우리 시간 (Our time)
Chapter 9
Dongju mengerjapkan matanya, menyesuaikan dengan cahaya di sekelilingnya. Ia menoleh ke kanan-kiri, menemukan dirinya berada di sebuah taman bunga. Sendirian.
Semua tampak begitu tenang. Kicauan burung-burung di atas pohon menyapa masuk telinganya. Semilir angin sepoi-sepoi berhembus di hantaran bunga-bunga.
Sakit yang dideritanya.. hilang. Tidak ada rasa sakit sama sekali pada dirinya. Dongju kegirangan mengetahui dirinya tidak sakit lagi.
Namun suasana taman bunga yang hanya ada dirinya seorang membuatnya mengernyitkan dahi kebingungan.
Dimana semua orang?
Ini semua.. mimpi?
Bagaimana bisa terasa nyata?
Terjebak dalam mimpinya..
Iya, mimpi.
Ia pernah berharap berada di sebuah taman denhan hamparan bunga di setiap arah mata memandang. Dengan suasana yang tenang dan damai. Bagai lupa dengan penyakit yang dideritanya. Bahkan kalau bisa, ia ingin tinggal di sana selamanya—tanpa adanya rasa sakit yang menyiksanya.
Tapi tidak seperti ini.
Ia masih ingin melanjutkan hidupnya bersama orang-orang tersayangnya. Termasuk Gunhak.
Ia tidak ingin dikhianati oleh waktu seperti ini.
Ia belum siap mati.
Meskipun siap, tapi tidak seperti ini.
Dongju yang awalnya senang, sekarang mulai gelisah. Ia mencoba membangunkan dirinya yang tertidur lelap. Sampai sebuah suara yang familiar memasuki gendang telinganya.
“Pasti mimpimu disana jauh lebih tenang, ya, Sayang?” tanya suara familiar itu.
Dongju menengok ke segala arah, mencoba mencari asal sumber suara itu. Matanya berkaca-kaca, hampir menangis karena gelisah dan kebingungan.
“Iya.. disini suasananya tenang,” jawabnya, seakan ia berbicara pada suara itu.
“Pasti di sana kamu ga kesakitan sama sekali, kan?” tanya suara itu—Gunhak, lagi.
Dongju mengangguk, “iya..” jawabnya. Seolah Gunhak dapat mendengar dan melihatnya.
“Makanya kamu gamau bangun..” lanjut Gunhak.
Salah besar. Jelas ia mau bangun. Ia tidak mau berada di sini sendirian, meskipun ia merasa sembuh, tapi ia tetap tidak mau.
“Jangan asal bicara..” sangkal Dongju. Suaranya bergetar menahan nangisnya.
“Bangun, yok, Sayang. Aku udah nungguin lama banget. Yang lainnya juga nungguin kamu.”
Benarkah? Selama itukah? Sudah berapa hari ia tertidur?
Seolah mendengar suara batin Dongju, Gunhak bicara lagi, menjawab pertanyaannya. “Udah 2 hari kamu di sini..”
Wah.. Selama itu..?
“Aku kangen.. Apa kamu ga kangen sama aku? Sama yang lainnya?”
Jelas. Ia rindu. Kalau ia tidak rindu ia tidak akan merasa gelisah mencoba mencari jalan keluar dari mimpinya.
“Sama.. aku juga..” balasnya, “Takut.. kangen..”
“Bangun, ya. Kita masih belum selesaikan waktu yang kita punya. Aku gamau nyesel nantinya. Lagipula katamu sendiri, bukan, harus manfaatkan waktu yang tersisa dengan baik?” kata Gunhak panjang.
Benar.. Ia sendiri yang mengatakannya di awal—harus bisa manfaatin waktu yang tersisa dengan baik. Tapi nyatanya, ia sendiri yang membuang-buang waktunya.
“Aku masih nungguin, kok. Aku ga bakal kemana-mana. Aku janji bakal makan terus, asal kamu cepet bangunnya, ya?” lanjut Gunhak, yang terdengar seperti menyudahi percakapan ini.
Dongju meringkuk, memeluk lututnya kemudian menangis menahan rindunya. Ia tidak ingin berada di sini sendirian seperti ini. Ia tidak mau mati dengan cara seperti ini. Ia tidak mau membuat Gunhak sedih.
Matanya perlahan menutup. Ia tertidur, lagi.
Cahaya ruangan memasuki netranya, membuat ia mengerjapkan matanya berkali-kali, mencoba menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk ke matanya.
Matanya memeriksa sekitar.
Di rumah sakit.
Dongju sudah bangun.
Perawat yang menyadari Dongju telah siuman langsung memanggil dokter untuk melakukan pengecekan.
Sakitnya masih ada.
Dongju benar-benar kembali.
Perawat kemudian keluar bersama dokter, lalu memberitahukan Gunhak dan Dongmyeong yang saat itu sedang menunggu bahwa Dongju telah siuman dari koma 4 hari-nya.
Gunhak yang mengetahui hal itu langsung menangis—terharu.
“Kalau sudah ada perkembangan, dua hari lagi pasien bisa dipindahkan ke kamar inapnya,” kata Dokternya menginformasikan. Dongmyeong dan Gunhak mengangguk mengiyakan.
4 hari. Katanya kalau sampai 5 hari belum siuman, harus coba transfusi darah. Untungnya tidak.
Gunhak pun ijin untuk menemui Dongju. Ia berjalan masuk menggunakan tongkatnya. Menggunakan masker dan atribut pakaian dari rumah sakit.
“Halo, Sayang,” sapanya. Matanya berair, suaranya bergetar menahan nangisnya karena senang.
Dongju yang masih berbaring memakai selang oksigennya menatap Gunhak yang berjalan ke arahnya. Matanya juga berkaca-kaca.
Ia rindu menghabiskan waktu bersamanya.
“Pengen peluk..” pinta Dongju.
“Gabisa, dulu. Kamu harus istirahat, ya. Besok lusa kata dokternya kamu udah boleh pindah ke kamar,” Gunhak memberitahunya. Dongju hanya mengangguk.
Jujur, ia ingin menangis. Tapi takut nanti dirinya malah jadi sesak napas dan muntah darah lagi, jadi ia berusaha keras menahan tangisnya.
Dongju menunjukan tanda love dengan jari jempol dan telunjuknya kepada Gunhak sambil tersenyum. Gunhak pun membalas, “Love you too, baby,” sambil ikut tersenyum juga.
Meskipun Dongju tau nyawanya kapan saja bisa diambil, ia tetap senang bisa berada di sini.
Cepat atau lambat ia akan mati.
Kabar baik tentangnya sekarang ini hanya kabar sementara—temporary. Dirinya berada di sini hanya untuk sementara.
Ia tau dirinya nanti akan terkapar lemas tak berdaya—entah di kasur rumah sakit atau di lantai.
Membuat semua orang menjadi sedih lagi, terutama Gunhak.
Mau tak mau, siap tak siap, takdirnya sudah menetapkan.
Ia hanya tinggal menunggu waktu untuk mengkhianatinya.
Gunhak pun tau, ini semua juga tidak akan bertahan lama. Ia tau nanti Dongju-nya akan tidur selamanya.
Makanya, Gunhak bertekad untuk menjadikan sisa waktu Dongju menjadi yang terbaik.
to be continue