I. Recontre
Geonhak tengah berjalan pelan menyusuri lorong, melihat beberapa anak ada yang berlarian melewatinya, sebelum akhirnya bertabrakan dengan seseorang berambut cokelat dari belakangnya.
Dongju yang menyadari kesalahannya langsung menunduk sambil mengucapkan kata maaf berkali-kali sambil menyatukan kedua tangannya, kemudian berlari meninggalkannya.
Ah, sedang main kejar-kejaran rupanya. Kekanakan sekali, pikirnya.
Ia hanya membiarkan kejadian tadi mengalir saja. Tidak mau membuat kerusuhan juga, lagipun hanya tertabrak sedikit, tidak ada barang yang jatuh, tidak ada yang terluka. Jadi tidak ada gunanya kalau ingin memarahi bocah tadi.
Semoga hanya tadi itu saja ia bertemu dengan manusia sekekanakan seperti itu, harapnya.
Harapannya tadi ternyata tidak terkabul.
Benar saja, ia kembali bertabrakan dengan pemuda tadi lagi. Kali ini di lapangan.
“Liat-liat napa,” decaknya kesal.
“Maaf, maaf,” ada jeda setelahnya, “..kak? Duh aku gatau kamu lebih muda dari aku atau lebih tua, aku juga gatau namamu siapa jadi kupanggil kak saja. Maaf ya kak, maaf banget ga sengaja.”
Geonhak memperhatikannya dari atas sampai bawah. Menatapnya dengan mata sinisnya, seolah tidak memperbolehkan pemuda itu lari lagi sebelum ia membalasnya.
Dari caranya berbicara Geonhak menemukan perilaku tadi agak menggemaskan. Tapi bibirnya tidak membentuk senyuman sekecil apapun.
“Geonhak,” ucapnya sendiri, menyebut namanya. “Kim Geonhak.”
Dongju kemudian menatapnya bingung.
“Nama gue. Jangan pake 'kak' juga, kurang suka,” ucapnya, seperti memerintah.
“O-ooh, aku.. S-Son.. Dongju,” balas Dongju sambil mengulurkan tangannya, yang disambut balik oleh Geonhak.
Dongju tampak ragu menyebut nama keluarganya. Seperti.. enggan?
Entahlah.
“Maaf, kak-”
“Dibilang jangan pake kak.”
“Duh, eum gimana ya, kurang klop aja hehe,” bocahnya cengengesan. “Maaf ya, kak Geonhak~” sambil tersenyum ia melanjutkan ucapannya tadi.
Manis. Senyumnya manis.
“Iya.”
Mendengar balasan Geonhak, Dongju pun langsung kembali ke aktivitas awalnya. Meninggalkan Geonhak dengan gejolak aneh di dadanya.
“Ini gue kenapa..?”
Aneh. Geonhak aneh.
Sejak melihat senyumnya, Geonhak berharap agar bisa bertabrakan lagi dengan bocah itu. Tapi sedari kemarin ia nampak tak menunjukkan batang hidungnya di manapun.
Tidak melihat Dongju barang sehari saja seperti membuatnya gelisah. Aneh.
Sampai hari ini, jam istirahat di sekolahnya, ia melihat Dongju tengah bercanda dengan teman-temannya di kantin. Dongju dengan senyumnya yang manis.
Rasa gelisah di dadanya tergantikan oleh rasa lega ketika kembali melihat pemuda bersurai cokelat tersebut.
Aneh.
Dan itu berlangsung selama sekitar 2 bulanan. Ia selalu memperhatikan Dongju dari jauh, mencarinya diam-diam ketika Dongju tidak masuk sekolah.
Selama itu juga ia menyadari bahwa Dongju selalu mengenakan sweater. 3 kali berganti. Pola yang sama.
Anggaplah Geonhak menakutkan sekarang, ia pun tak tahu kenapa ia selalu memperhatikan Dongju dari jauh.
Dirinya benar-benar menjadi aneh.
Senyumnya mengandung apa sih, kok bisa membuatnya candu ingin melihatnya terus meskipun dari jauh?
Hari itu tengah hujan, tidak terlalu deras, bisa ia terobos untuk pulang.
Tengah berjalan menyusuri trotoar, kemudian netra hitamnya menangkap sosok familiar yang telah diperhatikannya selama beberapa bulan terakhir, tengah duduk sendirian di halte bus.
Senang, akhirnya bisa bertemu dengan pemuda itu. Tapi bingung, kenapa hanya sendirian di sini?
Geonhak pun menghampiri Dongju. Belum sempat menepuk pundaknya, ia menyadari bahwa Dongju tengah menangis.
Rasa sedih pun ikut mengisi hatinya. Kenapa Dongju menangis di sini?
“Oi,” panggilnya, membuat Dongju tersentak di tempatnya.
“Ah, kaget!” Dongju mengusap mata dan pipinya, menghapus air mata yang tak kunjung berhenti mengalir.
Mata Geonhak tertuju ke lengan sweater yang sedikit terangkat, menunjukan beberapa garis kemerahan di pergelangan tangannya. Ada gambar kupu-kupu dari spidol yang mulai pudar juga di bawah beberapa garis tadi.
Melihatnya, hati Geonhak berdenyut sakit.
“Lu— K-Kamu.. Kenapa?” Pertanyaan bodoh.
“Hehehe, gapapa.”
Tentu saja, balasannya pasti akan seperti itu.
“Kamu.. kenapa belom pulang?” Geonhak mengalihkan pertanyaan awalnya.
“Eu.. Anu..” Dongju nampak kebingungan untuk menjawab pertanyaan simpel yang Geonhak lontarkan. Matanya melihat-llihat ke sekitar, pikirannya memutar mencari sebuah alasan yang tepat. i “Be-belum dijemput. Iya, belum dijemput.”
Bohong.
Geonhak tau itu bohong. Gelagatnya sudah menunjukan semuanya.
Tapi dirinya tidak mau berasumsi hal yang lebih aneh, jadi ia coba untuk mengalihkan pkirannya.
“Mau ke apartemen gua— aaakuu aja gak? Udah mulai larut, ga baik sendirian di luar begini, apalagi hujan begini,” ajaknya.
Aneh. Geonhak mengajak seorang yang belum ia kenal dekat untuk pergi ke tempat tinggalnya.
Dongju tak punya pilihan lain, jadi ia hanya mengiyakan ajakan Geonhak.
“Tapi g— akuuuu, ga punya payung, gapapa ya hujan-hujanan?” tanyanya, ada nada khawatir terselip disana.
Benar-benar, sudah aneh dirinya.
Dongju hanya tertawa kecil, suaranya serak bekas menangis, ia menganggukan ucapan Geonhak tadi.
Sesosok pria tengah memerhatikan mereka berdua yang mulai berjalan jauh dari halte— ah, memerhatikan Dongju.
“Untung saja, bebanku berkurang sedikit jadinya,” gumamnya.
bersambung.