III. Des Larmes
BRAK
Mata Dongju kembali terbuka paksa, menatap ke arah pintu yang baru saja didobrak. Kemudian menatap ke arah jam dinding di kamarnya; jam 11 malam.
Harus banget jam segini?
“Kamu kemana aja!?” sosok wanita yang berdiri di hadapannya meneriakinya.
Dongju bangkit duduk di kasurnya, posisinya hanya diam, tidak berani menjawab. Dan juga dengan dirinya diam saja seperti ini juga tidak menghasilkan hasil yang berbeda. Karena bagaimanapun juga ia menjawab, pasti hanya akan mendapat satu perlakuan—
PLAK
—dipukul.
Pipinya merasakan rasa panas yang menyengat, nyeri. Bisa ia rasakan ada sebuah luka goresan hasil dari gesekan cincin wanita tersebut.
Matanya bergetar, terlihat berkaca-kaca tipis, dadanya sesak.
”..Salah?” ucapnya, hampir tidak terdengar.
“Ngomong apa barusan!?” wanita tersebut masih menanyainya dengan nada tinggi.
“Salah, aku gamau tinggal di sini? Salah, aku maunya kabur aja?” tanya Dongju lebih keras, yang lagi-lagi hanya mendapatkan pukulan dari rentetan pertanyaannya.
Wanita itu tertawa kecil, “Memangnya mau kabur kemana? Ada yang sudi merawatmu? Melihatmu saja pasti mereka akan langsung muntah.”
Dongju hanya diam. Jantungnya berdegup kencang, hatinya berdenyut sakit, otaknya berkabut— tidak dapat berpikir jernih.
Wanita itu kemudian berjalan mendekati Dongju, kemudian menarik kerah bajunya, “Lagipun hanya kau yang bisa kami gunakan untuk donor darah ke kembaranmu itu. Hanya golongan darahmu yang cocok persis untuknya. Jadi, jangan coba-coba kabur,” ucapnya lembut namun mengintimidasi.
Begini ya, rasanya digunakan? Dirinya merasa seperti bukan manusia, lebih seperti benda mati.
Setelah wanita itu keluar dan menutup pintu dengan keras, Dongju tidak kembali tidur, ia ingin melampiaskan amarahnya. Mengakibatkan tangan, meja dan cutter yang dipegangnya penuh bercak darah.
Ia sudah memutuskannya.
Besok, ia akan kabur, dan tidak pernah kembali lagi ke dunia.
Ya, Dongju menjadi satu-satunya pendonor bagi kembarannya, Dongmyeong. Kembarannya itu mengidap sebuah penyakit yang membutuhkan transfusi darah terus-menerus. Dari sekian banyak relasi yang ada, hanya Dongju yang memiliki golongan darah yang cocok untuknya. Karena itu ia menjadi 'kantong darah berjalan' milik Dongmyeong.
Dongmyeong di diagnosa mengidap ini sejak umur 15 tahun. Ayahnya pun juga menikah lagi sebelumnya, tidak disangka bahwa ibu tiri yang awalnya baik menjadi sebejat ini. Dan sejak umur itulah, kehidupan Dongju mulai berubah drastis.
Dongmyeong sekarang seakan di 'anak emas'kan oleh orang tua mereka, dan cara mereka memperlakukan Dongju tidak ada bedanya dari memperlakukan sebuah tempat sampah.
Sejak saat itu, mereka hanya memandang Dongju sebagai 'kantong darah berjalan' milik Dongmyeong, tidak lebih.
Dongju selalu memerangi mereka dengan mencari validasi menggunakan caranya sendiri; tetap mendapatkan nilai bagus, mengejar prestasi, dan semacamnya.
Tapi semuanya tetap tidak nampak di mata mereka. Tidak ada yang berubah, mereka hanya semakin kasar dalam memperlakukannya. Membuat Dongju tertekan dengan semua yang ada, semua paksaan dari mereka.
Mereka tidak memperhatikan keadaan Dongju, kalau sudah waktunya transfusi, harus saat itu juga transfusi, tidak peduli Dongju sedang kelelahan atau tidak. Kadang karena saking lelahnya, ia pernah sampai pingsan seharian.
Dongmyeong? Dongmyeong sebenarnya juga tidak suka saudara kembarnya diperlakukan seperti itu. Bagaimanapun mereka adalah keluarga. Tapi sepertinya orang tua mereka sudah tidak peduli dengan kembarnya.
Yang mereka pedulikan hanyalah dirinya dan pekerjaan mereka saja.
Bukankah enak masih mendapatkan kasih sayang orang tua?
Tapi dengan keadaan saudaranya sendiri yang seperti itu? Tidak.
Ia ingin meminta maaf pada Dongju, tapi setiap kali ia mencoba mendekat, Dongju pasti akan selalu buang muka dan menjauh. Dongmyeong merasa bahwa Dongju benar-benar membencinya.
Dongmyeong sering mengintip melihat Dongju yang diperlakukan kasar oleh ibu mereka, hatinya ikut berdenyut sakit.
Semuanya karena dirinya mengidap penyakit sialan ini.
“Ah, apa kabur biasa aja kali ya, gausah kabur begitu..” Dongju bermonolog pelan sambil menutup lokernya.
”..Tapi..”
..Ia akan tinggal dengan siapa..?
pikirannya terus berjalan begitu pula kakinya, hingga tiba-tiba menabrak seseorang bertubuh lebih besar darinya.
“Ah! M-Maaf!” refleks Dongju. Matanya langsung membulat ketika menyadari itu adalah Geonhak.
“Gapapa. Mau ngobrol? Kali aja butuh temen mikir,” ajak Geonhak tiba-tiba, yang tentu saja mendapatkan tatapan bingung dari Dongju.
“Ya, lo daritadi jalan sambil mikir, nih barusan nabrak kan? Duduk aja dulu,” jelasnya singkat. Kemudian Dongju mengiyakan.
. . .
“Aku pengen nginep di rumah kakak boleh ga? Nanti pas udah pulang,” tanyanya langsung.
Geonhak yang sedang minum langsung tersedak. Ini dia tidak salah dengar, kan?
“K-Kok tiba-tiba banget??” tanya Geonhak balik disela batuknya.
“Gapapa, pengen nyari suasana baru aja,” Dongju beralasan, yang justru malah terdengar masuk akal.
“Lo.. pengen banget?”
“Aku gapunya pilihan lain sih...” jawab Dongju, terdengar agak murung.
“Ma-”
“Tapi gapapa kalo kakak gamau, aku bisa cari tempat lain kok,” sambung Dongju cepat.
Maksudnya??
“Iyaudah gapapa, boleh aja.” Geonhak akhirnya mengiyakan permintaan Dongju.
Toh juga dirinya perlu belajar bersosialisasi lagi setelah sekian lama.
Tapi kan Dongju punya banyak temen? Bukannya harusnya dia ngajak mereka aja daripada ngajak dia, yang notabene-nya ga jago sosialisasi?
Geonhak terus-terusan memikirkan tentang apa maksud kalimat Dongju tadi, juga pertanyaan di benaknya barusan.
Dirinya pun aneh.
Belum menjadi teman dekat tapi menyetujui ajakan menginap dari pemuda yang ia perhatikan beberapa bulan belakangan.
Belum bisa disebut sebagai teman, memang. Tapi entah kenapa Geonhak berharap lebih dari itu.