우리 시간 (Our Time)
Chapter 8
Dongju sedang berada di ruang ICU. Sejak kemarin ia dipindahkan karena kondisinya yang tiba-tiba drop. Dan sampai hari ini, ia masih belum siuman sama sekali.
Gunhak masih setia menunggunya di depan ruangan tertutup tersebut. Kemarin ia sampai tidak mau makan seharian, alasannya takut tiba-tiba Dongju siuman saat dia sedang tidak menunggunya. Hanya meminum air putih botolan yang diberikan temannya.
Youngjo yang menemaninya tentu saja khawatir pada kesehatan sahabat karibnya itu. Terlebih ia belum sepenuhnya pulih dari cideranya. Padahal kata dokter ia harus banyak makan terutama makanan yang mengandung zat besi dan kalsium kalau ingin cepat pulih.
Tapi sepertinya Gunhak lebih memedulikan keadaan Dongju dibanding dirinya.
Berkali-kali Youngjo mencoba membujuknya agar mau makan sebentar saja, tapi jawabannya selalu sama; “Ga mau.”
Ya mungkin Youngjo juga bakal seperti ini kalau yang di dalam sana itu adalah Hwanwoong.
Kali ini ia akan mencoba lagi untuk membujuk Gunhak agar mau makan. Kebetulan ia juga baru saja membelikan makanan.
“Hak, ini gue abis beli makanan. Mau ga?” tawarnya sambil menyodorkan bungkusan makanan yang dimaksud.
Gunhak hanya menoleh sebentar, kemudian menggeleng. “Ga mau, makasih,” jawabnya.
Youngjo menghela napas. “Lo mau terus-terusan begini? Apa Dongju bakal seneng ngeliatnya nanti? Apa Dongju ga bakal kepikiran terus-terusan pas tau lo ga makan sama sekali nungguin dia siuman? Lo mau dia abis siuman langsung drop lagi karena khawatir sama lo?” tanya Youngjo bertubi-tubi.
Deretan pertanyaan tadi membuat Gunhak merenung. Jelas ia tak mau Dongju khawatir padanya. Ia tak mau Dongju terlalu memikirkannya sampai ia drop lagi, membuatnya terbaring lebih lama lagi di ruangan tertutup itu.
“Ayo lah, makan, Hak,” bujuk Youngjo. “Lo udah hampir dua hari ga makan, nanti kalo lo yang malah drop pas Dongju bangun kan jadi ga seru lagi. Ayo makan.” Youngjo menyodorkan bungkusan makanannya ke Gunhak, yang kemudian perlahan diambil olehnya.
Gunhak pun akhirnya mau mengisi perutnya. Ia juga butuh tenaga untuk bertemu Dongju nanti— kalau sudah siuman.
Waktu berlalu, sekarang sudah menunjukkan pukul 6 sore, dan Dongju masih belum bangun.
Gunhak berniat menjenguknya ke dalam sana. Sekedar menjenguk, tidak lebih.
Setelah memakai atribut untuk menjenguk yang disediakan oleh pihak rumah sakit, Gunhak pun membuka pintu ruangan tersebut dan melangkah masuk.
Matanya menatap sendu Dongju yang terbaring lemah tak berdaya di kasurnya. Selang oksigen terlihat mengulur dari hidungnya. Tangannya yang tertancap jarum infus serta selangnya. Badannya agak.. membiru. Wajahnya terlihat tak berekspresi— seperti sedang tertidur lelap.
Monitor jantung berada di samping kasurnya, menunjukkan frekuensi detakan jantung dari Dongju. Mengindikasikan ia masih hidup, namun hanya dalam masa koma.
“Pasti mimpimu di sana jauh lebih tenang, ya, Sayang?” Gunhak berdiri di samping kasur Dongju, masih menatapnya sedih. “Pasti di sana kamu ga kesakitan sama sekali kan? Makanya kamu gamau bangun..” lanjutnya lirih. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Bangun, yok, Sayang. Aku udah nungguin lama banget.” Air matanya menitik.
Di depan kaca ruangan ini, sudah ada Hwanwoong yang datang ingin menemani Youngjo, dan Dongmyeong yang datang untuk melihat keadaan saudara kembarnya. Mereka bertiga nampak ikut sedih melihat Gunhak menangisi Dongju di dalam.
“Kak, kasian banget ya Kak Gunhak. Sampe segitunya..” ucap Dongmyeong kepada dua orang lainnya.
Youngjo membalas, “Iya, dia bahkan kemaren sampe gamau makan, cuma karena terlalu khawatir sama Dongju.”
Balasan Youngjo tentu membuat keduanya kaget. Benar-benar segitunya..
“Tapi tadi mau makan kah dia, Kak?” tanya Dongmyeong ikut khawatir.
“Untungnya hari ini udah mau, tadi abis gue bujuk juga. Padahal dia harusnya fokus diri sendiri dulu biar cepet sembuh,” jawab Youngjo.
Gunhak mulai terisak di dalam sana, ia merindukan kekasihnya. Meskipun baru dua hari tidak saling komunikasi, tetap saja ia merindukannya.
Ia rindu senyuman yang merekah di wajahnya. Ia rindu suara tawa yang keluar dari mulutnya yang mengembang tersenyum. Ia rindu dipanggil, diusili, dipukuli, semuanya. Ia rindu semuanya tentang Dongju. Padahal baru dua hari.
“Bangun, ya. Kita masih belum selesaikan waktu yang kita punya. Aku gamau nyesel nantinya. Lagipula katamu sendiri, bukan, harus manfaatkan waktu yang tersisa dengan baik?” Gunhak mengelus pipi Dongju.
“Aku masih nungguin, kok. Aku ga bakal kemana-mana. Aku janji bakal makan terus, asal kamu cepet bangunnya, ya?”
Setelah sekiranya rasa rindunya cukup tersampaikan, ia pun beranjak keluar dari ruangan itu seraya mengusap air matanya yang sedari tadi menetes.
“Loh, ada Dongmyeong?” ucap Geonhak baru menyadari kehadiran saudara kembar tak seiras kekasihnya itu. “Loh, ada Hanung juga,” lanjutnya, baru menyadari karena tertutupi oleh Dongmyeong.
“Iya, gue kesini mau nemenin pacar gue sama sekalian nemenin lo juga, tapi karena lo secara ga langsung ngatain gue pendek..” Hwanwoong sengaja tak melanjutkan kalimatnya, ia hanya menunjukkan muka sinis kepada Gunhak. Sementara Gunhak hanya mendengus mendengarnya.
“Lagian gue ga nanya lo ngapain ke sini, tapi, oke.” Gunhak meledek Hwanwoong, membuat Hwanwoong merasa jengkel terhadapnya.
“Lo ngapain di sini, Myeong?” tanya Gunhak pada Dongmyeong.
“Gapapa, tadi cuma penasaran aja sama keadaan si Dongju, gue kira dia udah siuman, ternyata.. belum.” Volume suara Dongmyeong mengecil ketika menyebutkan kata terakhir. Kemudian menyodorkan sebungkus makanan yang dari tadi ia pegang, “Ini, Kak, makanan dari Mama. Katanya buat isi tenaga nungguin Dongju biar semangat.”
Gunhak pun mengulurkan tangannya, menerima kiriman makanan dari Mama-nya Dong-kembar. Lalu mengucapkan terimakasih sebelum Dongmyeong beranjak pergi.
“Hak, balik yok,” ajak Youngjo. “Udah mulai malem. Bareng lagi sama gue sama Hanung.”
Gunhak hanya mengiyakan ajakan tersebut.
Gunhak menatap Dongju yang tertidur pulas di kasurnya melalui jendela ruangan itu untuk yang terakhir kalinya hari ini. Kakinya terasa berat untuk meninggalkan tempatnya, ia ingin terus berada di sini menunggu Dongju siuman.
Tapi dirinya juga butuh istirahat. Ia belum sembuh sepenuhnya dari cidera kakinya. Dan kalau ingin cepat sembuh, ya.. harus banyak beristirahat juga.
Huft, andai saja, Dongju tidak pernah mengidap kanker tersebut, semua ini tidak akan pernah terjadi.
Waktu pun akhir-akhir ini berjalan dengan sangat cepat. Ia takut kalau-kalau waktu akan mengkhianatinya— Dongju bisa saja pergi lebih cepat dari perkiraan.
Tapi, siapa dia untuk mengontrol takdir dan waktu?
Semoga, besok Dongju siuman. Atau minimal ada perkembangan sedikit saja mampu membuat hatinya senang.
to be continue