우리 시간 (Our time)


Chapter 5


Dongju telah merencanakan movie marathon date untuk malam ini di kamar Gunhak. Menggunakan mini proyektor miliknya.

Ia pernah membeli mini proyektor tapi belum pernah ia gunakan sama sekali. Jadi semalam ia meminta saudara kembarnya untuk membawakan mini proyektornya.

Ia sudah ijin kepada dokternya kalau akan berada di kamar Gunhak sampai larut. Atau mungkin menginap.

Ia merencanakan untuk melakukannya di kamar Gunhak agar kekasihnya itu tidak perlu susah-susah berjalan. Kasihan melihatnya.


Hari sudah menjelang malam, jam menunjukkan pukul 5 dengan jarum panjang di angka 6. Dongju mempersiapkan camilan-camilan yang bisa dimakan tengah malam. Membawa tas tentengnya yang berukuran sedang, berisi laptop dan mini proyektor miliknya. Kemudian ia beranjak menuju ke kamar pacarnya.

Seharian ini ia hanya makan, minum, dan meneruskan menulis surat untuk toples. Hari ini sudah terdapat sekitar 21 surat di dalam toples tersebut.

Ia sangat tak sabar untuk memberikannya kepada Gunhak kalau sudah selesai.

Semoga ia bisa menuliskannya sampai 100.

100 kalimat yang menyatakan betapa ia sangat mencintai Gunhak, merasa beruntung memilikinya. Bagaimana ia selalu kagum padanya. Dan juga ada beberapa surat yang bagaikan mesin waktu— entah bisa membawanya kembali ke masa lalu maupun fokus ke masa depan.

Semuanya ia curahkan di dalam toples itu.

Sesampainya di kamar Gunhak, ia mengetuk pintunya beberapa kali, namun tak ada jawaban. Jadi Dongju langsung menyelinap masuk.

'Gunhak kemana..'

Kalau berada di kamar mandi, harusnya terdengar suara air mengalir.

Tidak mau memusingkannya, ia langsung memasang mini proyektornya.


Selang 45 menit, Gunhak baru kembali.

Dongju yang sudah selesai menyiapkan semuanya langsung menatap ke arah pintu ketika mendengar suara pintu dibuka.

“Abis darimana?” tanya Dongju penasaran, menaruh ponselnya di meja, kemudian mengambil laptopnya dari tas tentengnya.

“Abis konsul sama dokter,” jawab Gunhak, masih berdiri di ambang pintu.

“Ooh.. Lama banget?”

“Gatau tuh emang dokternya. Yang aku ngerti cuma sedikit. Haduh,” Gunhak berjalan masuk.

“Yee, parah banget dokternya ngejelasin tapi kamunya malah ga ngerti. Gimana sih,” canda Dongju sambil membuka laptopnya.

“Mau nonton apa nanti?” tanya Gunhak mengganti topik, sebelum mencuci tangannya di wastafel kamar mandi.

“Hmm, ada deh,” lalu tertawa kecil.

“Kamu udah ijin doktermu? Ntar kalo kemaleman gimana? Kalo kamu ketiduran di sini gimana?” tanya Gunhak lagi.

“Sshhhtt, nanyanya banyak amat, bos.” Matanya mendelik ke arah Gunhak yang terkekeh. “Iyaa, aku udah ijin. Ngga apa-apa kata dokternya, bisa nginep juga di sini. Lagian juga kan masih satu rumah sakit. Satu lantai pula, cuma beda lorong,” jelas Dongju sambil memencet tombol play film-nya. Gunhak mengangguk mengerti.

Sementara Gunhak duduk, Dongju kembali berdiri untuk mematikan lampu kamar, lalu mengambil sebuah roti bungkus dan sebotol susu sebelum kembali duduk di kasur.


Jam dinding menunjuk angka 8 dengan jarum panjang menunjuk angka 5. Baru satu movie yang disetel tapi Dongju sudah menangis karena adegan di perempat akhir.

Mereka menonton 'Five Feet Apart'. Menceritakan bagaimana kisah cinta dua pemuda-pemudi yang mengidap penyakit mematikan. Tapi yang satu berhasil menjalankan operasinya jadi ia masih bisa menjalankan hidupnya, sementara yang satunya lagi tidak akan bisa bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama.

Kurang lebih nasibnya hampir sama dengannya.

Selama menonton, mereka hanya makan camilan dan saling berbisik untuk mengobrol. Dengan posisi Dongju yang menyender ke Gunhak. Sementara Gunhak menyender ke kasurnya yang diposisikan tegak dengan kakinya yang diluruskan.

Tiba-tiba Dongju terbatuk, membuat Gunhak yang tadinya sedih juga menjadi panik. Tangannya langsung mengambil kotak tisu yang berada di meja sampingnya, lalu langsung memberikan beberapa lembar ke Dongju. Dan ternyata bukan hanya batuk— muntah juga. Gunhak langsung bangun, tapi lupa kalau kakinya tak bisa berjalan biasa jadi ia hanya menyuruh Dongju bergegas ke wastafel kamar mandi.

Dongju mengelap sisa darah yang ada di mulut dan bibirnya. Rasa darahnya aneh. Tapi ia sudah terbiasa dengan ini semua—muntah dan batuk berdarah, kadang pun ada nanahnya. Terkadang darah yang dikeluarkan bisa sedikit, bisa pula banyak, sampai terkadang ia menangis di kamar mandi karena perut dan tenggorokannya yang kesakitan.

“Astaga.. Harusnya tad-i gausah sampe nang-is nontonnya, jadi-nya kan gabakal beg-ini..” lirih Dongju sambil mencuci mulutnya.

Ia menatap dirinya di cermin, kacau sekali. Padahal hanya menangisi sebuah film.

Dongju berjalan keluar dari kamar mandi, kemudian langsung menghampiri Gunhak yang duduk di kasur menunggunya.

“Sakit banget ya?” tanya Gunhak sambil menangkup pipinya.

Dongju hanya mengangguk. Tenggorokannya masih terasa sakit, ia tak mau mengeluarkan suara dulu.

“Ututu, sayang..” Ia menghapus air mata yang masih menetes di pipi Dongju. Kemudian mengecup kedua pipinya supaya pacarnya merasa baikan.

“Ga ada yang mau donor tulang sumsum apa ya..” Suara Dongju terdengar serak. Kemudian berangsur memeluk Gunhak, mencari kehangatan di pelukan manusia favoritnya.

Sementara Gunhak hanya diam. Ia juga berharap ada yang mau mendonorkan tulang sumsum untuk Dongju.

He can't imagine a world with him gone.

“Berdoa aja ya, by, semoga ada yang berbaik hati,” Gunhak membalas pelukannya.

“Tapi jangan kelamaan.. Keburu udah ga sempet-hiks,” Dongju memeluk Gunhak makin erat.

“Ya, makanya berdoa, sayang. Aku juga ga sanggup liat kamu kesakitan begini terus,” ucapnya sambil mengelus kepala Dongju.

Lagi, Dongju mengangguk.

“Ini nontonnya udahan?” tanya Gunhak, “Udahan aja deh ya, sedih begitu nanti kamu ga kuat,” lanjutnya. Dongju mengangguk lagi.

Gunhak mematikan laptop dan proyektornya, kemudian menaruhnya di meja di samping kasurnya.

“Sini, ayo tidur,” ajak Gunhak. Kasurnya ini lumayan besar untuk kapasitas satu orang. Jadi mungkin cukup untuk mereka berdua.

Dongju naik ke kasur, kemudian duduk di samping Gunhak yang menghadapnya.

Gunhak menangkup pipi Dongju lagi, “Udah, yaa. Rasa sakitnya nanti bakal berkurang kok, udah cup cup sayang~” Gunhak mencium kedua mata Dongju yang sembab. Kemudian turun menciumi kedua pipinya, lalu ujung hidung, kemudian di bibirnya.

“Nah, udah, ritual penyembuhannya sudah dilaksanakan, Tuan Putri!” ucap Gunhak seraya menunjukkan sikap hormat, kemudian terkekeh.

Dongju hanya tersenyum kecil. Ia sangat senang bisa memiliki Gunhak disisinya selama hidupnya— juga selama sisa hidupnya.

Dongju berbaring di samping Gunhak, memeluk tubuh besar pacarnya itu. Andai ia bisa memberhentikan waktu, ia akan melakukannya sekarang.

Tidak pernah ingin melepas pelukan hangat kesukaannya ini.

Tidak pernah ingin melihat kesedihan di wajah kekasihnya.

Tidak pernah ingin meninggalkan manusia favoritnya selamanya.

“Makasih,” ucap Dongju tiba-tiba.

“Karena?”

“Makasih, selalu ada di sampingku, apapun situasinya. Makasih banget.”

Gunhak merasa seperti itu adalah kalimat perpisahan, tapi kan belum waktunya. Tidak mau berpikiran negatif, ia mencium pucuk kepala Dongju.

“Makasih juga, udah bertahan sampe sekarang. Keep fighting, baby.”


to be continue