louisé


Jam 23.45 tepat sebelum tahun silih berganti.

Di bawah kurungan hawa dingin musim salju, Dongju hanya bisa memainkan asap yang keluar karena nafas panasnya. Sesekali menggumam “woah dingin, dingin.” Tangannya yang berbalutkan sarung tangan digesekkannya secara konstan guna mendapatkan rasa hangat pada keduanya.

Hmm, bisa dibilang ia cukup bodoh untuk menggunakan baju crop top miliknya di musim dingin seperti ini. Toh ia pun menggunakan jaket juga. Dingin yang menusuknya tidak sesakit yang ia biasanya rasakan.

Duduk di bangku taman sendirian, melihat beberapa anak kecil yang mencoba memungut salju kemudian dilempar ke satu sama lain, air di air mancur yang mengalir pelan karena hampir beku, ditemani cahaya-cahaya lampu pinggir jalan berwarna-warni pasca merayakan natal. Suasana yang sangat hidup bagi dirinya yang berbanding terbalik.

Tahun baru ini, dirayakan tanpa kekasihnya. Mantan kekasihnya, lebih cocoknya begitu sepertinya. Kan mereka sudah tidak berhubungan lagi.

... Bagaimana pun juga, ia masih mencintainya.

Tak ada yang memberinya pelukan super hangat lagi, tak ada yang menjajakannya berbagai macam camilan, tak ada yang memanjakannya seperti anak kecil lagi. Semua itu hanya tersisa kenangan.

Matanya yang redup menatap ke depan, hingga tiba-tiba ia melihat wajah dengan senyum yang familiar. Sorot lampu sekitar seolah terfokus pada wajah itu, memperjelas senyuman yang terpampang lebar di parasnya.

Senyum yang biasanya menghangatkan hatinya. Senyum yang dulu mampu membuatnya sembuh. Senyum yang dulunya hanya terpasang untuknya, kini merekah lebih indah lagi di hadapan orang lain.

Andai saja ia adalah orang itu. Andai saja mereka tidak putus. Andai saja keegoisannya kala itu tidak mengambil alih.

Rasanya sakit melihat wajah itu tersenyum ceria untuk orang lain selain dirinya.

Dulu hanya ialah yang mampu membuat senyum itu merekah di wajah sang empunya. Dulu. Hanya dia.

Sekarang orang lain pun sudah bisa, ya. Lebih bahagia malah sepertinya.

Sakit. Melihatnya sakit.

Tanpa sadar air mata pun menetes dari tempatnya. Meninggalkan jalur basah di pipinya yang dingin.

“Maaf, kak..” gumamnya pelan. Matanya masih menatap ke orang tadi.

“Aku masih sayang kakak...” isak tangis tiba-tiba keluar. Dongju sesegera mungkin menaikkan syalnya agar menutupi wajahnya. Matanya masih setia menatap sosok yang pernah menjadi penyemangat hidupnya.

Bayang-bayang seorang Kim Geonhak seringkali menunjukkan dirinya ketika ia tengah beraktifitas, maupun ingin tidur. Bahkan tak jarang juga mantannya itu masuk ke mimpinya.

“Aku kangen..”

Sangat.

Ia tidak bisa melupakan bagaimana senyumnya ketika ia berhasil memenangkan gim yang mereka mainkan. Ia tidak bisa melupakan bagaimana semangatnya seruan di dapur ketika resep baru yang dicobanya berhasil dan enak. Ia tidak bisa melupakan tawa yang menyusul setelah memberinya kecupan selamat tidur lewat video call sampai tengah malam. Ia tidak bisa melupakan bagaimana senyum itu mampu membuatnya sembuh. Ia tidak bisa melupakan bagaimana hangatnya pelukan tubuh itu.

“Kak..”

Kejadian malam itu terulang lagi di kepalanya.

Ia dan Geonhak bertengkar hanya karena masalah kecil yang ia besar-besarkan kala itu. Hanya karena ia melihat Geonhak mengantarkan teman perempuannya pulang.

“Kamu manusia pengkhianat!” Kalimat itu keluar dari mulut Dongju tanpa alasan jelas. Tentunya membuat lawan bicaranya terdiam karena sakit hati difitnah seperti itu.

“Aku capek sama kamu. Lemah. Terlalu melankolis untuk badan segede gitu. Orang aneh.”

Kata-kata jahat terus meluncur keluar dari mulutnya. Padahal Geonhak tidak bersalah sama sekali. Ia yang membesarkan masalah ini karena awalnya ia pikir ingin menambah sedikit bumbu pahit di kisah mereka.

Terlalu pahit kalau begini hasilnya, sih.

“Aku gak butuh kamu.”

Kalimat yang sangat berkontradiksi dengan situasi yang ia alami sekarang. Sebuah kebohongan besar, tentunya. Ia masih butuh Geonhak disini, sebagai penenangnya, sebagai penghangatnya, sebagai penyembuhnya. Sebagai kekasihnya.

Dan setelah mengucap kalimat itu mereka pun putus. Diakhiri dengan Geonhak yang mengatakan “Kamu lebih pantas dapetin yang lebih baik dari aku, maafin kakak ya, Ju.” Setelah itu Geonhak melangkah pergi dari apartemen miliknya.

Yang biasanya apartemennya terasa hidup, kini hanya berisikan hawa suram.

“Itu.. Semua kalimat itu bohong..” gumam Dongju lagi, masih menatap sosok itu.

Kalimat yang terlontarkan kala itu hanya karena perasaan insecure yang ia rasakan ketika ia bersama Geonhak. Geonhak mampu memberinya semangat dan berbagai macam hal lain. Dirinya? Tak lebih dari sekedar beban di hidupnya. Begitulah ia dulu menganggapnya. Dan sekarang mungkin memang benar.

“Kak.. Please, I need you.. Maaf aku bohong..” ucapnya disela tangisnya.

Bohong, malam itu ia banyak sekali melontarkan kebohongan terhadap kekasihnya yang ia sayangi itu. Semuanya palsu. Semuanya bukan fakta. Geonhak telah memberikannya banyak hal. Hanya ia yang merasa bingung karena ia tidak bisa memberikan itu semua kembali dengan sama besarnya.

Sayangnya semuanya sudah telat. Geonhak yang dulu miliknya sekarang sudah bahagia bersama yang lain.

“Maaf aku gak bisa bikin kakak sebahagia itu..”

Tangannya yang satu meremas di depan dadanya. Sakit.

Rasanya cemburu itu begini ya?

Sakit sekali.

Kata maaf berkali-kali ia gumamkan bagaikan mantra agar Geonhak-nya kembali ke pelukannya lagi. Berharap Geonhak mendengar semua dan sedalam apa ia meminta maaf.

Matanya tertutup kencang, meneteskan lebih banyak air mata di cuaca dingin ini. Tubuhnya meringkuk, tangannya menggenggam tangan yang meremas baju di bagian dadanya.

“Sakit..”

Hawa dingin ini tidak memberikannya keringanan sama sekali. Rasanya seperti hukuman.

Mungkin ia pantas mendapatkan hukuman ini? Ia telah menyianyiakan orang yang mencintainya sepenuh hati hanya karena keegoisannya yang meledak dan meluap. Ia telah menyakiti dan memfitnah orang yang tulus menyayanginya. Mungkin ia memang tidak bisa dimaafkan.

Hukuman ini sepadan.

Tubuh kurusnya pun terjatuh dari bangku karena tak kuasa menahan rasa dingin yang menusuknya. Kontak langsung dengan salju yang ia tindih membuatnya merintih dan menggigil. “Ah.. Dingin.. Ingin dipeluk..”

Tiba-tiba ia merasakan rasa hangat yang familiar kembali merengkuhnya selama sesaat.

“Dongju tahan!!” ucap suara berat itu. Suara yang selalu ia senangi ketika mendengarnya. Kemudian terdengar lagi suara itu memerintahkan kekasihnya untuk segera memanggil ambulans. Ada nada panik dan khawatir dalam intonasi bicaranya. Dongju kurang suka membuatnya khawatir.

Ia tahu ini siapa. Namun ia tidak sanggup untuk menangisinya lagi. Tubuhnya kesakitan, dadanya juga. Matanya yang memejam pun akhirnya memutuskan untuk menetap seperti itu.

“Sayang.. kakak..” ucap Dongju pelan disela isakan nafasnya yang mulai terputus, mungkin tidak terdengar. Nafasnya perlahan benar-benar menghilang terbawa udara dingin malam tahun baru itu.

Setidaknya ia mampu merasakan rasa hangat itu lagi, meskipun hanya untuk sesaat. Meskipun ia tahu ucapan terakhirnya mungkin tidak akan pernah dibalas lagi. Setidaknya juga, ia tidak akan melukai siapapun lagi. Setidaknya ia tidak akan membuat mantan kekasihnya itu khawatir lagi.

Setidaknya ia mampu merasakan rangkulan hangat itu lagi untuk yang terakhir kalinya.

Jam 00.01

Selamat tahun baru, Kak Geonhak. Aku pamit ya. Makasih and love-d you!<3


Dongju terbangun dari tidurnya dengan nafas terengah-engah dan mata yang sembab. Memegangi dadanya karena kehabisan nafas, ia memicingkan mata mengarah ke jam dindingnya; jam 00.02.

Dapat terdengar sorakan orang-orang dan ledakan kembang api di luar jendela apartemennya.

”.. malam tahun baru ya..”

Berarti.. Semuanya tadi, benar hanya mimpi?

Kenapa terasa nyata?

Dongju kemudian terdiam sebentar, kemudian bergumam, “maaf ya kak.. aku masih sayang kakak, kangen..” Air mata yang sempat berhenti pun kini kembali mengalir disertai isakannya yang menyayat hati.

Memeluk guling di sampingnya demi meredakan emosinya juga, ia pun perlahan memutuskan untuk kembali ke alam bawah sadar.


Chapter 1


Sering disapa sebagai si kembar Son, Dongmyeong dan Dongju memliki banyak teman akrab di kampusnya. Keduanya memiliki paras yang cukup netral— tampan iya, cantik juga iya. Maruk memang.

Dongmyeong, memiliki kepribadian yang cukup ceria, mudah tertawa. Pandai bermain alat musik juga, terutama keyboard dan semacamnya. Di kampusnya ia memiliki sebuah band kecil bersama keempat temannya yang lain. Pada dasarnya ia dan Giwook—bassist grup band-nya— adalah matahari di grup mereka.

Dongju, mirip seperti kembarannya, kepribadiannya juga cukup ceria dan friendly ke siapa saja. Bahkan kadang suka manja ke salah satu katingnya. Untungnya mereka akrab, karena orang-orang mungkin akan takut duluan bila bertemu dengan kating kesayangannya itu.

Iya, Kim Geonhak yang dimaksud.

Sekarang mereka semua berada di ruang latihan grup mereka. Bersebelas tentunya. Ada Jin Yonghoon sang vokalis grup band mereka, Harin drummer handal, dan Giwook sang bassist imut.

Juga ada Geonhak, Dongju, Seoho, Keonhee, Youngjo serta Hwanwoong bernyanyi mengikuti alunan musik dari kelima orang tadi.

Beberapa menit berselang, akhirnya latihan mereka selesai. Mereka tengah mempersiapkan festival kampus mereka, dan memutuskan untuk melakukan kolaborasi bersebelas.

“Asik, tadi udah bagus, tinggal pertahanin aja sampe hari H ya, kawan semua,” Keonhee membuka suara yang diikuti anggukan setuju dari yang lainnya.

Dongmyeong tengah membereskan keyboard-nya ketika sebuah tangan berotot memasuki area pandangnya.

“Sini gue bantu,” kata orang itu.

Ya, Kim Geonhak. Fisiknya yang atletis sangat berkontradiksi dengan wajahnya yang cenderung imut. Tapi dia sendiri tidak mau dibilang imut jadi ya begitu lah dia. Makin denial makin imut, menurut lainnya.

Dongmyeong merasakan jantungnya berdegup kencang. Senang? Tentunya. Apa lagi kalau dibantu crush, siapa yang gak senang sih?

“A-ah iya, itu taro di pojokan aja, gue nyabut kabelnya,” respon Dongmyeong. Kemudian terdengar Geonhak menggumam oke sambil tersenyum.

Ahh rasanya ingin meleleh saat itu juga.

Hanya saja mereka tak sadar bahwa ada dua pasang mata tengah memerhatikan mereka.


“Kak Hak, temenin ke toko buku yuk nanti sore?”

“A—” Belum sempat menjawab, omongannya terpotong karena ada beban yang lumayan berat hinggap di tubuhnya.

Oh, Dongju.

Maksudnya ada manusia imut tiba-tiba bergelendotan di pundak kirinya Geonhak. Kembarannya yang mengajak bicara dia sekarang ini.

“Kak Hakkk, udah nonton bioskop yang baru blom?” tanyanya, tidak menggubris kehadiran orang di depan pemuda yang dipeluknya.

“Belom, ga sempet nontonnya,” jawabnya.

“Yaudah mau bareng ga? Aku beli tiket malah kelebihan satu tapi gatau mau ngajak siapa..”

“Lah ini kembaranmu?” balas Geonhak sambil nunjuk Dongmyeong.

“Lah iya juga ya, anjing, gue ga kepikiran,” batin Dongju.

“Maunya sama Kakak.”

“Loh?”

“Hah”

“Lah”

“Maunya sama Kakak. Perlu diulang berapa kali?” tekan Dongju. Tatapannya menajam tapi masih menggemaskan. Geonhak sebenarnya ingin melebur kalau begini caranya.

“Emang kenapa? Itu ada kembaranmu kan bisa ngabisin waktu berdua.”

“Bosen atuh kak, di rumah kan udah bedua mulu.”

“Hoo iya juga.”

“Lagian Kakak juga udah kayak abangku sendiri, jadi.. ya lebih nyaman,” tambahnya dengan senyum sumringah.

Crack

“Oh.. Brother-zoned ya..”

“Lah gue kan kembaran lo...”

Dua batin dengan isi yang berbeda, namun sama-sama meretak hatinya.

“Oh.. Yaudah ayo. Langsung nih??” tanya Geonhak yang dijawab anggukan Dongju.

“Dding, maaf ya gabisa nemenin lo, gue duluan,” pamit Geonhak, masih dirangkul— lebih seperti dipeluk sih— oleh Dongju.

“Iyaa gapapa, santuyy! Enjoy yaa!”

”... Kalian berdua keliatan cocok juga lagian, kenapa ga pacaran aja coba.”


Prolog.


Kim Geonhak, dekat dengan si kembar Son. Karena tingkah lakunya yang baik dan perhatian membuat Dongmyeong jatuh hati padanya.

Mereka lumayan dekat, sampai kadang Dongmyeong bingung karena Geonhak sering memberikannya sinyal bercampur.

Geonhak? Dia naksir kembarannya Dongmyeong, Dongju. Sementara Dongju ga menungjukkan tanda-tanda adanya perasaan naksir balik padanya.

Yang Geonhak tau, mencintai orang itu memang bakal menyakitkan. Semua orang pasti tau ini. Tapi menurutnya supaya cinta itu ga begitu sakit, coba beri kasih kembali ke orang yang mencintaimu itu. Seiring berjalannya waktu mungkin bisa bikin kamu jatuh untuknya juga, membalas perasaannya.

Prinsip Geonhak awalnya begitu. Tapi..?

Cinta segitiga memang ribet. Eh, atau segiempat?


Di bawah terik matahari, mengayun-ayun pelan ayunan yang ia duduki, berada di taman kota bersama 'teman' kesayangannya.

Memeriksa handphone-nya, jam menunjukkan pukul 12.28; tanggal 15 agustus. Ia kemudian menoleh ke Joochan yang menduduki ayunan di sebelahnya, berceloteh macam hal sambil mengelus-elus kucing miliknya.

Ketika mereka berdua tengah berjalan berdampingan, kucing yang digendong Joochan tiba-tiba kabur dan berlari ke seberang jalan. Berniat mengejarnya, tiba-tiba hal yang tak diduga terjadi.

Sebuah truk besar tampak tak menghentikan lajunya, hanya membunyikan klakson berulang kali— mengisyaratkan agar Joochan segera menyingkir dari jalurnya. Tapi kakinya seperti terasa membeku di tempat; ia tidak bisa bergerak saking takut dan syoknya. Dan hantaman maut itu pun tidak terelakkan.

Darah berceceran di mana-mana. Baunya yang menyengat mulai menyeruak ke udara. Tubuh kecil Joochan tergeletak tanpa tenaga. Donghyun melihat pemandangan di depannya dalam tatapan horor dan syok. Menutup mulutnya, matanya mengeluarkan air mata.

Di seberang jalan, sebuah bayangan dengan aura panas yang nampak seperti dirinya persis, menatapnya dengan senyuman sinister; mulutnya berucap beberapa hal, mengingatkan bahwa ini bukanlah sebuah candaan.

Suara-suara jangkrik aneh mulai mengambil alih suasana. Berisik sekali. Sangat berisik hingga perhatiannya bisa teralihkan.

Bayangannya mengambil kesempatan ini untuk pergi meninggalkan Donghyun yang masih gemetaran di trotoar.


Syuuk

Suara decit benda cair yang digoreskan paksa ke sebuah benda padat. Berwarna merah..? Darah? Ke... sebuah jam di antara sedinding penuh jam analog..? Yang semuanya.. mengarah ke waktu tertentu—

*Waktu ketika kebahagiaannya Donghyun direnggut.*


Donghyun terbangun tatkala mendengar ketukan denting jarum jam di kamarnya.

'Sekarang jam berapa..?' batinnya, menoleh ke arah jam yang tergantung di pojok ruangan.

Jarum jam menunjuk pukul 00 lewat beberapa menit. Tanggal 14 Agustus.

Ah.. Rasanya..

Ia menoleh ke jendela— yang entah sejak kapan terbuka tirainya— di samping ranjangnya.

Ia ingat suara-suara jangkrik yang menyebalkan itu.


Duduk di ayunan bersama Joochan di sebelahnya; berceloteh berbagai macam hal sambil memangku kucingnya. Di taman yang sama, di waktu yang sama, terik matahari yang terasa sama panasnya, obrolan yang sama persis pula.

Ia masih ingat 'mimpi'nya kemarin malam.

Joochan menyadari perubahan ekspresi Donghyun yang menjadi lebih masam dari biasanya. Ia pun memilih untuk mengacuhkan hal itu.

Berjalan kembali keluar dari taman, kemudian hal yang sama terjadi; kucing Joochan kabur— lagi?

Bayang-bayang Joochan yang tergeletak tak berdaya dengan bersimbah darah di tengah jalan kembali terputar di kepalanya.

Donghyun langsung menahan tangan Joochan ketika si yang lebih muda berusaha mengejar kucingnya. Membuat yang ditahan menatapnya kebingungan.

Donghyun membuka mulutnya, “k-kita mending langsung pulang aja.” Dan tanpa basa-basi Joochan langsung mengiyakannya—meskipun dirinya bingung bukan kepalang.

Melewati daerah konstruksi yang jelas berbahaya, dengan alasan lewat sini akan lebih cepat sampai ke rumah. Joochan hanya mengikuti Donghyun yang memimpin jalan tanpa ada sepatah kata keluar dari mulut keduanya. Tangan Donghyun menggandeng tangan Joochan, seperti berusaha melindunginya.

Orang-orang di sekitar terlihat mendongak ke atas, menunjuk-nunjuk ke sesuatu di atas sana dengan mulut ternganga. Donghyun pun menoleh untuk melihat ke Joochan, tangannya melepas pegangannya ke Joochan, tatapannya membulat saat ia melihat yang terjadi di depannya.

Sebuah pipa besi menancap tembus laki-laki di depannya. Darah muncrat ke sekitarnya. Orang-orang yang menyaksikan langsung berteriak dalam kengerian. Suara kelontangan pipa besi kemudian mengambil alih.

Aura panas itu kembali mencibirnya, mengingatkannya bahwa ini bukanlah sebuah mimpi.

Donghyun melirik ke Joochan yang tersungkur penuh darah disertai pipa yang menusuknya. Joochan.. tersenyum?


Matanya terbuka paksa. Dirinya langsung terduduk, memegangi dahinya sendiri, matanya melotot dengan rasa syok yang masih menyertainya.

Ia kembali bangun di tengah malam.

Mimpi?

Bagaimana bisa terasa nyata?


Hari yang sama, hanya saja ia langsung mengajak yang lebih muda untuk kembali pulang begitu ia sampai di taman.

Senyum yang ada di wajah Joochan langsung tergantikan dengan ekspresi bingung saat Donghyun menariknya paksa pergi dari taman itu.

Melewati tempat yang berbeda, ia yakin tidak akan terjadi apa-apa disini. Menaiki tangga sambil memegangi tangan Joochan.

Sambil meneriaki Joochan yang sedaritadi meminta penjelasan, matanya membelalak ketika menangkap sosok yang familiar di ujung ekor matanya, tengah menyandar ke pagar pembatas.

Tanpa sadar, pegangannya ke Joochan terlepas, membuat yang lebih muda malah jatuh tergelinding dari ketinggian lebih dari dua meter itu.

Lagi, bersimbah darah di bawah tangga.


Donghyun kembali terbangun dengan tangan memegangi dahi yang basah karena keringatnya. Air matanya bercucuran karena gelisah dan takut.

Semua mimpinya sama tapi beda. Sama; Joochan selalu berakhir mati, beda; di setiap mimpinya berbeda pula caranya.

Ia seperti terjebak di sebuah lingkaran waktu. Kejadian tersebut telah berulang kali selama... bertahun-tahun mungkin? Ah, terlalu banyak, ia sendiri bingung apakah ini masih bermimpi atau tidak. Ia tidak bisa membedakan lagi mana yang nyata mana yang mimpi; semuanya sama saja.

Mimpinya terlihat seperti hanya memiliki satu akhiran, tapi semuanya tetap terulang.

Ia harus menghentikan ini. Tapi.. caranya?


Hari yang sama? Beda? Entahlah. Ia membiarkannya berjalan seperti awalnya— mengobrol di ayunan, berjalan keluar dari taman, kucingnya kabur.

Tapi kali ini ia mendorong Joochan ke pinggir jalan, digantikan dengan dirinya yang berdiri di tengah jalur truk yang tengah melintas tanpa kendali. Ia sempat menoleh ke Joochan sambil tersenyum manis.

Darah pun muncrat sesaat Donghyun tertabrak oleh truk yang sama. Bisa dilihat Joochan hanya berdiri kaku di pinggir trotoar sambil menatapnya.

Donghyun menoleh ke arah aura panasnya sambil berucap, “rasakan itu!” sambil tertawa kecil, merasa puas, berpikiran bahwa mimpinya ini akan mencapai akhirnya.

Kembali menoleh ke arah Joochan, ia melihat sosok yang familiar berdiri dengan amarah besar di samping Joochan.

.

.

.

14 Agustus, seorang bocah laki-laki terbangun di kasurnya. “Aku gagal lagi kali ini..” ucapnya pelan sembari mengelus kucing di pangkuannya. Air matanya menetes.

Sementara aura miliknya hanya tersenyum, kemudian memerangkapnya lagi di mimpinya.


BRAK

Mata Dongju kembali terbuka paksa, menatap ke arah pintu yang baru saja didobrak. Kemudian menatap ke arah jam dinding di kamarnya; jam 11 malam.

Harus banget jam segini?

“Kamu kemana aja!?” sosok wanita yang berdiri di hadapannya meneriakinya.

Dongju bangkit duduk di kasurnya, posisinya hanya diam, tidak berani menjawab. Dan juga dengan dirinya diam saja seperti ini juga tidak menghasilkan hasil yang berbeda. Karena bagaimanapun juga ia menjawab, pasti hanya akan mendapat satu perlakuan—

PLAK

—dipukul.

Pipinya merasakan rasa panas yang menyengat, nyeri. Bisa ia rasakan ada sebuah luka goresan hasil dari gesekan cincin wanita tersebut.

Matanya bergetar, terlihat berkaca-kaca tipis, dadanya sesak.

”..Salah?” ucapnya, hampir tidak terdengar.

“Ngomong apa barusan!?” wanita tersebut masih menanyainya dengan nada tinggi.

“Salah, aku gamau tinggal di sini? Salah, aku maunya kabur aja?” tanya Dongju lebih keras, yang lagi-lagi hanya mendapatkan pukulan dari rentetan pertanyaannya.

Wanita itu tertawa kecil, “Memangnya mau kabur kemana? Ada yang sudi merawatmu? Melihatmu saja pasti mereka akan langsung muntah.”

Dongju hanya diam. Jantungnya berdegup kencang, hatinya berdenyut sakit, otaknya berkabut— tidak dapat berpikir jernih.

Wanita itu kemudian berjalan mendekati Dongju, kemudian menarik kerah bajunya, “Lagipun hanya kau yang bisa kami gunakan untuk donor darah ke kembaranmu itu. Hanya golongan darahmu yang cocok persis untuknya. Jadi, jangan coba-coba kabur,” ucapnya lembut namun mengintimidasi.

Begini ya, rasanya digunakan? Dirinya merasa seperti bukan manusia, lebih seperti benda mati.

Setelah wanita itu keluar dan menutup pintu dengan keras, Dongju tidak kembali tidur, ia ingin melampiaskan amarahnya. Mengakibatkan tangan, meja dan cutter yang dipegangnya penuh bercak darah.

Ia sudah memutuskannya.

Besok, ia akan kabur, dan tidak pernah kembali lagi ke dunia.


Ya, Dongju menjadi satu-satunya pendonor bagi kembarannya, Dongmyeong. Kembarannya itu mengidap sebuah penyakit yang membutuhkan transfusi darah terus-menerus. Dari sekian banyak relasi yang ada, hanya Dongju yang memiliki golongan darah yang cocok untuknya. Karena itu ia menjadi 'kantong darah berjalan' milik Dongmyeong.

Dongmyeong di diagnosa mengidap ini sejak umur 15 tahun. Ayahnya pun juga menikah lagi sebelumnya, tidak disangka bahwa ibu tiri yang awalnya baik menjadi sebejat ini. Dan sejak umur itulah, kehidupan Dongju mulai berubah drastis.

Dongmyeong sekarang seakan di 'anak emas'kan oleh orang tua mereka, dan cara mereka memperlakukan Dongju tidak ada bedanya dari memperlakukan sebuah tempat sampah.

Sejak saat itu, mereka hanya memandang Dongju sebagai 'kantong darah berjalan' milik Dongmyeong, tidak lebih.

Dongju selalu memerangi mereka dengan mencari validasi menggunakan caranya sendiri; tetap mendapatkan nilai bagus, mengejar prestasi, dan semacamnya.

Tapi semuanya tetap tidak nampak di mata mereka. Tidak ada yang berubah, mereka hanya semakin kasar dalam memperlakukannya. Membuat Dongju tertekan dengan semua yang ada, semua paksaan dari mereka.

Mereka tidak memperhatikan keadaan Dongju, kalau sudah waktunya transfusi, harus saat itu juga transfusi, tidak peduli Dongju sedang kelelahan atau tidak. Kadang karena saking lelahnya, ia pernah sampai pingsan seharian.

Dongmyeong? Dongmyeong sebenarnya juga tidak suka saudara kembarnya diperlakukan seperti itu. Bagaimanapun mereka adalah keluarga. Tapi sepertinya orang tua mereka sudah tidak peduli dengan kembarnya.

Yang mereka pedulikan hanyalah dirinya dan pekerjaan mereka saja.

Bukankah enak masih mendapatkan kasih sayang orang tua?

Tapi dengan keadaan saudaranya sendiri yang seperti itu? Tidak.

Ia ingin meminta maaf pada Dongju, tapi setiap kali ia mencoba mendekat, Dongju pasti akan selalu buang muka dan menjauh. Dongmyeong merasa bahwa Dongju benar-benar membencinya.

Dongmyeong sering mengintip melihat Dongju yang diperlakukan kasar oleh ibu mereka, hatinya ikut berdenyut sakit.

Semuanya karena dirinya mengidap penyakit sialan ini.


“Ah, apa kabur biasa aja kali ya, gausah kabur begitu..” Dongju bermonolog pelan sambil menutup lokernya.

”..Tapi..”

..Ia akan tinggal dengan siapa..?

pikirannya terus berjalan begitu pula kakinya, hingga tiba-tiba menabrak seseorang bertubuh lebih besar darinya.

“Ah! M-Maaf!” refleks Dongju. Matanya langsung membulat ketika menyadari itu adalah Geonhak.

“Gapapa. Mau ngobrol? Kali aja butuh temen mikir,” ajak Geonhak tiba-tiba, yang tentu saja mendapatkan tatapan bingung dari Dongju.

“Ya, lo daritadi jalan sambil mikir, nih barusan nabrak kan? Duduk aja dulu,” jelasnya singkat. Kemudian Dongju mengiyakan.

. . .

“Aku pengen nginep di rumah kakak boleh ga? Nanti pas udah pulang,” tanyanya langsung.

Geonhak yang sedang minum langsung tersedak. Ini dia tidak salah dengar, kan?

“K-Kok tiba-tiba banget??” tanya Geonhak balik disela batuknya.

“Gapapa, pengen nyari suasana baru aja,” Dongju beralasan, yang justru malah terdengar masuk akal.

“Lo.. pengen banget?”

“Aku gapunya pilihan lain sih...” jawab Dongju, terdengar agak murung.

“Ma-”

“Tapi gapapa kalo kakak gamau, aku bisa cari tempat lain kok,” sambung Dongju cepat.

Maksudnya??

“Iyaudah gapapa, boleh aja.” Geonhak akhirnya mengiyakan permintaan Dongju.

Toh juga dirinya perlu belajar bersosialisasi lagi setelah sekian lama.

Tapi kan Dongju punya banyak temen? Bukannya harusnya dia ngajak mereka aja daripada ngajak dia, yang notabene-nya ga jago sosialisasi?

Geonhak terus-terusan memikirkan tentang apa maksud kalimat Dongju tadi, juga pertanyaan di benaknya barusan.

Dirinya pun aneh.

Belum menjadi teman dekat tapi menyetujui ajakan menginap dari pemuda yang ia perhatikan beberapa bulan belakangan.

Belum bisa disebut sebagai teman, memang. Tapi entah kenapa Geonhak berharap lebih dari itu.


Slowly, the smile we used to see, starting to show the real flaw hidden in it.


Cahaya lampu menerangi ruangan, Dongju tengah duduk sambil memeluk tangannya sendiri, kedinginan. Padahal tidak ada ac maupun kipas yang menyala.

Sementara Geonhak sedang sibuk membuatkannya teh hangat di dapur.

Sambil menunggu, dongju memainkan handphone-nya. Beberapa kali terlihat seperti mengetikkan sesuatu. Dadanya sakit, ingin menangis, tapi tak bisa, setidaknya jangan disini. Ia menghela napas, napasnya seperti orang menangis— sesenggukan.

Geonhak memerhatikannya lagi dari dapurnya, sambil mengaduk teh, dongju kenapa? pikirnya.

“Ini, minum aja dulu biar anget dikit,” ujar Geonhak sambil menyodorkan teh padanya.

“M-makasih kak.” Dongju pun perlahan-lahan mengambil cangkir tehnya lalu meminumnya pelan-pelan juga.

Hangat.

Geonhak hanya memandanginya, khawatir. Setelah beberapa bulan memerhatikannya dari kejauhan, baru kali tadi ia melihat orang di depannya dalam keadaan murung. Padahal biasanya cerah dan selalu riang.

Melihat perubahan orang di depannya ini membuat hatinya merasa tidak enak.

“Lu gimana pulangnya nanti?” tanya Geonhak memecah keheningan.

“Oh iya.. Paling nanti aku jalan sendiri aja pulangnya,” jawabnya sambil berpikir.

Geonhak menatapnya kurang yakin, “beneran..?”

Dongju pun terdiam, bayang-bayang kejadian semalam di rumahnya kembali berputar, membuat dirinya menjadi ragu-ragu untuk pulang.

Tak lama, Dongju kemudian mengangguk, masih agak ragu sebenarnya.

Meskipun ia nanti akan pulang, ia masih bertanya-tanya, pulangnya kemana?

Dan mereka hanya saling berdiam-diaman, menunggu hujan di luar apartemen Geonhak untuk mereda.


Dongju melangkahkan kakinya lesu, ia tak ingin pulang.

Ah, harusnya tadi geonhak tak menemuinya ketika dirinya sedang begitu, ia tidak ingin ada yang mengetahui tentang kegelapannya. Ia tak ingin jika kegelapannya nanti akan memengaruhi orang yang mengetahuinya juga.

Makanya ia selalu tersenyum di sekolah, selalu menebar candaan ringan, tertawa bersama 'teman-teman'nya.

Ah iya.. Status 'teman' mungkin hanya untuk formalitas saja.

Ya tapi bagaimana pun juga, memiliki 'teman'lah yang membuatnya masih tetap berjalan di bumi ini. Meskipun ia kurang suka, ia tetap harus melakukannya, supaya tetap hidup.

Dan entah bagaimana ia sangat menyukai kehadiran Geonhak di sampingnya. Ia.. ingin bersama Geonhak saja.

Huh, padahal belum terlalu kenal dekat, tapi sudah berpikiran seperti itu.

“Aneh,” rutuknya pada dirinya sendiri.

“Dongju pulang,” ucapnya pelan. Tidak ingin mencari masalah, ia langsung menuju kamarnya, kemudian langsung mandi.

Tiada hari tanpa rusuhnya pertengkaran dua orang yang disebut 'ayah dan ibu'nya. Dan yang selalu dibela pasti selalu kakak kembarnya— Dongmyeong.

Dongju di rumah hanya sebagai 'pelampiasan', anggapnya.

Semuanya membuatnya lelah. Juga nilainya di sekolah tidak selalu bagus, menyebabkan dirinya selalu dapat amukan dari ibunya, kemudian dibandingkan dengan kakak kembarnya.

Kalau ada yang salah pasti selalu dirinya yang disalahkan. Membuat dirinya yakin bahwa kodratnya hidup di dunia sepenuhnya salah.

Tiada hari juga tanpa pikiran yang cukup suicidal.

Ia sungguh lelah. Ia tak punya siapa-siapa untuk menuangkan semua keluh-kesahnya. Alhasil ia hanya menge-tweet-kan beberapa di akun kosongannya.

Kalaupun ia ingin curhat, ia tak bisa. ujungnya pasti akan selalu tertahan, dipendam semuanya, sendirian. Menyakiti diri sendiri dari dalam. Jadi ia hanya bisa menuangkan sedikit dari pikirannya di twitter.

Kadang kalau ia sudah tidak kuat, ia akan melakukan self harm. Satu-satunya cara ia bisa melampiaskan emosinya selain menangis.

Dongju menaruh hpnya di sampingnya setelah mengetweet sesuatu. Kemudian menghela napas sesenggukan— tapi tidak bisa menangis. Ia menenggelamkan wajahnya di bantalnya.

Ingin menangis, tapi sudah tidak bisa.

Tuhan.. Dongju ingin menyerah.


Geonhak tengah berjalan pelan menyusuri lorong, melihat beberapa anak ada yang berlarian melewatinya, sebelum akhirnya bertabrakan dengan seseorang berambut cokelat dari belakangnya.

Dongju yang menyadari kesalahannya langsung menunduk sambil mengucapkan kata maaf berkali-kali sambil menyatukan kedua tangannya, kemudian berlari meninggalkannya.

Ah, sedang main kejar-kejaran rupanya. Kekanakan sekali, pikirnya.

Ia hanya membiarkan kejadian tadi mengalir saja. Tidak mau membuat kerusuhan juga, lagipun hanya tertabrak sedikit, tidak ada barang yang jatuh, tidak ada yang terluka. Jadi tidak ada gunanya kalau ingin memarahi bocah tadi.

Semoga hanya tadi itu saja ia bertemu dengan manusia sekekanakan seperti itu, harapnya.


Harapannya tadi ternyata tidak terkabul.

Benar saja, ia kembali bertabrakan dengan pemuda tadi lagi. Kali ini di lapangan.

“Liat-liat napa,” decaknya kesal.

“Maaf, maaf,” ada jeda setelahnya, “..kak? Duh aku gatau kamu lebih muda dari aku atau lebih tua, aku juga gatau namamu siapa jadi kupanggil kak saja. Maaf ya kak, maaf banget ga sengaja.”

Geonhak memperhatikannya dari atas sampai bawah. Menatapnya dengan mata sinisnya, seolah tidak memperbolehkan pemuda itu lari lagi sebelum ia membalasnya.

Dari caranya berbicara Geonhak menemukan perilaku tadi agak menggemaskan. Tapi bibirnya tidak membentuk senyuman sekecil apapun.

“Geonhak,” ucapnya sendiri, menyebut namanya. “Kim Geonhak.”

Dongju kemudian menatapnya bingung.

“Nama gue. Jangan pake 'kak' juga, kurang suka,” ucapnya, seperti memerintah.

“O-ooh, aku.. S-Son.. Dongju,” balas Dongju sambil mengulurkan tangannya, yang disambut balik oleh Geonhak.

Dongju tampak ragu menyebut nama keluarganya. Seperti.. enggan?

Entahlah.

“Maaf, kak-”

“Dibilang jangan pake kak.”

“Duh, eum gimana ya, kurang klop aja hehe,” bocahnya cengengesan. “Maaf ya, kak Geonhak~” sambil tersenyum ia melanjutkan ucapannya tadi.

Manis. Senyumnya manis.

“Iya.”

Mendengar balasan Geonhak, Dongju pun langsung kembali ke aktivitas awalnya. Meninggalkan Geonhak dengan gejolak aneh di dadanya.

“Ini gue kenapa..?”


Aneh. Geonhak aneh.

Sejak melihat senyumnya, Geonhak berharap agar bisa bertabrakan lagi dengan bocah itu. Tapi sedari kemarin ia nampak tak menunjukkan batang hidungnya di manapun.

Tidak melihat Dongju barang sehari saja seperti membuatnya gelisah. Aneh.

Sampai hari ini, jam istirahat di sekolahnya, ia melihat Dongju tengah bercanda dengan teman-temannya di kantin. Dongju dengan senyumnya yang manis.

Rasa gelisah di dadanya tergantikan oleh rasa lega ketika kembali melihat pemuda bersurai cokelat tersebut.

Aneh.

Dan itu berlangsung selama sekitar 2 bulanan. Ia selalu memperhatikan Dongju dari jauh, mencarinya diam-diam ketika Dongju tidak masuk sekolah.

Selama itu juga ia menyadari bahwa Dongju selalu mengenakan sweater. 3 kali berganti. Pola yang sama.

Anggaplah Geonhak menakutkan sekarang, ia pun tak tahu kenapa ia selalu memperhatikan Dongju dari jauh.

Dirinya benar-benar menjadi aneh.

Senyumnya mengandung apa sih, kok bisa membuatnya candu ingin melihatnya terus meskipun dari jauh?


Hari itu tengah hujan, tidak terlalu deras, bisa ia terobos untuk pulang.

Tengah berjalan menyusuri trotoar, kemudian netra hitamnya menangkap sosok familiar yang telah diperhatikannya selama beberapa bulan terakhir, tengah duduk sendirian di halte bus.

Senang, akhirnya bisa bertemu dengan pemuda itu. Tapi bingung, kenapa hanya sendirian di sini?

Geonhak pun menghampiri Dongju. Belum sempat menepuk pundaknya, ia menyadari bahwa Dongju tengah menangis.

Rasa sedih pun ikut mengisi hatinya. Kenapa Dongju menangis di sini?

“Oi,” panggilnya, membuat Dongju tersentak di tempatnya.

“Ah, kaget!” Dongju mengusap mata dan pipinya, menghapus air mata yang tak kunjung berhenti mengalir.

Mata Geonhak tertuju ke lengan sweater yang sedikit terangkat, menunjukan beberapa garis kemerahan di pergelangan tangannya. Ada gambar kupu-kupu dari spidol yang mulai pudar juga di bawah beberapa garis tadi.

Melihatnya, hati Geonhak berdenyut sakit.

“Lu— K-Kamu.. Kenapa?” Pertanyaan bodoh.

“Hehehe, gapapa.”

Tentu saja, balasannya pasti akan seperti itu.

“Kamu.. kenapa belom pulang?” Geonhak mengalihkan pertanyaan awalnya.

“Eu.. Anu..” Dongju nampak kebingungan untuk menjawab pertanyaan simpel yang Geonhak lontarkan. Matanya melihat-llihat ke sekitar, pikirannya memutar mencari sebuah alasan yang tepat. i “Be-belum dijemput. Iya, belum dijemput.”

Bohong.

Geonhak tau itu bohong. Gelagatnya sudah menunjukan semuanya.

Tapi dirinya tidak mau berasumsi hal yang lebih aneh, jadi ia coba untuk mengalihkan pkirannya.

“Mau ke apartemen gua— aaakuu aja gak? Udah mulai larut, ga baik sendirian di luar begini, apalagi hujan begini,” ajaknya.

Aneh. Geonhak mengajak seorang yang belum ia kenal dekat untuk pergi ke tempat tinggalnya.

Dongju tak punya pilihan lain, jadi ia hanya mengiyakan ajakan Geonhak.

“Tapi g— akuuuu, ga punya payung, gapapa ya hujan-hujanan?” tanyanya, ada nada khawatir terselip disana.

Benar-benar, sudah aneh dirinya.

Dongju hanya tertawa kecil, suaranya serak bekas menangis, ia menganggukan ucapan Geonhak tadi.

Sesosok pria tengah memerhatikan mereka berdua yang mulai berjalan jauh dari halte— ah, memerhatikan Dongju.

“Untung saja, bebanku berkurang sedikit jadinya,” gumamnya.


bersambung.


Life is funny like, that, when the dusk settles at the end of the day, and we've said all we can, we realize, every part of us, even the loving ones, are a little broken.


Geonhak sangat mencintai pemuda yang kini tengah berceloteh ria di hadapannya, sambil menyendok es krimnya, dengan senyum manis khasnya.

Tidak dapat disangkal, ia sangat mengaguminya, ia sangat menyukainya. Ia kagum dengan bagaimana Dongju bisa menutup semua kegelapannya.

Cara Dongju menutupi kegelapannya berbanding terbalik dengan caranya sendiri.

Awalnya ia pikir ia tidak akan bisa sampai di sini, tapi nyatanya ia masih bisa menggenggam erat tangan orang tersayangnya.

Mereka hanya punya satu sama lain, dan terkadang fakta itu sangat menyakitkan bagi mereka.

Lanjutan dari oneshot 'Hug, spesial valentine' kemarin.


Youngjo berjalan menyusuri trotoar yang sepi pejalan kaki. Pikirannya tengah berkelana untuk memikirkan bagaimana caranya ia bisa meminta maaf pada sahabatnya— Seoho.

Youngjo menghela napas, “Hahh.. Lagipun ini salahmu sendiri, kau terlalu sibuk sampai-sampai kau lupa tentangnya. Youngjo bodoh..”

Kemudian ia melihat sebuah toko bunga yang masih buka di seberang jalan. Sebuah ide muncul di kepalanya. Lalu ia langsung menyebrang jalan dengan terburu-buru.

Apakah dengan cara ini Seoho akan memaafkannya?

Semoga saja.


Seoho tengah membenah kamar di apartemennya. Setelah seharian menunggu tanpa kepastian ia pun ingin memanjakan diri sendiri, tapi sebelum itu harus membuat kamarnya serapih dan senyaman mungkin.

Ia ingin menangis semalaman mengeluarkan emosinya.

Benar-benar melelahkan, menunggu sesuatu yang sebenarnya pasti, tapi tidak begitu pasti.

Ia dijatuhkan oleh ekspektasinya sendiri.

Ia berharap terlalu banyak.

Padahal jelas kalau mereka hanya sekedar teman, tidak bisa menjadi lebih.

Seoho menghela napasnya kasar, menahan rasa sesak di dadanya. Jelas salahnya sendiri menaruh harapan begitu besar pada orang lain.

Ketika hendak menaruh bantalnya, ia mendengar suara bel pintunya berbunyi. Menyahut 'sebentarr' sambil berjalan menuju pintu, kemudian langsung terdiam ketika telah membuka dan mengetahui siapa yang bertamu ke rumahnya selarut ini.

..Youngjo?

Sedang apa dirinya di sini?

Selarut ini??

Pintunya kemudian ia ayunkan untuk menutupnya, namun langsung ditahan oleh yang lebih tua.

Ah, ayolah, ia sedang tidak ingin melihatnya, setelah apa yang terjadi hari ini.

Youngjo pun memaksa masuk, lalu menutup dan mengunci pintu di belakangnya. Mereka berdiri berhadapan di ruangan gelap yang hanya diterangi oleh cahaya bulan dan lampu dari dapur juga dari kamarnya.

“Sedang apa kau disini?” tanya Seoho.

“Bahasamu baku sekali..”

“Suka-suka,” balasnya ketus.

Youngjo hanya terkekeh melihatnya, lucu.

“Kau tau arti mawar merah kan?” kini Youngjo yang bertanya.

Tangannya tiba-tiba menyodorkan sebuah mawar ke Seoho. Sementara Seoho hanya menatapnya bingung.

Apa ini?

Permainan?

Jelas-jelas seharian tadi ia ditinggalkan menunggu sendirian, tanpa adanya kepastian yang jelas.

Dan sekarang, orang yang menghancurkan ekspektasinya, berdiri di depannya, menyodorkan bunga dan bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa?

Seoho hanya mengangguk sebagai jawaban.

Youngjo yang merasa tidak puas dengan jawabannya langsung bertanya, “Ngangguk doang?”

“Ya terus, gue jawab apa?”

“Bilang kek kalo kamu tau, gitu.”

“Iyaudah. Iya gue tau artinya, kenapa?”

Youngjo tiba-tiba mengambil sebelah tangan Seoho yang tengah memeluk bantalnya.

“Ya buat kamu.”

Tidak mau berharap lebih, ia kemudian bertanya, “Bohong ya?”

Mendapat reaksi seperti itu membuat Youngjo memegang dadanya sambil membulatkan matanya lucu. “Kok bisa mikir gitu??”

“Ya, lo pikir aja sendiri. Gue nungguin seharian penuh, lo kaga ada kabar, bilangnya bisa ketemuan di tempat itu, tapi lo ga dateng-dateng, lo lupa kan? Trus sekarang tiba-tiba berdiri di depan gue, nyodorin bunga mawar ke gue. Ya menurut lo gimana?” jelas Seoho.

”...Maaf. Tujuanku kesini mau minta maaf, sekalian konfes juga.. Dan ternyata emang bener dugaanku, kamu gabakal bisa maafin tingkahku hari ini. Trus sekarang ini ditolak kan?”

”...Gue gak marah sama lo, gue cuma ngerasa.. apaya, kecewa? Enggak ditolak.. Tapi kasih rentang waktu dulu, bisa? Gue pengen nenangin diri..”

Mata Seoho berkaca-kaca, ia ingin menangis. Terlalu banyak emosi.

Kemudian Youngjo melangkah mendekati Seoho, lalu mendekapnya di pelukannya.

“Iya, aku tau aku salah, maaf.”

Dan berakhir dengan Seoho yang menangis di dekapan yang lebih tua semalaman.


:D


They are currently hanging out in the company's cafe, all 6 members. Talking about the last MWM episode and some other stuff too.

But Seoho isn't paying that much attention, he just laughs and nods at what the others talking. What is he doing? Playing on Geonhak's phone, of course.

It's like a habit to play on Geonhak's phone and then change the wallpaper to his meme face photos without the owner noticing—but end up noticing it anyway. But Geonhak always let it slide. He knows that Seoho is always like that and he always takes it as a joke.

And today he's going to change it again.

He went to twitter to download some Geonhak meme face to put as wallpaper, again.

And after he's done setting it, he puts it in front of the owner while chuckling.

“Why are you laughing?” Geonhak asked.

“Nothing~”

“You changed my wallpaper again?” Geonhak guessed.

“What else, hehehe”

While Seoho is giggling, Geonhak just slurped his lemon tea looking at Seoho with his death stare.

“Yeah let's see about tomorrow~”

Sounded like a threat somehow, but Seoho just laughed it off.


Another day, another wallpaper~

Seoho woke up first while other members are still sleeping. He took this as a chance to change his bf's wallpaper before he woke up. So he ran into Geonhak's room, trying to be as quiet as possible, he doesn't want to wake him up by accident.

Once he's arrived at Geonhak's door, he opened it slowly, then he tip-toed to the table where Geonhak always charge his phone.

As if he's a professional hacker, he opened Geonhak's phone with ease. He widened his cute slanted eyes in a small shock.

The wallpaper has changed again, to something he didn't expect at all— a photo selfie of their first date.

Geonhak's face was still very cute back then, and his face was also very puffy, and Geonhak said that's cute too.

Seeing the photo makes him change his mind. He doesn't have the heart to change the wallpaper— it's too cute, he almost cried in awe.

“Seoho-ya?”

The deep voice startled him, made him almost dropped the phone he's holding.

“Aish, don't surprise me like that!”

“I.. didn't surprise you though.. You're too focused on your thought, that's why,” explained the younger, still in his sleepy voice. “What are you doing?” he then asked.

“Nothing,” Seoho quickly answered.

“Hm?”

“Seriously, I didn't do anything..” he stated.

“Hmm okay.. Give me my phone,” the younger demanded.

“Why-”

“You said you didn't do anything to it? I want to see.”

Seoho just sighed, he then gave the phone to the younger, pouting. While handing his phone, Geonhak just laughed at the older's cuteness.

“See? I didn't do anything”

“Alright, alright~”

Geonhak pulled Seoho onto his bed, and then cuddled him. The sudden action made the older hold his breath.

After adjusting in the younger's arms, he asked, “Why didn't you believe me?” still with a pout on his face.

Geonhak just giggled, “I believe you~ I just want to cuddle you so I did that, sorry.”

“Noo, why are you saying sorry?”

“Because I made you sad”

“No,,”

“Yes?”

“No”

“Alrighty then”

Geonhak then hugged Seoho tighter, while the older just laughed.

“I love you,” Seoho whispered, assuming it's inaudible.

“I love you too”

Well, it's not inaudible then.