II. Le Sourire


Slowly, the smile we used to see, starting to show the real flaw hidden in it.


Cahaya lampu menerangi ruangan, Dongju tengah duduk sambil memeluk tangannya sendiri, kedinginan. Padahal tidak ada ac maupun kipas yang menyala.

Sementara Geonhak sedang sibuk membuatkannya teh hangat di dapur.

Sambil menunggu, dongju memainkan handphone-nya. Beberapa kali terlihat seperti mengetikkan sesuatu. Dadanya sakit, ingin menangis, tapi tak bisa, setidaknya jangan disini. Ia menghela napas, napasnya seperti orang menangis— sesenggukan.

Geonhak memerhatikannya lagi dari dapurnya, sambil mengaduk teh, dongju kenapa? pikirnya.

“Ini, minum aja dulu biar anget dikit,” ujar Geonhak sambil menyodorkan teh padanya.

“M-makasih kak.” Dongju pun perlahan-lahan mengambil cangkir tehnya lalu meminumnya pelan-pelan juga.

Hangat.

Geonhak hanya memandanginya, khawatir. Setelah beberapa bulan memerhatikannya dari kejauhan, baru kali tadi ia melihat orang di depannya dalam keadaan murung. Padahal biasanya cerah dan selalu riang.

Melihat perubahan orang di depannya ini membuat hatinya merasa tidak enak.

“Lu gimana pulangnya nanti?” tanya Geonhak memecah keheningan.

“Oh iya.. Paling nanti aku jalan sendiri aja pulangnya,” jawabnya sambil berpikir.

Geonhak menatapnya kurang yakin, “beneran..?”

Dongju pun terdiam, bayang-bayang kejadian semalam di rumahnya kembali berputar, membuat dirinya menjadi ragu-ragu untuk pulang.

Tak lama, Dongju kemudian mengangguk, masih agak ragu sebenarnya.

Meskipun ia nanti akan pulang, ia masih bertanya-tanya, pulangnya kemana?

Dan mereka hanya saling berdiam-diaman, menunggu hujan di luar apartemen Geonhak untuk mereda.


Dongju melangkahkan kakinya lesu, ia tak ingin pulang.

Ah, harusnya tadi geonhak tak menemuinya ketika dirinya sedang begitu, ia tidak ingin ada yang mengetahui tentang kegelapannya. Ia tak ingin jika kegelapannya nanti akan memengaruhi orang yang mengetahuinya juga.

Makanya ia selalu tersenyum di sekolah, selalu menebar candaan ringan, tertawa bersama 'teman-teman'nya.

Ah iya.. Status 'teman' mungkin hanya untuk formalitas saja.

Ya tapi bagaimana pun juga, memiliki 'teman'lah yang membuatnya masih tetap berjalan di bumi ini. Meskipun ia kurang suka, ia tetap harus melakukannya, supaya tetap hidup.

Dan entah bagaimana ia sangat menyukai kehadiran Geonhak di sampingnya. Ia.. ingin bersama Geonhak saja.

Huh, padahal belum terlalu kenal dekat, tapi sudah berpikiran seperti itu.

“Aneh,” rutuknya pada dirinya sendiri.

“Dongju pulang,” ucapnya pelan. Tidak ingin mencari masalah, ia langsung menuju kamarnya, kemudian langsung mandi.

Tiada hari tanpa rusuhnya pertengkaran dua orang yang disebut 'ayah dan ibu'nya. Dan yang selalu dibela pasti selalu kakak kembarnya— Dongmyeong.

Dongju di rumah hanya sebagai 'pelampiasan', anggapnya.

Semuanya membuatnya lelah. Juga nilainya di sekolah tidak selalu bagus, menyebabkan dirinya selalu dapat amukan dari ibunya, kemudian dibandingkan dengan kakak kembarnya.

Kalau ada yang salah pasti selalu dirinya yang disalahkan. Membuat dirinya yakin bahwa kodratnya hidup di dunia sepenuhnya salah.

Tiada hari juga tanpa pikiran yang cukup suicidal.

Ia sungguh lelah. Ia tak punya siapa-siapa untuk menuangkan semua keluh-kesahnya. Alhasil ia hanya menge-tweet-kan beberapa di akun kosongannya.

Kalaupun ia ingin curhat, ia tak bisa. ujungnya pasti akan selalu tertahan, dipendam semuanya, sendirian. Menyakiti diri sendiri dari dalam. Jadi ia hanya bisa menuangkan sedikit dari pikirannya di twitter.

Kadang kalau ia sudah tidak kuat, ia akan melakukan self harm. Satu-satunya cara ia bisa melampiaskan emosinya selain menangis.

Dongju menaruh hpnya di sampingnya setelah mengetweet sesuatu. Kemudian menghela napas sesenggukan— tapi tidak bisa menangis. Ia menenggelamkan wajahnya di bantalnya.

Ingin menangis, tapi sudah tidak bisa.

Tuhan.. Dongju ingin menyerah.