Réveillon de Nouvel an
Jam 23.45 tepat sebelum tahun silih berganti.
Di bawah kurungan hawa dingin musim salju, Dongju hanya bisa memainkan asap yang keluar karena nafas panasnya. Sesekali menggumam “woah dingin, dingin.” Tangannya yang berbalutkan sarung tangan digesekkannya secara konstan guna mendapatkan rasa hangat pada keduanya.
Hmm, bisa dibilang ia cukup bodoh untuk menggunakan baju crop top miliknya di musim dingin seperti ini. Toh ia pun menggunakan jaket juga. Dingin yang menusuknya tidak sesakit yang ia biasanya rasakan.
Duduk di bangku taman sendirian, melihat beberapa anak kecil yang mencoba memungut salju kemudian dilempar ke satu sama lain, air di air mancur yang mengalir pelan karena hampir beku, ditemani cahaya-cahaya lampu pinggir jalan berwarna-warni pasca merayakan natal. Suasana yang sangat hidup bagi dirinya yang berbanding terbalik.
Tahun baru ini, dirayakan tanpa kekasihnya. Mantan kekasihnya, lebih cocoknya begitu sepertinya. Kan mereka sudah tidak berhubungan lagi.
... Bagaimana pun juga, ia masih mencintainya.
Tak ada yang memberinya pelukan super hangat lagi, tak ada yang menjajakannya berbagai macam camilan, tak ada yang memanjakannya seperti anak kecil lagi. Semua itu hanya tersisa kenangan.
Matanya yang redup menatap ke depan, hingga tiba-tiba ia melihat wajah dengan senyum yang familiar. Sorot lampu sekitar seolah terfokus pada wajah itu, memperjelas senyuman yang terpampang lebar di parasnya.
Senyum yang biasanya menghangatkan hatinya. Senyum yang dulu mampu membuatnya sembuh. Senyum yang dulunya hanya terpasang untuknya, kini merekah lebih indah lagi di hadapan orang lain.
Andai saja ia adalah orang itu. Andai saja mereka tidak putus. Andai saja keegoisannya kala itu tidak mengambil alih.
Rasanya sakit melihat wajah itu tersenyum ceria untuk orang lain selain dirinya.
Dulu hanya ialah yang mampu membuat senyum itu merekah di wajah sang empunya. Dulu. Hanya dia.
Sekarang orang lain pun sudah bisa, ya. Lebih bahagia malah sepertinya.
Sakit. Melihatnya sakit.
Tanpa sadar air mata pun menetes dari tempatnya. Meninggalkan jalur basah di pipinya yang dingin.
“Maaf, kak..” gumamnya pelan. Matanya masih menatap ke orang tadi.
“Aku masih sayang kakak...” isak tangis tiba-tiba keluar. Dongju sesegera mungkin menaikkan syalnya agar menutupi wajahnya. Matanya masih setia menatap sosok yang pernah menjadi penyemangat hidupnya.
Bayang-bayang seorang Kim Geonhak seringkali menunjukkan dirinya ketika ia tengah beraktifitas, maupun ingin tidur. Bahkan tak jarang juga mantannya itu masuk ke mimpinya.
“Aku kangen..”
Sangat.
Ia tidak bisa melupakan bagaimana senyumnya ketika ia berhasil memenangkan gim yang mereka mainkan. Ia tidak bisa melupakan bagaimana semangatnya seruan di dapur ketika resep baru yang dicobanya berhasil dan enak. Ia tidak bisa melupakan tawa yang menyusul setelah memberinya kecupan selamat tidur lewat video call sampai tengah malam. Ia tidak bisa melupakan bagaimana senyum itu mampu membuatnya sembuh. Ia tidak bisa melupakan bagaimana hangatnya pelukan tubuh itu.
“Kak..”
Kejadian malam itu terulang lagi di kepalanya.
Ia dan Geonhak bertengkar hanya karena masalah kecil yang ia besar-besarkan kala itu. Hanya karena ia melihat Geonhak mengantarkan teman perempuannya pulang.
“Kamu manusia pengkhianat!” Kalimat itu keluar dari mulut Dongju tanpa alasan jelas. Tentunya membuat lawan bicaranya terdiam karena sakit hati difitnah seperti itu.
“Aku capek sama kamu. Lemah. Terlalu melankolis untuk badan segede gitu. Orang aneh.”
Kata-kata jahat terus meluncur keluar dari mulutnya. Padahal Geonhak tidak bersalah sama sekali. Ia yang membesarkan masalah ini karena awalnya ia pikir ingin menambah sedikit bumbu pahit di kisah mereka.
Terlalu pahit kalau begini hasilnya, sih.
“Aku gak butuh kamu.”
Kalimat yang sangat berkontradiksi dengan situasi yang ia alami sekarang. Sebuah kebohongan besar, tentunya. Ia masih butuh Geonhak disini, sebagai penenangnya, sebagai penghangatnya, sebagai penyembuhnya. Sebagai kekasihnya.
Dan setelah mengucap kalimat itu mereka pun putus. Diakhiri dengan Geonhak yang mengatakan “Kamu lebih pantas dapetin yang lebih baik dari aku, maafin kakak ya, Ju.” Setelah itu Geonhak melangkah pergi dari apartemen miliknya.
Yang biasanya apartemennya terasa hidup, kini hanya berisikan hawa suram.
“Itu.. Semua kalimat itu bohong..” gumam Dongju lagi, masih menatap sosok itu.
Kalimat yang terlontarkan kala itu hanya karena perasaan insecure yang ia rasakan ketika ia bersama Geonhak. Geonhak mampu memberinya semangat dan berbagai macam hal lain. Dirinya? Tak lebih dari sekedar beban di hidupnya. Begitulah ia dulu menganggapnya. Dan sekarang mungkin memang benar.
“Kak.. Please, I need you.. Maaf aku bohong..” ucapnya disela tangisnya.
Bohong, malam itu ia banyak sekali melontarkan kebohongan terhadap kekasihnya yang ia sayangi itu. Semuanya palsu. Semuanya bukan fakta. Geonhak telah memberikannya banyak hal. Hanya ia yang merasa bingung karena ia tidak bisa memberikan itu semua kembali dengan sama besarnya.
Sayangnya semuanya sudah telat. Geonhak yang dulu miliknya sekarang sudah bahagia bersama yang lain.
“Maaf aku gak bisa bikin kakak sebahagia itu..”
Tangannya yang satu meremas di depan dadanya. Sakit.
Rasanya cemburu itu begini ya?
Sakit sekali.
Kata maaf berkali-kali ia gumamkan bagaikan mantra agar Geonhak-nya kembali ke pelukannya lagi. Berharap Geonhak mendengar semua dan sedalam apa ia meminta maaf.
Matanya tertutup kencang, meneteskan lebih banyak air mata di cuaca dingin ini. Tubuhnya meringkuk, tangannya menggenggam tangan yang meremas baju di bagian dadanya.
“Sakit..”
Hawa dingin ini tidak memberikannya keringanan sama sekali. Rasanya seperti hukuman.
Mungkin ia pantas mendapatkan hukuman ini? Ia telah menyianyiakan orang yang mencintainya sepenuh hati hanya karena keegoisannya yang meledak dan meluap. Ia telah menyakiti dan memfitnah orang yang tulus menyayanginya. Mungkin ia memang tidak bisa dimaafkan.
Hukuman ini sepadan.
Tubuh kurusnya pun terjatuh dari bangku karena tak kuasa menahan rasa dingin yang menusuknya. Kontak langsung dengan salju yang ia tindih membuatnya merintih dan menggigil. “Ah.. Dingin.. Ingin dipeluk..”
Tiba-tiba ia merasakan rasa hangat yang familiar kembali merengkuhnya selama sesaat.
“Dongju tahan!!” ucap suara berat itu. Suara yang selalu ia senangi ketika mendengarnya. Kemudian terdengar lagi suara itu memerintahkan kekasihnya untuk segera memanggil ambulans. Ada nada panik dan khawatir dalam intonasi bicaranya. Dongju kurang suka membuatnya khawatir.
Ia tahu ini siapa. Namun ia tidak sanggup untuk menangisinya lagi. Tubuhnya kesakitan, dadanya juga. Matanya yang memejam pun akhirnya memutuskan untuk menetap seperti itu.
“Sayang.. kakak..” ucap Dongju pelan disela isakan nafasnya yang mulai terputus, mungkin tidak terdengar. Nafasnya perlahan benar-benar menghilang terbawa udara dingin malam tahun baru itu.
Setidaknya ia mampu merasakan rasa hangat itu lagi, meskipun hanya untuk sesaat. Meskipun ia tahu ucapan terakhirnya mungkin tidak akan pernah dibalas lagi. Setidaknya juga, ia tidak akan melukai siapapun lagi. Setidaknya ia tidak akan membuat mantan kekasihnya itu khawatir lagi.
Setidaknya ia mampu merasakan rangkulan hangat itu lagi untuk yang terakhir kalinya.
Jam 00.01
Selamat tahun baru, Kak Geonhak. Aku pamit ya. Makasih and love-d you!<3
Dongju terbangun dari tidurnya dengan nafas terengah-engah dan mata yang sembab. Memegangi dadanya karena kehabisan nafas, ia memicingkan mata mengarah ke jam dindingnya; jam 00.02.
Dapat terdengar sorakan orang-orang dan ledakan kembang api di luar jendela apartemennya.
”.. malam tahun baru ya..”
Berarti.. Semuanya tadi, benar hanya mimpi?
Kenapa terasa nyata?
Dongju kemudian terdiam sebentar, kemudian bergumam, “maaf ya kak.. aku masih sayang kakak, kangen..” Air mata yang sempat berhenti pun kini kembali mengalir disertai isakannya yang menyayat hati.
Memeluk guling di sampingnya demi meredakan emosinya juga, ia pun perlahan memutuskan untuk kembali ke alam bawah sadar.