sahut mereka berbarengan.

“Jadi.. Tadi pagi, dokter gue ngasih kabar,” ucap Dongju potong-potong, membuat teman-temannya penasaran.

“Apa tuh, kabar apa?”

“Katanya, ada yang baik hati.”

“Wah, gue nih pasti,” cerocos Seoho. Disambut toyoran dari Keonhee dan Hwanwoong.

“Kalo ngomong suka aneh.”

“Jangan mengada-ngada.”

“Ih dengerin dulu,” Dongju mulai kesal.

“Ya lagian lunya ngomong lama banget,” timpal Seoho.

“Sabar.” Dongju menatap Keonhee, “Hee, itu pacarmu boleh gue sumpelin kaos kaki ga mulutnya?” candanya. Yang tentu saja dibalas anggukan antusias.

“Sialan lo jadi pacar,” kutuk Seoho.

“Ehem,” Dongju mendeham, memfokuskan perhatian teman-temannya kembali.

“Ada yang baik gimana, by?” tanya Gunhak bingung.

“Ya.. ada yang berbaik hati mau ndonorin tulang sumsumnya buat gue,” Dongju berucap dengan senang.

“SERIUS JU?” tanya yang lainnya, merasa ini seperti mukjizat.

“Kalo ga serius gue udah balik ke kamar dari tadi,” jawab Dongju.

“Demi apa, by?” tanya Gunhak masih tidak percaya. Dibalas anggukan oleh Dongju.

“Aku dapet kesempatan hidup lebih lama, bae,” ucapnya menahan tangis, merasa senang karena ada yang berbaik hati mau mendonorkan tulang sumsum.

Gunhak lantas memeluknya erat. “Seneng banget, by,” ucap Gunhak di pundak Dongju.

“Sama, aku juga seneng. Doain ya operasinya lancar,” mohonnya.

“Selalu kudoain, by.”

Mereka melepaskan pelukannya, masih merasa terharu karena pengumuman dari Dongju.

“Operasinya kapan, Ju?” tanya Youngjo.

“Dua hari lagi sih, besok kek semacam persiapan gitu. Doain ya semoga lancar,” Dongju menatap teman-temannya dengan tatapan memohon.

Dongju merasa tidak sabar untuk dilakukan operasi pendonoran tulang sumsumnya.

Untuk pertama kalinya, ia mendapat secercah harapan untuk menikmati hidup lebih lama lagi bersama keluarganya, teman-temannya, juga pacarnya. Ia sangat berharap operasi lusa akan berhasil. Semoga saja.


to be continue


Chapter 5


Dongju telah merencanakan movie marathon date untuk malam ini di kamar Gunhak. Menggunakan mini proyektor miliknya.

Ia pernah membeli mini proyektor tapi belum pernah ia gunakan sama sekali. Jadi semalam ia meminta saudara kembarnya untuk membawakan mini proyektornya.

Ia sudah ijin kepada dokternya kalau akan berada di kamar Gunhak sampai larut. Atau mungkin menginap.

Ia merencanakan untuk melakukannya di kamar Gunhak agar kekasihnya itu tidak perlu susah-susah berjalan. Kasihan melihatnya.


Hari sudah menjelang malam, jam menunjukkan pukul 5 dengan jarum panjang di angka 6. Dongju mempersiapkan camilan-camilan yang bisa dimakan tengah malam. Membawa tas tentengnya yang berukuran sedang, berisi laptop dan mini proyektor miliknya. Kemudian ia beranjak menuju ke kamar pacarnya.

Seharian ini ia hanya makan, minum, dan meneruskan menulis surat untuk toples. Hari ini sudah terdapat sekitar 21 surat di dalam toples tersebut.

Ia sangat tak sabar untuk memberikannya kepada Gunhak kalau sudah selesai.

Semoga ia bisa menuliskannya sampai 100.

100 kalimat yang menyatakan betapa ia sangat mencintai Gunhak, merasa beruntung memilikinya. Bagaimana ia selalu kagum padanya. Dan juga ada beberapa surat yang bagaikan mesin waktu— entah bisa membawanya kembali ke masa lalu maupun fokus ke masa depan.

Semuanya ia curahkan di dalam toples itu.

Sesampainya di kamar Gunhak, ia mengetuk pintunya beberapa kali, namun tak ada jawaban. Jadi Dongju langsung menyelinap masuk.

'Gunhak kemana..'

Kalau berada di kamar mandi, harusnya terdengar suara air mengalir.

Tidak mau memusingkannya, ia langsung memasang mini proyektornya.


Selang 45 menit, Gunhak baru kembali.

Dongju yang sudah selesai menyiapkan semuanya langsung menatap ke arah pintu ketika mendengar suara pintu dibuka.

“Abis darimana?” tanya Dongju penasaran, menaruh ponselnya di meja, kemudian mengambil laptopnya dari tas tentengnya.

“Abis konsul sama dokter,” jawab Gunhak, masih berdiri di ambang pintu.

“Ooh.. Lama banget?”

“Gatau tuh emang dokternya. Yang aku ngerti cuma sedikit. Haduh,” Gunhak berjalan masuk.

“Yee, parah banget dokternya ngejelasin tapi kamunya malah ga ngerti. Gimana sih,” canda Dongju sambil membuka laptopnya.

“Mau nonton apa nanti?” tanya Gunhak mengganti topik, sebelum mencuci tangannya di wastafel kamar mandi.

“Hmm, ada deh,” lalu tertawa kecil.

“Kamu udah ijin doktermu? Ntar kalo kemaleman gimana? Kalo kamu ketiduran di sini gimana?” tanya Gunhak lagi.

“Sshhhtt, nanyanya banyak amat, bos.” Matanya mendelik ke arah Gunhak yang terkekeh. “Iyaa, aku udah ijin. Ngga apa-apa kata dokternya, bisa nginep juga di sini. Lagian juga kan masih satu rumah sakit. Satu lantai pula, cuma beda lorong,” jelas Dongju sambil memencet tombol play film-nya. Gunhak mengangguk mengerti.

Sementara Gunhak duduk, Dongju kembali berdiri untuk mematikan lampu kamar, lalu mengambil sebuah roti bungkus dan sebotol susu sebelum kembali duduk di kasur.


Jam dinding menunjuk angka 8 dengan jarum panjang menunjuk angka 5. Baru satu movie yang disetel tapi Dongju sudah menangis karena adegan di perempat akhir.

Mereka menonton 'Five Feet Apart'. Menceritakan bagaimana kisah cinta dua pemuda-pemudi yang mengidap penyakit mematikan. Tapi yang satu berhasil menjalankan operasinya jadi ia masih bisa menjalankan hidupnya, sementara yang satunya lagi tidak akan bisa bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama.

Kurang lebih nasibnya hampir sama dengannya.

Selama menonton, mereka hanya makan camilan dan saling berbisik untuk mengobrol. Dengan posisi Dongju yang menyender ke Gunhak. Sementara Gunhak menyender ke kasurnya yang diposisikan tegak dengan kakinya yang diluruskan.

Tiba-tiba Dongju terbatuk, membuat Gunhak yang tadinya sedih juga menjadi panik. Tangannya langsung mengambil kotak tisu yang berada di meja sampingnya, lalu langsung memberikan beberapa lembar ke Dongju. Dan ternyata bukan hanya batuk— muntah juga. Gunhak langsung bangun, tapi lupa kalau kakinya tak bisa berjalan biasa jadi ia hanya menyuruh Dongju bergegas ke wastafel kamar mandi.

Dongju mengelap sisa darah yang ada di mulut dan bibirnya. Rasa darahnya aneh. Tapi ia sudah terbiasa dengan ini semua—muntah dan batuk berdarah, kadang pun ada nanahnya. Terkadang darah yang dikeluarkan bisa sedikit, bisa pula banyak, sampai terkadang ia menangis di kamar mandi karena perut dan tenggorokannya yang kesakitan.

“Astaga.. Harusnya tad-i gausah sampe nang-is nontonnya, jadi-nya kan gabakal beg-ini..” lirih Dongju sambil mencuci mulutnya.

Ia menatap dirinya di cermin, kacau sekali. Padahal hanya menangisi sebuah film.

Dongju berjalan keluar dari kamar mandi, kemudian langsung menghampiri Gunhak yang duduk di kasur menunggunya.

“Sakit banget ya?” tanya Gunhak sambil menangkup pipinya.

Dongju hanya mengangguk. Tenggorokannya masih terasa sakit, ia tak mau mengeluarkan suara dulu.

“Ututu, sayang..” Ia menghapus air mata yang masih menetes di pipi Dongju. Kemudian mengecup kedua pipinya supaya pacarnya merasa baikan.

“Ga ada yang mau donor tulang sumsum apa ya..” Suara Dongju terdengar serak. Kemudian berangsur memeluk Gunhak, mencari kehangatan di pelukan manusia favoritnya.

Sementara Gunhak hanya diam. Ia juga berharap ada yang mau mendonorkan tulang sumsum untuk Dongju.

He can't imagine a world with him gone.

“Berdoa aja ya, by, semoga ada yang berbaik hati,” Gunhak membalas pelukannya.

“Tapi jangan kelamaan.. Keburu udah ga sempet-hiks,” Dongju memeluk Gunhak makin erat.

“Ya, makanya berdoa, sayang. Aku juga ga sanggup liat kamu kesakitan begini terus,” ucapnya sambil mengelus kepala Dongju.

Lagi, Dongju mengangguk.

“Ini nontonnya udahan?” tanya Gunhak, “Udahan aja deh ya, sedih begitu nanti kamu ga kuat,” lanjutnya. Dongju mengangguk lagi.

Gunhak mematikan laptop dan proyektornya, kemudian menaruhnya di meja di samping kasurnya.

“Sini, ayo tidur,” ajak Gunhak. Kasurnya ini lumayan besar untuk kapasitas satu orang. Jadi mungkin cukup untuk mereka berdua.

Dongju naik ke kasur, kemudian duduk di samping Gunhak yang menghadapnya.

Gunhak menangkup pipi Dongju lagi, “Udah, yaa. Rasa sakitnya nanti bakal berkurang kok, udah cup cup sayang~” Gunhak mencium kedua mata Dongju yang sembab. Kemudian turun menciumi kedua pipinya, lalu ujung hidung, kemudian di bibirnya.

“Nah, udah, ritual penyembuhannya sudah dilaksanakan, Tuan Putri!” ucap Gunhak seraya menunjukkan sikap hormat, kemudian terkekeh.

Dongju hanya tersenyum kecil. Ia sangat senang bisa memiliki Gunhak disisinya selama hidupnya— juga selama sisa hidupnya.

Dongju berbaring di samping Gunhak, memeluk tubuh besar pacarnya itu. Andai ia bisa memberhentikan waktu, ia akan melakukannya sekarang.

Tidak pernah ingin melepas pelukan hangat kesukaannya ini.

Tidak pernah ingin melihat kesedihan di wajah kekasihnya.

Tidak pernah ingin meninggalkan manusia favoritnya selamanya.

“Makasih,” ucap Dongju tiba-tiba.

“Karena?”

“Makasih, selalu ada di sampingku, apapun situasinya. Makasih banget.”

Gunhak merasa seperti itu adalah kalimat perpisahan, tapi kan belum waktunya. Tidak mau berpikiran negatif, ia mencium pucuk kepala Dongju.

“Makasih juga, udah bertahan sampe sekarang. Keep fighting, baby.”


to be continue


Chapter 4


Sudah 3 hari mereka tidak saling sapa. Berada di ruangan masing-masing terasa sangat membosankan. Tidak bisa saling bertatap muka, melepas rindu meski baru 3 hari. Tidak bisa saling berpelukan, saling bertukar cerita, saling menyemangati. Mereka ingin bertemu.

Selama 3 hari itu kondisi Dongju sedang drop karena kelelahan. Jadi ia disarankan oleh dokter untuk beristirahat dulu sampai merasa lebih baikan.

Dan selama 3 hari itu pula Gunhak belajar berjalan lagi—layaknya anak bayi. Ia ingin menemani Dongju lagi. Ia ingin melihat senyum dan tawa Dongju lagi sebelum semuanya terlambat. Ia ingin memeluk Dongju lagi, sebelum semuanya terlambat. Makanya ia sangat bersemangat untuk belajar berjalan lagi. Menggunakan tongkat penopang tentunya.

Kenapa tidak pakai kursi roda? Ribet, kalau kata Gunhak. Ia ingin langsung belajar jalan supaya ia bisa minimal menikmati waktu berdua dengan Dongju tanpa ribetnya kursi roda.

Tapi nanti Dongju lah yang akan menggunakan kursi roda..

Hari ini, ia sudah tidak perlu bantuan Youngjo dan Keonhee untuk berjalan menggunakan tongkat pemapahnya. Dan hari ini pula, ia akan menjenguk Dongju yang berada di kamarnya.

Menurutnya, berada di rumah sakit ini mempermudahnya untuk bertemu Dongju. Tapi ia tidak suka berada di kamarnya terus-terusan. Tangan kanannya yang tersambung selang infus kurang bisa ia pakai untuk bermain game di ponselnya, membuatnya benar-benar bosan berada di kamarnya.

Ya mau gimana lagi, dirinya terlalu ceroboh sampai bisa dirawat seperti ini.


tok tok tok

“Iyaa, sebentar.”

Jam menunjukan pukul 10 pagi. Tidak mungkin ada penjenguk datang sepagi ini. Biasanya teman-teman maupun keluarganya sedang sibuk. Gunhak pun biasanya datang jam 11—kalau sedang tidak sakit.

Dongju yang sedang membaca buku langsung beranjak dari kasurnya untuk membuka pintu kamarnya.

Melihat sosok yang berdiri di ambang pintu membuatnya terkejut, lalu berangsur memeluknya. Yang dipeluk hampir kehilangan keseimbangan karena pelukan yang begitu mendadak.

“Kangen banget..” ucapnya.

“Baru tiga hari, by,” balas Gunhak sambil mengelus kepala Dongju.

“Ya tapi itu lama.” Dongju melonggarkan pelukannya, lalu cemberut menatap Gunhak.

Gunhak mendengus, “Iya, tapi tiba-tiba berasa cepet. Taunya udah tiga hari kan kita ga ketemu? Termasuk cepet menurutku.”

“Lama-lamain aja sih,” balas Dongju. Masih memeluk leher Gunhak.

“Andai bisa, by,” Gunhak membalas dengan nada yang terdengar sedih.

“Ayo masuk aja, by, masa begini di lorong rumah sakit,” kata Gunhak melepas pelukan mereka.

“Oiyah.” Dongju berjalan ke dalam, lupa kalau pacarnya menggunakan alat bantu untuk berjalan. “Eh iya ya ampun lupa aku, maaf, Bae. Sini ayo masuk.” Dongju langsung membantu pacarnya berjalan masuk ke kamarnya.

“Heuh aneh, pacar sendiri kelupaan,” kesal Gunhak.

“Ya lagian kamu aneh-aneh.”

“Ya lagian kamu ngilang.”

Dongju mematung. Gunhak sebenarnya masih marah padanya?

Ia berbalik, “Maaf,” ucapnya.

“Ngapain minta maaf sih,” tolak Gunhak.

“Ya.. Karena aku salah,” Dongju mengaku.

“Kemaren kamu udah minta maaf.”

“Masa bodoh, aku minta maaf pokoknya,” Dongju memaksa. Ia memang merasa bersalah karena ide buatannya sendiri.

“Aku udah maafin kamu. Kamu gausah ngerasa bersalah lagi. Lagi pula memang aku yang ceroboh menyetirnya,” Gunhak mendengus.

“E-ehm, oke..” Dongju mengangguk pelan.

Dongju mengambil ponselnya, kemudian membalas beberapa pesan dari teman-temannya. Sementara Gunhak duduk di kursi yang ada. Memperhatikan Dongju yang bisa seindah bidadari.

Kadang ia heran sendiri, kekasihnya ini manusia atau bidadari, sih? Kenapa bisa sangat indah dan mempesona? Dengan semua flaws-nya membuatnya terlihat sungguh flawless di mata seorang Kim Gunhak.

Gunhak memperhatikan sekitar, kemudian perhatiannya sampai pada sebuah jar yang berisi beberapa kertas kecil di atas meja Dongju.

“Itu apaan, by?” Gunhak bertanya sambil menunjuk benda yang dimaksud. Sementara yang ditanya bingung harus menjawab apa.

Iya, itu adalah hadiah untuk Gunhak. Ide yang membuat pacarnya bisa-bisa meregang nyawa lebih dulu darinya.

Ide awalnya hanya memberi sebuah surat kecil. Lalu ia selipkan di kantung baju yang ia beli kemarin. Tapi idenya ia ubah. Karena selama 3 hari ia merasa bosan, ia mengubah ide surat-suratan tersebut menjadi 'jar of love'.

Tujuannya membuatnya karena, pertama, ia bosan. Kedua, ia ingin Gunhak tau bahwa dirinya akan terus berada di sampingnya. Salah, berada di hatinya. Apapun kondisinya.

Kapan akan diberikan? Setelah sekiranya 100 surat kecil telah tertulis. Dan dari kurun waktu 3 hari kemarin, ia baru membuat sekitar 8 surat. Jadi mungkin hadiahnya ini akan diundur waktu pemberiannya.

“U-uhm, itu.. catatan obat yang udah kuminum dalam sehari. Heheh,” Dongju beralasan. Tapi itu memang benar. Ia memang minum beberapa obat dari dokter yang merawatnya. Dan terkadang kemoterapi setiap 3 minggu sekali. Kemarin ia baru melakukannya lagi.

“Oooh, obatmu berapa hari sekali?”

Mampus, ia tak pernah menghitung secara pasti berapa kali sehari ia minum obatnya. Ia hanya bergantung pada catatannya. Tapi catatan obatnya ia simpan di laci mejanya.

“Eum.. 2 kali, iya dua kali,” ia menjawab seingatnya. Dibalas dehaman mengiyakan dari Gunhak.

Keadaan menjadi hening selama semenit, sampai akhirnya Gunhak angkat bicara lagi.

“Gaenak banget duduk-duduk di sini doang. Aku pake ikutan sakit sih ah,” keluhnya. Dongju hanya terkekeh, “Ya lain kali hati-hati dibilangin.”

“Hehe, iya,” balasnya. Kemudian hening lagi sesaat.

“By, katamu tadi waktu itu berjalannya lama kan?” tanyanya kepada Dongju.

“Eum,” ia mengangguk.

“Andai beneran berjalan lambat, by.”

“Maksudnya?”

“Iya, akhir-akhir ini waktu berjalannya cepet banget. Ga sadar aja kan sekarang udah hari Rabu? Padahal kemaren berasa masih hari Sabtu. Tiga hari lagi udah Sabtu lagi. Waktu jadi berjalan cepet banget,” curhatnya.

Dongju merenung, iya, benar. Akhir-akhir ini memang berjalan dengan sangat cepat.

Yang berarti, ia akan pergi dalam kurun waktu yang dapat dibilang sebentar.

“Iyaya.. Tapi aku gamau pergi begitu cepet, bae. Nanti siapa yang nemenin kamu..” lirihnya.

“Jangan khawatirin aku.” Gunhak beranjak dari kursi, lalu berjalan ke kasur yang didudukin Dongju. “Khawatirin dirimu dulu,” sambungnya.

“Gaguna juga, aku ujungnya juga bakal mati.” Dongju menoleh ke arah Gunhak.

“Hus, omongannya.”

“Gimana? Emang bener kan?” tanyanya.

Gunhak tidak bisa membantahnya. Memang benar ia akan pergi. kankernya sudah memasuki stadium akhir. Chance of survival-nya lebih rendah.

Gunhak hanya bisa menghela napas. “Sini, sini.” Gunhak menggerakkan tangannya mengisyaratkan Dongju agar memeluknya.

“Aku gamau pergi, bae..” lirihnya di pelukan Gunhak.

“Ya, sama. Aku juga gamau kamu pergi,” balas Gunhak sambil mengelus kepala Dongju.

Menurutnya itulah yang paling ampuh untuk menenangkan Dongju; memeluknya sambil mengelus kepalanya. Dulu setiap ia melakukan itu Dongju pasti langsung tertidur di pundaknya. Mengorok lucu.

“Kamu pernah bilang bukan, kita harus bisa manfaatin waktu dengan baik?” tanya Gunhak.

“Iya..”

Then, let's use the time we have left as best as we could. Jangan ada yang terlewat. Kita harus bisa lewatin ini semua bareng. Okay?” Gunhak menarik Dongju, lalu mendekatkan kepala mereka sambil menangkup pipinya.

Even though we don't have much time left, we could still try to make it meaningful to each other. It's our time— the time is ours, we could do whatever we want. Makanya—”

Kita harus bisa manfaatin waktu yang tersisa dengan baik,” ucap mereka berbarengan.

Jangan sampe ada penyesalan di akhir nanti, yakan?” sambung Dongju sambil tersenyum.

“Benar sekalii~” Gunhak melakukan nose scrunch-nya tanpa ia sadari. Membuat Dongju yang melihatnya langsung terkekeh gemas.

“Ish lucu amat pacarku.” Dongju juga menangkup pipi tirus Gunhak. Kemudian memberinya kecupan.

“Heh mulai berani yaa?” tantang Gunhak. Kemudian balas mengecupnya.

“Ya lagian kamu gemesin. Siapa yang ga greget pengen nyium coba?”

“Aku ga gemesin.”

“Iya, kamu gemesin. Dah, no debat.” Lalu berangsur menghujani wajah Gunhak dengan kecupan.

“Apasih, geli tau,” Gunhak menjauhkan dirinya dari Dongju. Namun Dongju makin mendekati wajahnya sampai akhirnya mereka bertindihan. Gunhak di bawah, Dongju di atas.

“Kok begini posisinya?” tanya Gunhak.

“Posisi apa?” Dongju balik tanya, bingung.

“Ini. Kok malah kamu yang di atas? Bukannya kebalik?” goda Gunhak.

“APASIH.” Dongju langsung bangun dan melempari bantalnya ke arah Gunhak.

“Makasih loh, baydewey.”

“Apanya?”

“Udah naikin moodku. Pengen tidur di sini aja biar gausah jauh-jauh ke kamarmu.” Gunhak langsung menutup matanya.

“DIH MALAH TIDUR.”

“Biarin, aku ngantuk. Numpang ya, bentar aja. Nanti kalo udah mulai malem bangunin aku,” pintanya.

“Ogah,” jawab Dongju sambil terkekeh. “Bae, besok nobar yuk,” ajaknya. Ia memunggungi Gunhak yang berbaring. Dibalas dehaman mengiyakan.

Melihat pacarnya langsung tertidur, ia langsung lanjut menulis surat-surat kecil untuk mengisi toplesnya. Semoga sampai 100 surat sebelum kepergiannya.


to be continue


Chapter 3


Gunhak keluar dari toilet, menemukan mejanya dan Dongju kosong. Benar-benar sudah dibersihkan pelayan. Dongju pun tidak ada di bangkunya.

Gunhak pun berjalan ke kasir, berpikiran bahwa Dongju berada di luar menunggunya. Tapi mengapa harus menunggu di luar? Kan di luar dingin. Takutnya Dongju tak kuat terhadap suhu udara malam, Gunhak pun cepat-cepat membayar.

Sesampainya di luar, Dongju tidak terlihat sama sekali. Perasaan panik mulai mendominasi.

Ia menarik ponselnya dari saku celana, mencoba menghubungi Dongju.

Nomer yang Anda tuju sedang tidak aktif, silakan coba lagi.

Shit,” Gunhak mengutuk dirinya sendiri.

Apa Dongju pulang duluan karena ia diam-diam masih marah?

Apa Dongju baik-baik saja?

Apa Dongju sebenarnya tidak memaafkannya?

“Ahh, padahal masalah sepele.”

Gunhak masuk ke mobilnya, langsung menyalakan mesin dan keluar dari area parkir.

Ia menyetir dengan perasaan campur aduk. Bahkan ia sampai lupa mengenakan sabuk pengamannya.

Saking khawatirnya dia, takut kalau Dongju kenapa-napa. Ia harus memastikan bahwa kekasihnya itu pulang dengan selamat. Sampai lupa dengan keselamatan sendiri.

Kemudian hidupnya seperti melintas di depan matanya.


“Ju, lu beneran udah ngasih tau Gunhak?” tanya Youngjo sambil menyetir.

“Udah kok, Hyung,” jawabnya.

“Kalo misalnya notesnya kebuang gimana? Sebelum si Gunhak baca notes mu?” tanya Hwanwoong kali ini.

“Semoga enggak.”

“Semoga ya..”

Hwanwoong dan Youngjo adalah teman sekampusnya. Teman Gunhak juga. Mereka juga berpacaran.

Mereka habis menemani Dongju membeli sesuatu— yang bahkan mereka berdua pun tak tahu. Dongju tidak memberitahukannya. Dia hanya bilang ingin membeli sesuatu untuk dijadikan kejutan untuk Gunhak.

Hari sudah semakin larut. Harusnya Gunhak sudah berada di rumah sakitnya, menunggunya. Seperti yang ia tuliskan di notes-nya. Harusnya.

Tiba-tiba ponsel Dongju berdering. Terpapar nama pacarnya di layarnya. Tapi tidak biasa Gunhak menelpon selarut ini, biasanya ia bermain game di ponselnya.

Entah kenapa Dongju mendapat perasaan tak enak. Ia pun mengangkat panggilan tersebut.

“Halo?”

Hwanwoong yang duduk di sebelah Youngjo menoleh ke belakang, penasaran. “Siapa yang n—”

Belum sempat bertanya penuh, sudah disuruh diam duluan oleh Dongju.

“Idih dasar.” Kemudian ia kembali menghadap ke depan.

“H-hah.. S-serius..?” Mata Dongju mulai berkaca-kaca, suaranya mulai bergetar.

Hwanwoong menoleh lagi ke belakang, menemukan Dongju yang berusaha keras menahan tangisnya sambil memutuskan sambungan.

“Kenapa Ju??” tanya Hwanwoong.

“Gunhak-” Ia mencoba menjelaskan tapi tak sanggup menahan tangisnya.

“Kenapa Gunhak? Lu diapain? Kok sampe nangis? Selingkuh dia?” cerocos Youngjo asal, mendapat pukulan dari Hwanwoong. “Sembarangan kalo ngomong.” Kemudian menoleh lagi ke Dongju. “Gunhak kenapa Ju?”

“Dia kecelakaan.”

Tepat saat itu tangisnya langsung pecah.

“HAH?” Kaget Youngjo dan Hwanwoong berbarengan.

“Kok bisa Ju??” Hwanwoong bertanya lagi.

“Ng-ga tau,” jawab Dongju disela tangisannya.

“Yaudah, dia di rumah sakit mana?” kali ini Youngjo yang bertanya.

“Di rumah sakit yang aku inepin,” jawabnya lagi.

“Oh oke.” Youngjo langsung menginjak gas.

Dongju masih menangis di kursi belakang. Berpikiran bahwa ini semua salahnya. Andai saja ia tak merencanakan surprise ini, pasti Gunhak masih di mobil bersamanya sekarang. Pasti tidak akan terjadi yang namanya 'kecelakaan'. Ia takkan membuatnya panik.

Tapi, ya, sudah telat.


Dongju masuk ke ruangan Gunhak dengan dipapah oleh Hwanwoong dan Youngjo. Ia makin lemas karena terus-terusan menangis.

Tangisnya pecah lagi kala ia melihat kekasihnya terbaring tak berdaya di kasur rumah sakit. Dengan selang dan jarum infus yang tertancap di tangan kanannya. Wajahnya begitu pucat.

Dongju memegang tangan kiri Gunhak, seolah tak mau melepaskannya.

Jangan Gunhak duluan yang pergi. Ia tak akan sanggup.

Dalam hati ia terus berdoa agar pacarnya itu langsung siuman.

“Aaah, coba a-ja aku gabikin id-e ngasih hadiah ke- kamu, pasti kamu ma-sih berdiri di-samping aku,” ucap Dongju disela tangisannya. Hwanwoong dan Youngjo yang menyaksikan hanya saling memeluk. Hwanwoong ingin menangis karena merasa iba. Youngjo memeluknya untuk menenangkannya.

“K-kamu ga baca n-notes-nya ya? M-makanya kamu sam-pe begini. Kenap-pa bisa ga diba-caa?? Aneehhh.” Dongju memegang erat tangan Gunhak, diciuminya punggung tangan itu.

“Ayoo, bang-un, sayaangg.”

Hwanwoong berpikir, kalau Gunhak kecelakaan saja sudah sesedih ini, bagaimana nanti ketika Dongju.. pergi selamanya?

“Yang, ini udah sedih banget, kebayang ga sedihnya Gunhak nanti..?” tanya Hwanwoong ke Youngjo.

“Kenapa?” tanya Youngjo kurang mengerti.

“K-kalau.. Dongju nanti— 'amit-amit', meninggal, gimana suasananya..” Hwanwoong mengecilkan volume suaranya ketika menyebut 'meninggal'. Takut orangnya dengar dan makin sedih.

“Nggatau, beb. Yang pasti Gunhak bakal galau berhari-hari,” balas Youngjo dengan yakin.

“Kasian tapi.. Baru kecelakaan pun udah sedih banget begini..” Hwanwoong menghela napas. Youngjo mengelus kepala Hwanwoong menenangkan.

Dongju masih menangis di tangan Gunhak. Masih berharap kekasihnya akan bangun detik itu juga.

Dan benar saja, tangan yang dipegang Dongju mulai bergerak. Menunjukkan bahwa dirinya sudah siuman.

Dongju langsung duduk tegak, begitu antusias mengetahui pacarnya telah siuman. “P-panggil dokter! Hyung, panggil dokter!”

Youngjo keluar memanggil dokter. Kemudian masuk lagi, diikuti seorang dokter dan seorang perawat.

Dokter dan perawatnya langsung melakukan pengecekan. Setelah dirasa semua baik, mereka langsung ijin keluar.

Gunhak meringis merasakan rasa sakit di kepalanya. Merasa agak pusing.

Ia mengedipkan matanya berkali-kali, mencoba menyesuaikan dengan cahaya ruangan. Kemudian menoleh ke arah Dongju. Tangannya meraih pipi merahnya.

“Kenapa nangis sayang..?” tanya Gunhak dengan suara serak.

Bukannya mereda, tangisnya malah makin menjadi.

“Bodoh!” rutuk Dongju. “Bodohhhh!! Kenapa bisa sampe beginiiii??”

Gunhak mendengus, “Aku pun gatau, by. Aku panik kamu tiba-tiba ga ada tadi. Aku takut kamu kenapa-napa. Ternyata kamu masih disini.”

“Kenapa bisa panik sihh? Kan a-ku udah ngasih notes di bawah ge-lasmuuu.”

“Hmm.. Ngga ada. Mejanya udah bersih pas aku keluar dari toilet,” jelasnya.

“Yah.. Pantes,” Youngjo menyahut.

Gunhak berusaha bangun dari posisinya dibantu oleh Youngjo. Ingin duduk meluruskan kakinya yang digipsum. Kata Hwanwoong, dokter bilang tulang kaki kirinya retak. Dan butuh sekitar 6-8 minggu untuk sembuh sepenuhnya.

Ia akan sembuh ketika Dongju tak lagi bersamanya.

Dongju langsung memeluk Gunhak sambil menangis. Sudah berapa lama ia menangis.

Gunhak menyambut pelukan tersebut. Mengelus pucuk kepala Dongju supaya dirinya tenang.

“Aku khawatir pas denger kabar kamu kecelakaan tau. Jangan bikin panik begini,” tangis Dongju di pundak lebar Gunhak.

Sambil mengelus pucuk kepalanya, Gunhak membalas, “Kamu juga. Harusnya kamu jangan tiba-tiba ilang begitu. Bikin aku khawatir. Bikin aku panik. Mana kamu kondisinya begini.” Ia melepas pelukannya. “Ya siapa sih yang ga kalut rasa panik pas tau orang kesayangannya tiba-tiba ngga ada? Tiba-tiba ngilang?”

Dongju termenung. Benar juga.. Semua yang dirasakannya sekarang ini adalah apa yang dirasakan Gunhak tadi. Panik, khawatir, takut. Sama persis.

“M-maaf..” Dongju menunduk.

“Ngga usah minta maaf. Yang penting kamu masih hidup aku udah seneng kok.” Gunhak mengangkat kepalanya, lalu tersenyum, menghangatkan hati Dongju yang melihatnya.

Tiba-tiba pegangan tangan Dongju melonggar. Pingsan. Youngjo dengan sigap langsung menangkap tubuhnya yang hampir tersungkur ke belakang, kemudian di bawa keluar dan memanggil beberapa dokter.

“Ya ampun, sampe pingsan..” kata Gunhak, langsung memegang kepalanya karena berdenyut menyakitkan.

“Iya, itu dia dari tadi di jalan nangis terus dapet kabar lo kecelakaan. Kecapekan. Plus juga dia kan ada sakit. Ya untungnya hari ini ga batuk darah sih, tapi malah pingsan,” jelas Hwanwoong kepada Gunhak.

“Setakut itu?” dengusnya. “Gue lebih takut dia tiba-tiba muntah darah lagi, trus lemes. Takut nyawanya tiba-tiba diambil tanpa perlu nunggu 5 minggu lagi. Yang harusnya dia khawatirin itu dirinya. Gue mah kuat— akh.” Pas bicara seperti itu, kepalanya langsung sakit lagi.

“Iya sih, lo juga harusnya hati-hati nyetirnya. Pake sabuk pengaman juga. Jangan mentang-mentang lo panik trs ampe kelupaan gitu. Jangan bertingkah goblok demi kisah cinta lo. Dah ah gw mo pulang.” Dengan begitu, Hwanwoong langsung meninggalkan Gunhak sendirian di kamar inapnya.

Benar juga. Daritadi siang ia hanya bertingkah bodoh. Mengacuhkan Dongju, bersikap ketus, sok merajuk. Bodoh.

Mengingat lagi, bahwa dirinya akan sembuh sepenuhnya, ketika kekasihnya telah hilang sepenuhnya.

“Kita harus bisa manfaatin waktu dengan baik.”

“Jangan sampe ada penyesalan di akhir nanti.”


to be continue


Chapter 2


“Udah siap, sayang?” tanya Gunhak menunggu di depan pintu.

“Hmm, sebentar lagi,” balas Dongju dari dalam kamar inapnya.

Gunhak pun menunggu sambil membalas pesan teman-temannya di ponselnya. Dongju tiba-tiba menarik pintu yang disenderi Gunhak, membuat si tubuh lebih besar hampir terjungkal ke belakang.

“Eh, astaga, maap. Kukira ga ada orang depan pintu,” Dongju beralasan.

“Lah kan ni pintu ada jendelanya, masa kaga kliatan?” Gunhak mengerutkan dahi.

“Engga.”

“Lah aku dikira apaan.”

“Anak ayam. Hihihi, kaburr.” Dongju langsung berlari menuju lift meninggalkan Gunhak yang masih berdiri kebingungan.

Kenapa semua orang bilang kalau dirinya ini anak ayam? Dia kan tidak ada miripnya dengan anak ayam.

“Ish aneh dasar,” decak Gunhak, lalu terkekeh.

Gila memang dirinya ini. Ia pun tak mengerti

“Cepetan dih, ini pintu lift ga terbuka selamanya!” seru Dongju dari dalam lift dengan tangan kanan yang menahan tombol lift dan tangan kiri yang melambai ke arah Gunhak, menyuruhnya untuk melangkah lebih cepat.

“Dih sabar napa,” kesal Gunhak saat memasuki lift.

“Hehehe, maap beb,” ucap Dongju sambil nge-pout. Ya bagaimana Gunhak bisa marah, pacarnya saja imut begini.

“Untung sayang.”

“Kalo engga?”

“Aku terkam,” Gunhak mennyeringai aneh. Membuat Dongju agak kesal.

“Dih apaan si aneh banget,” dia melayangkan tangannya ke lengan Gunhak, “lagian mana bisa sih anak ayam nerkam-nerkam,” ledek Dongju lagi.

Gunhak berdecak, “ck, aku bukan anak ayam.”

“Iyaudah serah. Aku liatnya kamu itu anak ayam kesayangan.”

Gunhak yang mendengarnya merasa tersipu. Ingin tersenyum salting karena dibilang 'kesayangan', tapi ia tahan.

ting

Pintu lift terbuka di lantai dasar rumah sakit, menampilkan orang-orang yang mengantri menunggu di depan pintu lift-nya. Gunhak dan Dongju berjalan beriringan keluar dari lift, membiarkan orang yang mengantri berjalan masuk.

“Kamu beneran boleh jalan-jalan keluar area rumah sakit nih?” tanya Gunhak mencoba mengalihkan topik.

“Iya, boleh kok. Kata dokter pulangnya ga boleh malem larut tapi. Ini dibawain obat juga klo tiba-tiba kenapa-napa,” jelas Dongju.

“Ooh, oke. Berarti maksimal pulangnya jam 10 ya?” Gunhak mengeluarkan kunci mobilnya. Memencet tombol yang berlambang unlock.

“Iya.” Mereka berdua memasuki mobil.

“Siap, Tuan Putri,” goda Gunhak sambil mengedipkan sebelah matanya, meskipun gagal. Men-starter mesin mobilnya, kemudian keluar dari area parkir rumah sakit tersebut.

Dongju tertawa, “Apasih, belajar wink dulu yang bener atuh. Trus juga, aku princess ni ceritanya?”

“Ngga. Wewe gombel,” canda Gunhak, mendapatkan sebuah pukulan di lengan kirinya. “Aduh gila sakit banget,” ringisnya.

“Jahat banget aku dikatain wewe gombel,” Dongju memanyunkan bibirnya lagi.

Gunhak terkekeh gemas. “Maaf sayang, becanda.”

“Hm,” balas Dongju singkat. Merajuk.

“Hmm, mau makan dimana? Ke kafe deket kampus mau?” tawar Gunhak, mencoba membujuk Dongju supaya berhenti merajuk.

“Hmm.. Terserah.”

“Tapi agak jauh sih..” pikir Gunhak.

“Ya terserah.”

“Ish terserah mulu. Lagi IMS apa gmn?” Gunhak menoleh kearah Dongju sekilas.

“Hm.” Dongju asik memainkan ponselnya. Mengacuhkan Gunhak yang menanyainya sambil menyetir.

“Hahaha ya ampun,” Dongju tertawa karena candaan salah satu temannya di grupnya. Membuat Gunhak menoleh penasaran.

“Dih, aku dikacangin,” ambek Gunhak, mencoba mencari perhatian Dongju yang lagi-lagi tak menggubrisnya.

“Ck.” Gunhak berdecak kesal karena Dongju daritadi mengacuhkannya. Kemudian ia diam fokus menyetir. Mencoba mengacuhkan Dongju balik. Supaya impas.

“Lah mana bisa gitu,” Dongju bergumam membalas pesan teman-temannya. Membuat Gunhak menoleh karena berpikir Dongju memberinya perhatian. Saat sadar kalau dia hanya menggumamkan balasan pesan, ia kembali fokus menyetir. Agak menyakitkan diacuhkan begini.

Dan selama perjalanan Gunhak hanya menyetir sementara Dongju terus-terusan bergumam sambil menjawab pesan teman-temannya. Suasananya terasa aneh bagi Gunhak.

Karena tidak biasanya Gunhak diacuhkan seperti ini. Biasanya mungkin hanya sebentar. Tapi ini sekitar 45menit perjalanan ia masih diacuhkan.

Bingung.

Salah apa lagi dirinya sampai diacuhkan begini?

Bukannya tadi hanya ada candaan saja?

Apa candaannya berlebihan?

“Aih, jadi overthinking kan, ah,” Gunhak bergumam, hampir tidak terdengar Dongju yang berada di sebelahnya. “Lagian juga kenapa masalah gini dipikirin ampe sono sih ah.”

Setelah selesai memarkirkan mobilnya di lahan parkir sebuah toko buku, Gunhak keluar duluan. Meninggalkan Dongju yang bingung di dalam mobil.

“Lah.. Keluar duluan dia, kesel kali ya. Apa aku keterlaluan?” Dongju berkata pada dirinya sendiri. Kemudian beranjak keluar dari mobil.

Melihat sekitar, dirinya langsung bergumam, “Loh, bukannya tadi mo ke kafe? Ngapa malah ke toko buku..” Kemudian dirinya berlari kecil mengejar Gunhak yang sudah masuk ke dalam bangunannya.

Setelah menyesuaikan langkahnya dengan Gunhak, ia buka mulut. “Bae, katanya mau ke kafe?”

“Mau kesini dulu,” jawabnya singkat.

'ya ampun marah beneran ya dia..'

“O-oh, mau nyari buku?” tanya Dongju mencoba mencari topik.

“Nyari pintu kemana saja. Ya menurutmu?” jawab Gunhak ketus.

“Y-ya maap.. Kan bisa aja nyari alat tulis atau apa gitu..” Dongju mencoba beralasan. Yang dibalas dehaman oleh Gunhak.

'Ya ampun, Bae.. Maapin, hiks,' batin Dongju.

Dongju hanya berjalan mengekori Gunhak yang memilih-milih buku novel. Setelah beberapa menit, akhirnya mereka keluar dari gedung. Hanya Gunhak yang membeli buku.

Dan selama bermenit-menit di dalam sana, Dongju dan Gunhak sama sekali tidak mengeluarkan kata pada satu sama lain.

Membuat Dongju merasa bersalah. Tapi ini bagian dari rencananya. Dia yang memulai. Tapi ketika di mobil tadi dia jadi merasa bersalah dan tidak jadi mengacuhkan Gunhak. Dan sekarang malah dirinya yang diacuhkan.

Huh, ini konsekuensinya. Mau tidak mau ya harus potek sendiri.

Selama di mobil menuju ke kafenya pun begitu, saling mengacuhkan satu sama lain. Tidak ada obrolan sama sekali. Hanya ada suara radio yang memainkan beberapa musik dan terkadang penyiarnya yang berbicara.

Dongju merasa seperti mereka ini tidak saling kenal. Hanya kebetulan menumpang di kehidupan satu sama lain.

Sadar dari lamunannya, Dongju kembali memainkan ponselnya Men-chat teman-temannya di sebuah grup.

Sementara Gunhak, ya sibuk menyetir. Dia tidak menggubris Dongju. Padahal sebenarnya dalam hati ingin sekali minta maaf ke pacarnya itu karena telah mendiamkannya secara berlebihan. Tapi ia merasa jika minta maaf di situasi seperti ini akan terasa konyol, entah kenapa.

Ia merasa yang dia lakukan ini berlebihan. Jelas-jelas Dongju mengajaknya bicara. Tapi dengan bodohnya malah didiamkan.

“Bodoh,” Gunhak merutuki dirinya sendiri. Dan terdengar oleh Dongju, sampai ia menoleh bingung.

“Siapa yang bodoh?” tanyanya.

'Mampus,' batin Gunhak.

“Aku,” jawabnya jujur.

Dahi Dongju mengkerut, bingung. Karena merasa bahwa dirinya lah yang dirutuki Gunhak.

“Bohong. Pasti aku.” Dongju menunduk. Memainkan ujung bajunya.

“Engga. Bukan kamu. Aku yang bodoh,” jawab Gunhak. Ia tak mau Dongju menangis dan kambuh karena rutukannya yang memang ditujukan kepada dirinya sendiri.

“Beneran bukan aku?” Dongju menoleh lagi. Matanya berkaca-kaca, seperti emot memelas.

Gunhak merasa gemas sekaligus kasihan melihat Dongju. “Iya, sayang. Aku yang bodoh. Maaf ya. Dah yuk turun, udah nyampe,” ajak Gunhak.

Sebenarnya daritadi mereka sudah sampai di kafe tujuan awal. Cuma masih belum turun.


Jam menunjukan angka 6, Gunhak akan mengantar Dongju kembali ke rumah sakit inapnya. Sebelum terlalu larut.

Untungnya Dongju tidak kambuh seharian ini. Ia tak mau terjadi apa-apa padanya, makanya setelah Dongju menghabiskan makannya, ia akan langsung mengantarnya pulang.

Gunhak pergi ke toilet sebentar, meninggalkan Dongju dengan makanannya yang sudah habis.

Waktunya Dongju kabur.


to be continue


Chapt. 1


“Tinggal kurang dari dua bulan lagi ya..” ucap pemuda berambut pirang pada kekasihnya.

“Hmm.. I-iya..” jawabnya.

Berusaha menghangatkan suasana, pria yang berpostur tubuh lebih kecil menyahut, “ayo kita manfaatkan waktu yang tersisa dengan baik, okee?” sambil tersenyum manis.

Gunhak membalas senyuman manis kekasihnya itu. Dari setengah tahun waktu yang didiagnosis dokter, sekarang hanya tersisa 2 bulan lagi. Waktu ternyata berlalu begitu cepat. Terlalu cepat bahkan mungkin dirinya tak akan menerima keadaan nantinya.

Kim Gunhak, pemuda berambut pirang berumur 22 tahun, mengencani seorang pemuda yang mengidap leukimia semenjak dirinya lulus SMA.

Son Dongju, kekasih kesayangan Gunhak. Berumur 20 tahun. Menghabiskan waktu bersama Gunhak dengan ditemani infus yang mungkin akan menjadi sahabatnya. Didiagnosa oleh dokter mengidap leukimia sejak sekitar tiga tahun lalu. Dan ternyata waktunya di bumi hanya tinggal sebentar lagi.

“Iya, tapi jangan terlalu sering keluar-keluar nantinya, nanti kamu kenapa-napa,” jawab Gunhak khawatir. Yang lagi-lagi dibalas senyuman manis dari Dongju.

“Gapapa, jangan terlalu khawatirin aku. Nanti kalo terlalu mikirin aku, aku bisa pusing lohh,” sahut Dongju.

Gunhak bingung, “kok pusing?”

“Iya, kan aku muter-muter di kepala kamu. Hehehe,” cengirnya.

Gunhak hanya terkekeh mendengar jawaban kekasihnya.

Mereka sedang duduk di bangku di taman rumah sakit, tempat Dongju di rawat. Sesekali menyapa beberapa anak kecil yang melewati mereka. Ada yang ditemani orang tuanya, ada yang bermain bersama teman-temannya, ada yang sendirian, entah membaca buku atau mendengarkan musik.

Suasana taman begitu tenang di sore hari ini. Pemandangan langit gradasi oranye-pink terhampar di atas kepala. Burung-burung beterbangan melintasi langit. Angin semilir yang berhembus, menggesek dedaunan di pohon-pohon. Awan putih yang memantulkan cahaya matahari yang hendak menyinari bagian bumi lain. Semuanya terasa begitu tenang, sampai Gunhak mendengar Dongju batuk.

Gunhak yang tadinya menikmati pemandangan langit langsung menoleh ke arah Dongju. “Ma-mau plastik? Ada plastik?” tanya Gunhak panik. Mencoba merogoh sakunya, barang kali ia membawa kantong kresek berukuran kecil yang dilipat. “A-apa mau sapu tangan saja?”

Iya, dia tau melontarkan pertanyaan seperti itu takkan mungkin dijawab Dongju yang sedang terbatuk. Ia sedang panik. Menemukan sebuah sapu tangan di saku celananya, langsung ia berikan kepada Dongju.

Dongju langsung menutupi mulutnya dengan sapu tangan milik Gunhak. “Uhuk, uhuk, hoekk.”

Ketika ia jauhkan dari mulutnya, beberapa tetes darah kental terlihat menempel di sapu tangan milik Gunhak. Ia jadi tak enak hati telah mengotori sesuatu yang bukan miliknya.

“Y-yah, k-kotor.. Maaf,” ucap Dongju merasa bersalah.

“Ssshh, jangan minta maaf dulu. Gausah minta maaf. Mau ke kamar aja? Ayo aku anterin,” rujuk Gunhak.

“Tap-pi ini, sapu t-tangan kamu jadi ko—”

“Ssshh, dibilangin udah. Ayo ke kamar aja. Kecapekan pasti kamu,” Gunhak bersikeras.

“Oke deh.. Mulai agak pusing juga, ini.”

Gunhak langsung berdiri, menuntun kekasihnya kembali ke kamarnya yang berada di lantai tiga gedung tersebut.


Ceklek

“Nah, ayo ganti baju dulu,” omel Gunhak sambil menutup pintu di belakangnya. Membiarkan Dongju masuk terlebih dahulu.

“apasih, kayak emak-emak tau ga,” ucap Dongju kesal, tapi tetap tersenyum mendengarnya. Ia mengambil bajunya yang berada di koper sedang miliknya. Gunhak masuk ke kamar mandi untuk membersihkan sapu tangannya di wastafel. Hanya sebentar.

“Dih, gini-gini aku perhatian. Cepetan ganti baju,” Gunhak melangkah keluar dari kamar mandi mengomel sembari mengibas-ngibas sapu tangannya yang setengahnya basah.

“Iya, eomma,” jawab Dongju usil, lalu masuk ke kamar mandi sambil tertawa.

“Heh, dasar.” Gunhak duduk di kursi yang disediakan. Sapu tangannya ditaruh di meja di sebelahnya. Pikirannya berkelana ke skenario kejadian tadi sore.


Tadi mereka melukis di kanvas masing-masing, sambil duduk di rerumputan. Dongju melukis pemandangan dominan warna putih dan terang yang.. sulit diartikan. Sementara Gunhak melukis wajah cantik kekasihnya itu. Ketika selesai, Gunhak bertanya pada Dongju, “Kamu ngelukis apa?”

“Pemandangan..,” jawabnya agak kurang meyakinkan.

“Kok jawabnya ragu gitu? Kenapa?” tanya Gunhak penasaran.

“Gatau.. Ini.. sering muncul di mimpiku akhir-akhir ini. Yang kulihat hanya putih, putih awan, di mimpiku semuanya terasa begitu.. ajaib, jadi kutambahkan saja unicorn di pojok sini. Heheh,” jelas Dongju.

Gunhak yang menyimak entah kenapa mendapatkan perasaan tak enak dari lukisan dan mimpi Dongju.

“Kenapa?” tanya Dongju agak khawatir.

“Oh, gapapa.”

“Itu punyamu, ngelukis apa tadi?” tanya Dongju sambil menunjuk ke kanvas yang sedari tadi didekap oleh Gunhak.

“Ah? Oh, ini. Aku melukis.. Wajahmu yang cantik.”

Dongju yang mendengarnya langsung tersipu.

“Iya, kurang sempurna, tidak sesempurna wajah aslinya. Aku mungkin akan melanjutkan ini nanti,” jelas Gunhak.

Dongju makin tersipu. “Ck, gombal.”

Gunhak yang sedari menjelaskan tadi menunduk, langsung menoleh ke wajah Dongju. Tersenyum, Gunhak menyahut usil, “apasih, siapa yang gombal, dih.”


Hyung?” panggil Dongju, sontak membuyarkan lamunan seorang Kim Gunhak.

Ne?” jawabnya. Pikirannya masih berada di skenario tadi sore.

“Kok bengong? Mikirin apa?” tanya kekasih imutnya. Matanya menyiratkan kekhawatiran.

“Tinggal kurang dari dua bulan lagi ya..” lirih Gunhak. Merasa sedih karena waktu berjalan dengan cepat belakangan ini. Andai dia bisa memberhentikan waktu, dia akan melakukannya sekarang. Tidak ingin kehilangan kekasihnya dengan begitu cepat.

Sruk

“Iya.. Makanya kubilang tadi kita harus bisa manfaatin waktu dengan baik. Aku juga gamau pergi begitu cepet. Aku gabakal bisa ngerasain hangatnya pelukan ini lagi nantinya..”

Mata Gunhak berkaca-kaca mendengar kedua kalimat terakhir. Dia juga tak mau melepas rengkuhan hangat ini.

“Hiks- Ke-napa a-aku harus be-gini..” tangis Dongju pecah di pelukan Gunhak.

Gunhak duduk memangku Dongju yang sedang menangis di pundaknya. Tangan besarnya mengusap-usap pucuk kepalanya.

“Coba a-ja aku ga- begini- hiks, aku pas-ti masih bisa h-idup lebih l-lama.. Ak-u pasti ga- bakal bi-kin kamu sedi-h, aku ma-sih bisa me-luk kamu kay-ak gini-” ucap Dongju disela tangisannya. Terdengar begitu menyedihkan.

Gunhak melepaskan pelukannya. Lalu menangkup kedua pipi Dongju di depan wajahnya, hanya memberikan jarak sekitar 2cm dari ujung hidung masing-masing.

“Sshh, udah sayang, kamu jangan kebanyakan mikir kayak gitu. Ga baik berpikiran begitu terus-terusan, menyalahkan diri sendiri padahal kamu ga salah apa-apa,” ucap Gunhak berusaha menenangkan Dongju.

Hidung Dongju memerah lucu karena terisak tadi. Membuat Gunhak merasa gemas sendiri melihatnya.

Dongju hanya memperhatikan Gunhak dengan matanya yang sendu dan basah.

“Aku merasa beruntung banget bisa ketemu manusia cantik nan manis seperti kamu. Sanggup pengertian ke aku, nemenin aku, banyak deh. Gapeduli seberapa banyak kekuranganmu, aku bakal tetep sayang kamu.”

chup

“Makanya, kayak katamu tadi, kita harus bisa manfaatin waktu sebaik mungkin. Jangan ada rasa penyesalan di akhir nanti. Okey?”

Entah sudah berapa kali dirinya digombalin seperti ini. Tapi lagi-lagi jantungnya tak mampu menahan degupan yang begitu kencang. Membuat pipinya memunculkan semburat merah muda.

Mengangguk pelan mengiyakan, lalu kembali memeluk Gunhak. Kembali merasakan kehangatan yang ia suka. Mengendus ceruk lehernya yang wangi karena cologne yang dipakainya. Ia suka.

Ia suka semua yang dimiliki Gunhak.

“Aku juga sayang kamu,” bisik Dongju di pundak Gunhak.

“Aku lebih sayang kamu,” balas Gunhak berbisik.


to be continue

우리 시간 (Our Time) Chapt. 1 ___

“Tinggal kurang dari dua bulan lagi ya..” ucap pemuda berambut pirang pada kekasihnya.

“Hmm.. I-iya..” jawabnya.

Berusaha menghangatkan suasana, pria yang berpostur tubuh lebih kecil menyahut, “ayo kita manfaatkan waktu yang tersisa dengan baik, okee?” sambil tersenyum manis.

Gunhak membalas senyuman manis kekasihnya itu. Dari setengah tahun waktu yang didiagnosis dokter, sekarang hanya tersisa 2 bulan lagi. Waktu ternyata berlalu begitu cepat. Terlalu cepat bahkan mungkin dirinya tak akan menerima keadaan nantinya.

Kim Gunhak, pemuda berambut pirang berumur 22 tahun, mengencani seorang pemuda yang mengidap leukimia semenjak dirinya lulus SMA.

Son Dongju, kekasih kesayangan Gunhak. Berumur 20 tahun. Menghabiskan waktu bersama Gunhak dengan ditemani infus yang mungkin akan menjadi sahabatnya. Didiagnosa oleh dokter mengidap leukimia sejak sekitar tiga tahun lalu. Dan ternyata waktunya di bumi hanya tinggal sebentar lagi.

“Iya, tapi jangan terlalu sering keluar-keluar nantinya, nanti kamu kenapa-napa,” jawab Gunhak khawatir. Yang lagi-lagi dibalas senyuman manis dari Dongju.

“Gapapa, jangan terlalu khawatirin aku. Nanti kalo terlalu mikirin aku, aku bisa pusing lohh,” sahut Dongju.

Gunhak bingung, “kok pusing?”

“Iya, kan aku muter-muter di kepala kamu. Hehehe,” cengirnya.

Gunhak hanya terkekeh mendengar jawaban kekasihnya.

Mereka sedang duduk di bangku di taman rumah sakit, tempat Dongju di rawat. Sesekali menyapa beberapa anak kecil yang melewati mereka. Ada yang ditemani orang tuanya, ada yang bermain bersama teman-temannya, ada yang sendirian, entah membaca buku atau mendengarkan musik.

Suasana taman begitu tenang di sore hari ini. Pemandangan langit gradasi oranye-pink terhampar di atas kepala. Burung-burung beterbangan melintasi langit. Angin semilir yang berhembus, menggesek dedaunan di pohon-pohon. Awan putih yang memantulkan cahaya matahari yang hendak menyinari bagian bumi lain. Semuanya terasa begitu tenang, sampai Gunhak mendengar Dongju batuk.

Gunhak yang tadinya menikmati pemandangan langit langsung menoleh ke arah Dongju. “Ma-mau plastik? Ada plastik?” tanya Gunhak panik. Mencoba merogoh sakunya, barang kali ia membawa kantong kresek berukuran kecil yang dilipat. “A-apa mau sapu tangan saja?”

Iya, dia tau melontarkan pertanyaan seperti itu takkan mungkin dijawab Dongju yang sedang terbatuk. Ia sedang panik. Menemukan sebuah sapu tangan di saku celananya, langsung ia berikan kepada Dongju.

Dongju langsung menutupi mulutnya dengan sapu tangan milik Gunhak. “Uhuk, uhuk, hoekk.”

Ketika ia jauhkan dari mulutnya, beberapa tetes darah kental terlihat menempel di sapu tangan milik Gunhak. Ia jadi tak enak hati telah mengotori sesuatu yang bukan miliknya.

“Y-yah, k-kotor.. Maaf,” ucap Dongju merasa bersalah.

“Ssshh, jangan minta maaf dulu. Gausah minta maaf. Mau ke kamar aja? Ayo aku anterin,” rujuk Gunhak.

“Tap-pi ini, sapu t-tangan kamu jadi ko—”

“Ssshh, dibilangin udah. Ayo ke kamar aja. Kecapekan pasti kamu,” Gunhak bersikeras.

“Oke deh.. Mulai agak pusing juga, ini.”

Gunhak langsung berdiri, menuntun kekasihnya kembali ke kamarnya yang berada di lantai tiga gedung tersebut.

_____

Ceklek

“Nah, ayo ganti baju dulu,” omel Gunhak sambil menutup pintu di belakangnya. Membiarkan Dongju masuk terlebih dahulu.

“apasih, kayak emak-emak tau ga,” ucap Dongju kesal, tapi tetap tersenyum mendengarnya. Ia mengambil bajunya yang berada di koper sedang miliknya.

“Dih, gini-gini aku perhatian. Cepetan ganti baju,” omel Gunhak lagi.

“Iya, eomma,” jawab Dongju usil, lalu masuk ke kamar mandi sambil tertawa.

“Heh, dasar.” Gunhak duduk di kursi yang disediakan. Pikirannya berkelana ke skenario kejadian tadi sore.

...

Tadi mereka melukis di kanvas masing-masing, sambil duduk di rerumputan. Dongju melukis pemandangan dominan warna putih dan terang yang.. sulit diartikan. Sementara Gunhak melukis wajah cantik kekasihnya itu. Ketika selesai, Gunhak bertanya pada Dongju, “Kamu ngelukis apa?”

“Pemandangan..,” jawabnya agak kurang meyakinkan.

“Kok jawabnya ragu gitu? Kenapa?” tanya Gunhak penasaran.

“Gatau.. Ini.. sering muncul di mimpiku akhir-akhir ini. Yang kulihat hanya putih, putih awan, di mimpiku semuanya terasa begitu.. ajaib, jadi kutambahkan saja unicorn di pojok sini. Heheh,” jelas Dongju.

Gunhak yang menyimak entah kenapa mendapatkan perasaan tak enak dari lukisan dan mimpi Dongju.

“Kenapa?” tanya Dongju agak khawatir.

“Oh, gapapa.”

“Itu punyamu, ngelukis apa tadi?” tanya Dongju sambil menunjuk ke kanvas yang sedari tadi didekap oleh Gunhak.

“Ah? Oh, ini. Aku melukis.. Wajahmu yang cantik.”

Dongju yang mendengarnya langsung tersipu.

“Iya, kurang sempurna, tidak sesempurna wajah aslinya. Aku mungkin akan melanjutkan ini nanti,” jelas Gunhak.

Dongju makin tersipu. “Ck, gombal.”

Gunhak yang sedari menjelaskan tadi menunduk, langsung menoleh ke wajah Dongju. Tersenyum, Gunhak menyahut usil, “apasih, siapa yang gombal, dih.”

...

“Hyung?” panggil Dongju, sontak membuyarkan lamunan seorang Kim Gunhak.

“Ne?” jawabnya. Pikirannya masih berada di skenario tadi sore.

“Kok bengong? Mikirin apa?” tanya kekasih imutnya. Matanya menyiratkan kekhawatiran.

“Tinggal kurang dari dua bulan lagi ya..” lirih Gunhak. Merasa sedih karena waktu berjalan dengan cepat belakangan ini. Andai dia bisa memberhentikan waktu, dia akan melakukannya sekarang. Tidak ingin kehilangan kekasihnya dengan begitu cepat.

Sruk

“Iya.. Makanya kubilang tadi kita harus bisa manfaatin waktu dengan baik. Aku juga gamau pergi begitu cepet. Aku gabakal bisa ngerasain hangatnya pelukan ini lagi nantinya..”

Mata Gunhak berkaca-kaca mendengar kedua kalimat terakhir. Dia juga tak mau melepas rengkuhan hangat ini.

“Hiks- Ke-napa a-aku harus be-gini..” tangis Dongju pecah di pelukan Gunhak.

Gunhak duduk memangku Dongju yang sedang menangis di pundaknya. Tangan besarnya mengusap-usap pucuk kepalanya.

“Coba a-ja aku ga- begini- hiks, aku pas-ti masih bisa h-idup lebih l-lama.. Ak-u pasti ga- bakal bi-kin kamu sedi-h, aku ma-sih bisa me-luk kamu kay-ak gini-” ucap Dongju disela tangisannya. Terdengar begitu menyedihkan.

Gunhak melepaskan pelukannya. Lalu menangkup kedua pipi Dongju di depan wajahnya, hanya memberikan jarak sekitar 2cm dari ujung hidung masing-masing.

“Sshh, udah sayang, kamu jangan kebanyakan mikir kayak gitu. Ga baik berpikiran begitu terus-terusan, menyalahkan diri sendiri padahal kamu ga salah apa-apa,” ucap Gunhak berusaha menenangkan Dongju.

Hidung Dongju memerah lucu karena terisak tadi. Membuat Gunhak merasa gemas sendiri melihatnya.

Dongju hanya memperhatikan Gunhak dengan matanya yang sendu dan basah.

“Aku merasa beruntung banget bisa ketemu manusia cantik nan manis seperti kamu. Sanggup pengertian ke aku, nemenin aku, banyak deh. Gapeduli seberapa banyak kekuranganmu, aku bakal tetep sayang kamu.”

chup

“Makanya, kayak katamu tadi, kita harus bisa manfaatin waktu sebaik mungkin. Jangan ada rasa penyesalan di akhir nanti. Okey?”

Entah sudah berapa kali dirinya digombalin seperti ini. Tapi lagi-lagi jantungnya tak mampu menahan degupan yang begitu kencang. Membuat pipinya memunculkan semburat merah muda.

Mengangguk pelan mengiyakan, lalu kembali memeluk Gunhak. Kembali merasakan kehangatan yang ia suka. Mengendus ceruk lehernya yang wangi karena cologne yang dipakainya. Ia suka.

Ia suka semua yang dimiliki Gunhak.

“Aku juga sayang kamu,” bisik Dongju di pundak Gunhak.

“Aku lebih sayang kamu,” balas Gunhak berbisik.

___

to be continue

“Tinggal dua bulan lagi ya..” ucap pemuda berambut pirang pada kekasihnya.

“Hmm.. I-iya..” jawabnya.

Berusaha menghangatkan suasana, pria yang berpostur tubuh lebih kecil menyahut, “ayo kita manfaatkan waktu yang tersisa dengan baik, okee?” sambil tersenyum manis.

Gunhak membalas senyuman manis kekasihnya itu. Dari setengah tahun waktu yang didiagnosis dokter, sekarang hanya tersisa 2 bulan lagi. Waktu ternyata berlalu begitu cepat. Terlalu cepat bahkan mungkin dirinya tak akan menerima keadaan nantinya.

Kim Gunhak, pemuda berambut pirang berumur 22 tahun, mengencani seorang pemuda yang mengidap leukimia semenjak dirinya lulus SMA.

Son Dongju, kekasih kesayangan Gunhak. Berumur 20 tahun. Menghabiskan waktu bersama Gunhak dengan ditemani infus yang mungkin akan menjadi sahabatnya. Didiagnosa oleh dokter mengidap leukimia sejak sekitar tiga tahun lalu. Dan ternyata waktunya di bumi hanya tinggal sebentar lagi.

“Iya, tapi jangan terlalu sering keluar-keluar nantinya, nanti kamu kenapa-napa,” jawab Gunhak khawatir. Yang lagi-lagi dibalas senyuman manis dari Dongju.

“Gapapa, jangan terlalu khawatirin aku. Nanti kalo terlalu mikirin aku, aku bisa pusing lohh,” sahut Dongju.

Gunhak bingung, “kok pusing?”

“Iya, kan aku muter-muter di kepala kamu. Hehehe,” cengirnya.

Gunhak hanya terkekeh mendengar jawaban kekasihnya.

Mereka sedang duduk di bangku di taman rumah sakit, tempat Dongju di rawat. Sesekali menyapa beberapa anak kecil yang melewati mereka. Ada yang ditemani orang tuanya, ada yang bermain bersama teman-temannya, ada yang sendirian, entah membaca buku atau mendengarkan musik.

Suasana taman begitu tenang di sore hari ini. Pemandangan langit gradasi oranye-pink terhampar di atas kepala. Burung-burung beterbangan melintasi langit. Angin semilir yang berhembus, menggesek dedaunan di pohon-pohon. Awan putih yang memantulkan cahaya matahari yang hendak menyinari bagian bumi lain. Semuanya terasa begitu tenang, sampai Gunhak mendengar Dongju batuk.

Gunhak yang tadinya menikmati pemandangan langit langsung menoleh ke arah Dongju. “Ma-mau plastik? Ada plastik?” tanya Gunhak panik. Mencoba merogoh sakunya, barang kali ia membawa kantong kresek berukuran kecil yang dilipat. “A-apa mau sapu tangan saja?”

Iya, dia tau melontarkan pertanyaan seperti itu takkan mungkin dijawab Dongju yang sedang terbatuk. Ia sedang panik. Menemukan sebuah sapu tangan di saku celananya, langsung ia berikan kepada Dongju.

Dongju langsung menutupi mulutnya dengan sapu tangan milik Gunhak. “Uhuk, uhuk, hoekk.”

Ketika ia jauhkan dari mulutnya, beberapa tetes darah kental terlihat menempel di sapu tangan milik Gunhak. Ia jadi tak enak hati telah mengotori sesuatu yang bukan miliknya.

“Y-yah, k-kotor.. Maaf,” ucap Dongju merasa bersalah.

“Ssshh, jangan minta maaf dulu. Gausah minta maaf. Mau ke kamar aja? Ayo aku anterin,” rujuk Gunhak.

“Tap-pi ini, sapu t-tangan kamu jadi ko—”

“Ssshh, dibilangin udah. Ayo ke kamar aja. Kecapekan pasti kamu,” Gunhak bersikeras.

“Oke deh.. Mulai agak pusing juga, ini.”

Gunhak langsung berdiri, menuntun kekasihnya kembali ke kamarnya yang berada di lantai tiga gedung tersebut.

_____

Ceklek

“Nah, ayo ganti baju dulu,” omel Gunhak sambil menutup pintu di belakangnya. Membiarkan Dongju masuk terlebih dahulu.

“apasih, kayak emak-emak tau ga,” ucap Dongju kesal, tapi tetap tersenyum mendengarnya. Ia mengambil bajunya yang berada di koper sedang miliknya.

“Dih, gini-gini aku perhatian. Cepetan ganti baju,” omel Gunhak lagi.

“Iya, eomma,” jawab Dongju usil, lalu masuk ke kamar mandi sambil tertawa.

“Heh, dasar.” Gunhak duduk di kursi yang disediakan. Pikirannya berkelana ke saat tadi sore.

...

Tadi mereka melukis di kanvas masing-masing, sambil duduk di rerumputan. Dongju melukis pemandangan dominan warna putih dan terang yang.. sulit di artikan. Sementara Gunhak melukis wajah cantik kekasihnya itu. Ketika selesai, Gunhak bertanya pada Dongju, “Kamu ngelukis apa?”

“Pemandangan..,” jawabnya agak kurang meyakinkan.

“Kok jawabnya ragu gitu? Kenapa?” tanya Gunhak penasaran.

“Gatau.. Ini.. sering muncul di mimpiku akhir-akhir ini. Yang kulihat hanya putih, putih awan, di mimpiku semuanya terasa begitu.. ajaib, jadi kutambahkan saja unicorn di pojok sini. Heheh,” jelas Dongju.

Gunhak yang menyimak entah kenapa mendapatkan perasaan tak enak dari lukisan dan mimpi Dongju.

“Kenapa?” tanya Dongju agak khawatir.

“Oh, gapapa.”

“Itu punyamu, ngelukis apa tadi?” tanya Dongju sambil menunjuk ke kanvas yang sedari tadi didekap oleh Gunhak.

“Ah? Oh, ini. Aku melukis.. Wajahmu yang cantik.”

Dongju yang mendengarnya langsung tersipu.

“Iya, kurang sempurna, tidak sesempurna wajah aslinya. Aku mungkin akan melanjutkan ini nanti,” jelas Gunhak.

Dongju makin tersipu. “Ck, gombal.”

Gunhak yang sedari menjelaskan tadi menunduk, langsung menoleh ke wajah Dongju. Tersenyum, Gunhak menyahut usil, “apasih, siapa yang gombal, dih.”

...

“Hyung?” panggil Dongju, sontak membuyarkan lamunan seorang Kim Gunhak.

“Ne?” jawabnya. Pikirannya masih berada di skenario tadi sore.