우리 시간 (Our time)


Chapter 2


“Udah siap, sayang?” tanya Gunhak menunggu di depan pintu.

“Hmm, sebentar lagi,” balas Dongju dari dalam kamar inapnya.

Gunhak pun menunggu sambil membalas pesan teman-temannya di ponselnya. Dongju tiba-tiba menarik pintu yang disenderi Gunhak, membuat si tubuh lebih besar hampir terjungkal ke belakang.

“Eh, astaga, maap. Kukira ga ada orang depan pintu,” Dongju beralasan.

“Lah kan ni pintu ada jendelanya, masa kaga kliatan?” Gunhak mengerutkan dahi.

“Engga.”

“Lah aku dikira apaan.”

“Anak ayam. Hihihi, kaburr.” Dongju langsung berlari menuju lift meninggalkan Gunhak yang masih berdiri kebingungan.

Kenapa semua orang bilang kalau dirinya ini anak ayam? Dia kan tidak ada miripnya dengan anak ayam.

“Ish aneh dasar,” decak Gunhak, lalu terkekeh.

Gila memang dirinya ini. Ia pun tak mengerti

“Cepetan dih, ini pintu lift ga terbuka selamanya!” seru Dongju dari dalam lift dengan tangan kanan yang menahan tombol lift dan tangan kiri yang melambai ke arah Gunhak, menyuruhnya untuk melangkah lebih cepat.

“Dih sabar napa,” kesal Gunhak saat memasuki lift.

“Hehehe, maap beb,” ucap Dongju sambil nge-pout. Ya bagaimana Gunhak bisa marah, pacarnya saja imut begini.

“Untung sayang.”

“Kalo engga?”

“Aku terkam,” Gunhak mennyeringai aneh. Membuat Dongju agak kesal.

“Dih apaan si aneh banget,” dia melayangkan tangannya ke lengan Gunhak, “lagian mana bisa sih anak ayam nerkam-nerkam,” ledek Dongju lagi.

Gunhak berdecak, “ck, aku bukan anak ayam.”

“Iyaudah serah. Aku liatnya kamu itu anak ayam kesayangan.”

Gunhak yang mendengarnya merasa tersipu. Ingin tersenyum salting karena dibilang 'kesayangan', tapi ia tahan.

ting

Pintu lift terbuka di lantai dasar rumah sakit, menampilkan orang-orang yang mengantri menunggu di depan pintu lift-nya. Gunhak dan Dongju berjalan beriringan keluar dari lift, membiarkan orang yang mengantri berjalan masuk.

“Kamu beneran boleh jalan-jalan keluar area rumah sakit nih?” tanya Gunhak mencoba mengalihkan topik.

“Iya, boleh kok. Kata dokter pulangnya ga boleh malem larut tapi. Ini dibawain obat juga klo tiba-tiba kenapa-napa,” jelas Dongju.

“Ooh, oke. Berarti maksimal pulangnya jam 10 ya?” Gunhak mengeluarkan kunci mobilnya. Memencet tombol yang berlambang unlock.

“Iya.” Mereka berdua memasuki mobil.

“Siap, Tuan Putri,” goda Gunhak sambil mengedipkan sebelah matanya, meskipun gagal. Men-starter mesin mobilnya, kemudian keluar dari area parkir rumah sakit tersebut.

Dongju tertawa, “Apasih, belajar wink dulu yang bener atuh. Trus juga, aku princess ni ceritanya?”

“Ngga. Wewe gombel,” canda Gunhak, mendapatkan sebuah pukulan di lengan kirinya. “Aduh gila sakit banget,” ringisnya.

“Jahat banget aku dikatain wewe gombel,” Dongju memanyunkan bibirnya lagi.

Gunhak terkekeh gemas. “Maaf sayang, becanda.”

“Hm,” balas Dongju singkat. Merajuk.

“Hmm, mau makan dimana? Ke kafe deket kampus mau?” tawar Gunhak, mencoba membujuk Dongju supaya berhenti merajuk.

“Hmm.. Terserah.”

“Tapi agak jauh sih..” pikir Gunhak.

“Ya terserah.”

“Ish terserah mulu. Lagi IMS apa gmn?” Gunhak menoleh kearah Dongju sekilas.

“Hm.” Dongju asik memainkan ponselnya. Mengacuhkan Gunhak yang menanyainya sambil menyetir.

“Hahaha ya ampun,” Dongju tertawa karena candaan salah satu temannya di grupnya. Membuat Gunhak menoleh penasaran.

“Dih, aku dikacangin,” ambek Gunhak, mencoba mencari perhatian Dongju yang lagi-lagi tak menggubrisnya.

“Ck.” Gunhak berdecak kesal karena Dongju daritadi mengacuhkannya. Kemudian ia diam fokus menyetir. Mencoba mengacuhkan Dongju balik. Supaya impas.

“Lah mana bisa gitu,” Dongju bergumam membalas pesan teman-temannya. Membuat Gunhak menoleh karena berpikir Dongju memberinya perhatian. Saat sadar kalau dia hanya menggumamkan balasan pesan, ia kembali fokus menyetir. Agak menyakitkan diacuhkan begini.

Dan selama perjalanan Gunhak hanya menyetir sementara Dongju terus-terusan bergumam sambil menjawab pesan teman-temannya. Suasananya terasa aneh bagi Gunhak.

Karena tidak biasanya Gunhak diacuhkan seperti ini. Biasanya mungkin hanya sebentar. Tapi ini sekitar 45menit perjalanan ia masih diacuhkan.

Bingung.

Salah apa lagi dirinya sampai diacuhkan begini?

Bukannya tadi hanya ada candaan saja?

Apa candaannya berlebihan?

“Aih, jadi overthinking kan, ah,” Gunhak bergumam, hampir tidak terdengar Dongju yang berada di sebelahnya. “Lagian juga kenapa masalah gini dipikirin ampe sono sih ah.”

Setelah selesai memarkirkan mobilnya di lahan parkir sebuah toko buku, Gunhak keluar duluan. Meninggalkan Dongju yang bingung di dalam mobil.

“Lah.. Keluar duluan dia, kesel kali ya. Apa aku keterlaluan?” Dongju berkata pada dirinya sendiri. Kemudian beranjak keluar dari mobil.

Melihat sekitar, dirinya langsung bergumam, “Loh, bukannya tadi mo ke kafe? Ngapa malah ke toko buku..” Kemudian dirinya berlari kecil mengejar Gunhak yang sudah masuk ke dalam bangunannya.

Setelah menyesuaikan langkahnya dengan Gunhak, ia buka mulut. “Bae, katanya mau ke kafe?”

“Mau kesini dulu,” jawabnya singkat.

'ya ampun marah beneran ya dia..'

“O-oh, mau nyari buku?” tanya Dongju mencoba mencari topik.

“Nyari pintu kemana saja. Ya menurutmu?” jawab Gunhak ketus.

“Y-ya maap.. Kan bisa aja nyari alat tulis atau apa gitu..” Dongju mencoba beralasan. Yang dibalas dehaman oleh Gunhak.

'Ya ampun, Bae.. Maapin, hiks,' batin Dongju.

Dongju hanya berjalan mengekori Gunhak yang memilih-milih buku novel. Setelah beberapa menit, akhirnya mereka keluar dari gedung. Hanya Gunhak yang membeli buku.

Dan selama bermenit-menit di dalam sana, Dongju dan Gunhak sama sekali tidak mengeluarkan kata pada satu sama lain.

Membuat Dongju merasa bersalah. Tapi ini bagian dari rencananya. Dia yang memulai. Tapi ketika di mobil tadi dia jadi merasa bersalah dan tidak jadi mengacuhkan Gunhak. Dan sekarang malah dirinya yang diacuhkan.

Huh, ini konsekuensinya. Mau tidak mau ya harus potek sendiri.

Selama di mobil menuju ke kafenya pun begitu, saling mengacuhkan satu sama lain. Tidak ada obrolan sama sekali. Hanya ada suara radio yang memainkan beberapa musik dan terkadang penyiarnya yang berbicara.

Dongju merasa seperti mereka ini tidak saling kenal. Hanya kebetulan menumpang di kehidupan satu sama lain.

Sadar dari lamunannya, Dongju kembali memainkan ponselnya Men-chat teman-temannya di sebuah grup.

Sementara Gunhak, ya sibuk menyetir. Dia tidak menggubris Dongju. Padahal sebenarnya dalam hati ingin sekali minta maaf ke pacarnya itu karena telah mendiamkannya secara berlebihan. Tapi ia merasa jika minta maaf di situasi seperti ini akan terasa konyol, entah kenapa.

Ia merasa yang dia lakukan ini berlebihan. Jelas-jelas Dongju mengajaknya bicara. Tapi dengan bodohnya malah didiamkan.

“Bodoh,” Gunhak merutuki dirinya sendiri. Dan terdengar oleh Dongju, sampai ia menoleh bingung.

“Siapa yang bodoh?” tanyanya.

'Mampus,' batin Gunhak.

“Aku,” jawabnya jujur.

Dahi Dongju mengkerut, bingung. Karena merasa bahwa dirinya lah yang dirutuki Gunhak.

“Bohong. Pasti aku.” Dongju menunduk. Memainkan ujung bajunya.

“Engga. Bukan kamu. Aku yang bodoh,” jawab Gunhak. Ia tak mau Dongju menangis dan kambuh karena rutukannya yang memang ditujukan kepada dirinya sendiri.

“Beneran bukan aku?” Dongju menoleh lagi. Matanya berkaca-kaca, seperti emot memelas.

Gunhak merasa gemas sekaligus kasihan melihat Dongju. “Iya, sayang. Aku yang bodoh. Maaf ya. Dah yuk turun, udah nyampe,” ajak Gunhak.

Sebenarnya daritadi mereka sudah sampai di kafe tujuan awal. Cuma masih belum turun.


Jam menunjukan angka 6, Gunhak akan mengantar Dongju kembali ke rumah sakit inapnya. Sebelum terlalu larut.

Untungnya Dongju tidak kambuh seharian ini. Ia tak mau terjadi apa-apa padanya, makanya setelah Dongju menghabiskan makannya, ia akan langsung mengantarnya pulang.

Gunhak pergi ke toilet sebentar, meninggalkan Dongju dengan makanannya yang sudah habis.

Waktunya Dongju kabur.


to be continue