Our Time (우리 시간)
Chapter 10
Satu hari telah berlalu. Dongju menghabiskan waktunya seharian dengan berbaring di ruang ICU. Ia merasa sangat bosan. Untungnya hari ini ia bisa dipindahkan lagi ke kamarnya.
Selang di hidungnya tidak dilepas. Karena kadang kadar oksigen untuk ia bernapas tanpa selang menurun. Alhasil harus dipakai mulai sekarang.
Ah, teman sehidup-sematinya bertambah. Selain infus dan kursi roda tentunya.
Kenapa kursi roda?
Tidak ada masalah pada kakinya, masih berfungsi dengan baik. Hanya saja, dokternya menyarankannya untuk menggunakan kursi roda agar tidak cepat merasa lelah, efek dari kurangnya sel darah merah dalam tubuhnya.
Dongju dari kemarin sibuk memikirkan bagaimana keadaan surat-suratnya. Ia belum melanjutkan menulisnya sejak 5 hari yang lalu. Bahkan ia sendiri pun lupa sudah menulis sampai berapa kertas. Seingatnya ada 50an lebih.
Dongju merasa tidak sabar untuk kembali ke kamarnya dan melanjutkan menulis surat-suratnya. Minimal targetnya ada 70 gulungan kertas sebelum ia mati nanti.
Susternya mengetuk pintu, kemudian memanggilnya, “Ayo, balik ke kamarmu,” ajaknya.
“Yeay, ayo, Kak, bantuin,” pinta Dongju sambil pindah ke kursi rodanya.
Sebelum itu, ia melepaskan selang oksigennya. Karena nanti di sana akan diganti dengan yang baru lagi.
Saking lamanya tinggal di rumah sakit ini, dokter dan suster yang merawatnya sampai akrab dengannya.
Dongju dibantu mendorong kursi rodanya sampai ke kamarnya. Ketika membuka pintu, matanya kembali berbinar. Ia rindu kamarnya, meskipun baru 5 hari tidak ditempati.
“Ju,” panggil susternya.
“Iya, Kak?” Dongju menoleh.
“Itu burung-burung kertas origami bikinan kamu?” tanyanya.
“Bikinan aku sama temen-temen sih, Kak. Pas kemaren sebelum operasi pendonoran. Kenapa?” tanya Dongju balik.
“Ooh..” susternya mengangguk, “Gapapa, lucu aja liatnya. Tapi itu kenapa yang hitam dipisah sendiri?”
Dongju kembali menoleh ke arah burung-burungnya yang digantung. “Ahh, itu semacam 'si penyakit'. Si leukim ini. Terus, itu kan ada 7 lainnya, tuh, bersebrangan dengan si burung hitamnya, ceritanya itu yang paling depan aku, terus ada temen-temenku, pacarku juga, kita berenam. Sementara satunya lagi itu pihak rumah sakit, suster dan dokter yang ngerawat dan ngedukung aku buat sembuh. Kita sama-sama lagi ngelawan si burung hitam itu. Ukurannya memang besar, karena leukim itu kan lumayan susah dimatikan. Kalian semua berada di sisiku ngebantu aku berjuang ngelawan leukim itu,” jelas Dongju panjang lebar.
Susternya yang mendengarkan menganggukan kepalanya mengerti. Agak merasa terharu karena Dongju menyertakan dirinya—suster, dan dokter yang membantunya.
Sorot mata Dongju yang awalnya berbinar ketika menjelaskan tiba-tiba kembali meredup. Kemudian ia melanjut, “tapi semuanya gagal. Malah burung hitamnya yang menang..”
Gunhak yang sedari tadi berdiri di depan pintu—di belakang mereka, hanya mendengar tidak mau mengiterupsi, melangkah masuk. Kakinya melangkah mendekati Dongju, kemudian turun jongkok di depan Dongju.
“Kamu belum gagal. Burung hitamnya belum sepenuhnya menang.”
Dongju yang tersentak kaget, tidak menyangka bahwa pacarnya menyimaknya dari awal. Tangannya langsung menggenggam tangan Gunhak yang terulur padanya.
“Tapi emang gagal.. Operasi pendonorannya saja gagal, apanya yang belum gagal,” tutur Dongju. Hidungnya memerah menahan isakan tangisnya. Matanya sudah berkaca-kaca. Ia mendongakkan kepalanya, tidak ingin air matanya jatuh.
“Ngga gagal, Dongju-ya. Mungkin belum sih, lebih tepatnya. Kalo kamu fokus sama pengobatan, rutin, juga fokus nikmatin hidup, kamu masih bisa hidup lebih lama dari waktu yang diprediksi,” kata susternya menimpali. Gunhak pun mengangguk.
“Tuh, bener kok kata susternya.”
“Tapi kan palingan nambah hidupnya beberapa hari doang.. Ujungnya pasti juga mati.” Dongju berusaha kuat untuk tidak menangis.
“Ya memang manusia itu pasti ujungnya bakal mati, sih. Cuma tergantung keberuntungan kamu aja. Maksudnya keberuntungan itu semacam.. Bagi orang yang seperti kamu, kamu termasuk yang beruntung. Karena kamu sempat dikasih donor sumsum tulang belakang—yang aslinya pendonor ini susah banget nyari yang cocok,” ucap susternya.
“Dan operasinya memang susah sekali untuk berhasil. Karena itu kamu termasuk yang beruntung, Dongju,” sambungnya.
Tanpa disadar, air mata Dongju menetes.
“Iya, jarang loh, penderita leukim dapet donor, ya, sus?” tanya Gunhak ke susternya, yang kemudian diangguki setuju.
“Saya ijin keluar, ya, Kak, Ju,” ucap susternya yang dibolehkan oleh Gunhak, lalu pergi keluar dan menutup pintu.
“Udah, ya, jangan nangis. Cup cup cup, sayang.” Gunhak berdiri, kemudian mengusap pipi Dongju yang basah karena air mata.
Entah bagaimana ia bisa dipertemukan manusia berhati malaikat seperti Gunhak. Gunhak terlalu sempurna untuk dirinya yang cacat.
Dongju terlihat menahan batuknya. Efek terlalu terbawa emosi. Wajahnya agak membiru, kemudian Gunhak mengambilkan beberapa lembar tisu dan disodorkan ke Dongju yang langsung batuk di tisunya. Gumpalan darah keluar dari mulutnya. Matanya berair, menahan sakit di perut dan tenggorokannya. Membuat Gunhak merasa prihatin dengan kondisinya.
“Ahh.. Harusnya aku ga begini,” lirih Dongju. Kemudian meringis sakit memegang perutnya. Gunhak hanya bisa merasa prihatin. Ia tidak tega melihat kekasihnya terus-terusan merasa sakit seperti ini.
Dongju beranjak berdiri dari kursi rodanya, Gunhak dengan sigap langsung membantunya berjalan ke kamar mandi untuk mencuci mulutnya. Dongju berjalan dengan agak sempoyongan, lalu setelah selesai langsung diantar duduk di kasurnya.
Wajar saja sempoyongan, ia berbaring terus-terusan selama 2 hari di kasur ICU. Membuat otot kakinya harus menahan tubuhnya secara mendadak juga melatih keseimbangannya lagi.
“Bae,” panggil Dongju. Yang dipanggil menoleh.
“Kalo aku nanti udah pergi, terus kamu ada yang suka, terus kalian ujungnya pacaran, dijaga ya, disayang dengan tulus. Kayak kamu sayang ke aku,” ucap Dongju tiba-tiba.
“Maksudnya..?” tanya Gunhak bingung. Ucapan Dongju barusan agak menohok hatinya. Ia berjalan mendekati Dongju, kemudian duduk di sampingnya.
“Iya, terus juga nanti, kalo kamu suka sama seseorang, kejar orang itu ya. Sayangi dia kayak kamu sayang ke aku sekarang,” lanjut Dongju. Matanya yang berkaca-kaca menatap kosong ke depan.
“Gimana bisa aku suka sama orang lain lagi..” balas Gunhak. “Hatiku udah dipegang sama kamu,” lanjutnya.
Entah itu hanyalah ucapan manis untuk menenangkannya atau ia benar-benar jujur, yang pasti itu berhasil membuat pipinya memunculkan semburat merah samar.
Tapi di lubuk hatinya, ia yakin yang diucapkan Gunhak memang benar. Kalau itu adalah bohong, Gunhak tidak mungkin menemaninya sampai sini. Gunhak pasti langsung meninggalkannya ketika tau dirinya pengidap leukimia. Gunhak tidak akan mencintainya apa adanya.
“Kenapa ngomong gitu, sayang? Jangan bikin aku khawatir..” tanya Gunhak.
“Nggapapa.. Cuma pengen bilang gitu,” jawabnya, menatap mata Gunhak.
“Kamu ngucapinnya kayak ngucapin.. perpisahan..” Gunhak menunduk.
“Humm.. Maaf,” ucap Dongju, kemudian memegang pipi Gunhak tiba-tiba. Mengangkat wajah Gunhak, menunjukan bekas lintasan air mata di pipinya. Kemudian ia lap dengan jempolnya.
“Cup cup cup, sayang, jangan nangis yaa.” Dongju mengatakannya kembali ke Gunhak sambil tersenyum.
Gunhak yang melihatnya pun turut tersenyum.
Senyum yang ia suka kembali merekah di wajah kesukaannya. Ia senang melihat pacarnya kembali tersenyum. Meskipun hanya untuk menghibur dirinya, ia merasa cukup senang.
“Iyaa,” jawab Gunhak.
“Nah, mau bantuin aku, ga? Sekalian nungguin dokter atau susterku balik lagi masangin selang napas,” tanya Dongju. Kemudian diangguki Gunhak.
“Itu, tolong ambilin toples kertasnya, dong,” kata Dongju sambil menunjuk toples di mejanya.
Gunhak mengambilkannya, kemudian sekalian menggeser meja ke hadapan Dongju, karena ia tau Dongju pasti akan menulis sesuatu.
“Thank you.” Dongju mengambil pulpen dan kertas lainnya. “Ah, kamu duduk di sebelah situ, terus kamu bantuin hitung kertas-kertasnya ya, ga boleh ambil intip ke dalamnya.”
Gunhak hanya mengangguk. Kemudian mengambil kursi untuk duduk di seberang Dongju.
1..
2..
3..
4..
...
56..
57..
58..
“Ada 58. Banyak banget??” ucap Gunhak heran. Sementara Dongju hanya terkikik sendiri.
“Oke. Berarti ditambah sama yang ini udah ada 63 ya,” Dongju menunjuk gulungan kertas yang ada di hadapannya dan yang dipegangnya.
“Rajin banget nulisin ginian. Ini apaan? Pasti bukan catetan konsumsi obat perhari, kan?” tanya Gunhak mulai curiga.
“Hehehe, iya,” jawab Dongju. “Ini tuh buat—”
Belum selesai ngomong, susternya masuk membawakan selang baru untuknya, juga tabung oksigen.
“Ayo, Dongju, pake ini dulu.”
“Oke, Kak.”
Dongju menoleh ke Gunhak, “Ada deh~” ucapnya dengan usil. Terpampang senyum usil di wajahnya.
Gunhak awalnya ingin menggerutu kesal, tapi melihat senyuman Dongju lagi, hatinya kembali menghangat.
Ia senang Dongju seperti ini, seperti lupa dengan penyakitnya.
Ia harap ia bisa membantu Dongju melupakan penyakitnya. Tapi siapa dia bisa memanipulasi ingatan seseorang?
to be continue