Mimpi dan kenyataan.
Di bawah terik matahari, mengayun-ayun pelan ayunan yang ia duduki, berada di taman kota bersama 'teman' kesayangannya.
Memeriksa handphone-nya, jam menunjukkan pukul 12.28; tanggal 15 agustus. Ia kemudian menoleh ke Joochan yang menduduki ayunan di sebelahnya, berceloteh macam hal sambil mengelus-elus kucing miliknya.
Ketika mereka berdua tengah berjalan berdampingan, kucing yang digendong Joochan tiba-tiba kabur dan berlari ke seberang jalan. Berniat mengejarnya, tiba-tiba hal yang tak diduga terjadi.
Sebuah truk besar tampak tak menghentikan lajunya, hanya membunyikan klakson berulang kali— mengisyaratkan agar Joochan segera menyingkir dari jalurnya. Tapi kakinya seperti terasa membeku di tempat; ia tidak bisa bergerak saking takut dan syoknya. Dan hantaman maut itu pun tidak terelakkan.
Darah berceceran di mana-mana. Baunya yang menyengat mulai menyeruak ke udara. Tubuh kecil Joochan tergeletak tanpa tenaga. Donghyun melihat pemandangan di depannya dalam tatapan horor dan syok. Menutup mulutnya, matanya mengeluarkan air mata.
Di seberang jalan, sebuah bayangan dengan aura panas yang nampak seperti dirinya persis, menatapnya dengan senyuman sinister; mulutnya berucap beberapa hal, mengingatkan bahwa ini bukanlah sebuah candaan.
Suara-suara jangkrik aneh mulai mengambil alih suasana. Berisik sekali. Sangat berisik hingga perhatiannya bisa teralihkan.
Bayangannya mengambil kesempatan ini untuk pergi meninggalkan Donghyun yang masih gemetaran di trotoar.
Syuuk
Suara decit benda cair yang digoreskan paksa ke sebuah benda padat. Berwarna merah..? Darah? Ke... sebuah jam di antara sedinding penuh jam analog..? Yang semuanya.. mengarah ke waktu tertentu—
*Waktu ketika kebahagiaannya Donghyun direnggut.*
Donghyun terbangun tatkala mendengar ketukan denting jarum jam di kamarnya.
'Sekarang jam berapa..?' batinnya, menoleh ke arah jam yang tergantung di pojok ruangan.
Jarum jam menunjuk pukul 00 lewat beberapa menit. Tanggal 14 Agustus.
Ah.. Rasanya..
Ia menoleh ke jendela— yang entah sejak kapan terbuka tirainya— di samping ranjangnya.
Ia ingat suara-suara jangkrik yang menyebalkan itu.
Duduk di ayunan bersama Joochan di sebelahnya; berceloteh berbagai macam hal sambil memangku kucingnya. Di taman yang sama, di waktu yang sama, terik matahari yang terasa sama panasnya, obrolan yang sama persis pula.
Ia masih ingat 'mimpi'nya kemarin malam.
Joochan menyadari perubahan ekspresi Donghyun yang menjadi lebih masam dari biasanya. Ia pun memilih untuk mengacuhkan hal itu.
Berjalan kembali keluar dari taman, kemudian hal yang sama terjadi; kucing Joochan kabur— lagi?
Bayang-bayang Joochan yang tergeletak tak berdaya dengan bersimbah darah di tengah jalan kembali terputar di kepalanya.
Donghyun langsung menahan tangan Joochan ketika si yang lebih muda berusaha mengejar kucingnya. Membuat yang ditahan menatapnya kebingungan.
Donghyun membuka mulutnya, “k-kita mending langsung pulang aja.” Dan tanpa basa-basi Joochan langsung mengiyakannya—meskipun dirinya bingung bukan kepalang.
Melewati daerah konstruksi yang jelas berbahaya, dengan alasan lewat sini akan lebih cepat sampai ke rumah. Joochan hanya mengikuti Donghyun yang memimpin jalan tanpa ada sepatah kata keluar dari mulut keduanya. Tangan Donghyun menggandeng tangan Joochan, seperti berusaha melindunginya.
Orang-orang di sekitar terlihat mendongak ke atas, menunjuk-nunjuk ke sesuatu di atas sana dengan mulut ternganga. Donghyun pun menoleh untuk melihat ke Joochan, tangannya melepas pegangannya ke Joochan, tatapannya membulat saat ia melihat yang terjadi di depannya.
Sebuah pipa besi menancap tembus laki-laki di depannya. Darah muncrat ke sekitarnya. Orang-orang yang menyaksikan langsung berteriak dalam kengerian. Suara kelontangan pipa besi kemudian mengambil alih.
Aura panas itu kembali mencibirnya, mengingatkannya bahwa ini bukanlah sebuah mimpi.
Donghyun melirik ke Joochan yang tersungkur penuh darah disertai pipa yang menusuknya. Joochan.. tersenyum?
Matanya terbuka paksa. Dirinya langsung terduduk, memegangi dahinya sendiri, matanya melotot dengan rasa syok yang masih menyertainya.
Ia kembali bangun di tengah malam.
Mimpi?
Bagaimana bisa terasa nyata?
Hari yang sama, hanya saja ia langsung mengajak yang lebih muda untuk kembali pulang begitu ia sampai di taman.
Senyum yang ada di wajah Joochan langsung tergantikan dengan ekspresi bingung saat Donghyun menariknya paksa pergi dari taman itu.
Melewati tempat yang berbeda, ia yakin tidak akan terjadi apa-apa disini. Menaiki tangga sambil memegangi tangan Joochan.
Sambil meneriaki Joochan yang sedaritadi meminta penjelasan, matanya membelalak ketika menangkap sosok yang familiar di ujung ekor matanya, tengah menyandar ke pagar pembatas.
Tanpa sadar, pegangannya ke Joochan terlepas, membuat yang lebih muda malah jatuh tergelinding dari ketinggian lebih dari dua meter itu.
Lagi, bersimbah darah di bawah tangga.
Donghyun kembali terbangun dengan tangan memegangi dahi yang basah karena keringatnya. Air matanya bercucuran karena gelisah dan takut.
Semua mimpinya sama tapi beda. Sama; Joochan selalu berakhir mati, beda; di setiap mimpinya berbeda pula caranya.
Ia seperti terjebak di sebuah lingkaran waktu. Kejadian tersebut telah berulang kali selama... bertahun-tahun mungkin? Ah, terlalu banyak, ia sendiri bingung apakah ini masih bermimpi atau tidak. Ia tidak bisa membedakan lagi mana yang nyata mana yang mimpi; semuanya sama saja.
Mimpinya terlihat seperti hanya memiliki satu akhiran, tapi semuanya tetap terulang.
Ia harus menghentikan ini. Tapi.. caranya?
Hari yang sama? Beda? Entahlah. Ia membiarkannya berjalan seperti awalnya— mengobrol di ayunan, berjalan keluar dari taman, kucingnya kabur.
Tapi kali ini ia mendorong Joochan ke pinggir jalan, digantikan dengan dirinya yang berdiri di tengah jalur truk yang tengah melintas tanpa kendali. Ia sempat menoleh ke Joochan sambil tersenyum manis.
Darah pun muncrat sesaat Donghyun tertabrak oleh truk yang sama. Bisa dilihat Joochan hanya berdiri kaku di pinggir trotoar sambil menatapnya.
Donghyun menoleh ke arah aura panasnya sambil berucap, “rasakan itu!” sambil tertawa kecil, merasa puas, berpikiran bahwa mimpinya ini akan mencapai akhirnya.
Kembali menoleh ke arah Joochan, ia melihat sosok yang familiar berdiri dengan amarah besar di samping Joochan.
.
.
.
14 Agustus, seorang bocah laki-laki terbangun di kasurnya. “Aku gagal lagi kali ini..” ucapnya pelan sembari mengelus kucing di pangkuannya. Air matanya menetes.
Sementara aura miliknya hanya tersenyum, kemudian memerangkapnya lagi di mimpinya.