우리 시간 (Our Time)


Chapt. 1


“Tinggal kurang dari dua bulan lagi ya..” ucap pemuda berambut pirang pada kekasihnya.

“Hmm.. I-iya..” jawabnya.

Berusaha menghangatkan suasana, pria yang berpostur tubuh lebih kecil menyahut, “ayo kita manfaatkan waktu yang tersisa dengan baik, okee?” sambil tersenyum manis.

Gunhak membalas senyuman manis kekasihnya itu. Dari setengah tahun waktu yang didiagnosis dokter, sekarang hanya tersisa 2 bulan lagi. Waktu ternyata berlalu begitu cepat. Terlalu cepat bahkan mungkin dirinya tak akan menerima keadaan nantinya.

Kim Gunhak, pemuda berambut pirang berumur 22 tahun, mengencani seorang pemuda yang mengidap leukimia semenjak dirinya lulus SMA.

Son Dongju, kekasih kesayangan Gunhak. Berumur 20 tahun. Menghabiskan waktu bersama Gunhak dengan ditemani infus yang mungkin akan menjadi sahabatnya. Didiagnosa oleh dokter mengidap leukimia sejak sekitar tiga tahun lalu. Dan ternyata waktunya di bumi hanya tinggal sebentar lagi.

“Iya, tapi jangan terlalu sering keluar-keluar nantinya, nanti kamu kenapa-napa,” jawab Gunhak khawatir. Yang lagi-lagi dibalas senyuman manis dari Dongju.

“Gapapa, jangan terlalu khawatirin aku. Nanti kalo terlalu mikirin aku, aku bisa pusing lohh,” sahut Dongju.

Gunhak bingung, “kok pusing?”

“Iya, kan aku muter-muter di kepala kamu. Hehehe,” cengirnya.

Gunhak hanya terkekeh mendengar jawaban kekasihnya.

Mereka sedang duduk di bangku di taman rumah sakit, tempat Dongju di rawat. Sesekali menyapa beberapa anak kecil yang melewati mereka. Ada yang ditemani orang tuanya, ada yang bermain bersama teman-temannya, ada yang sendirian, entah membaca buku atau mendengarkan musik.

Suasana taman begitu tenang di sore hari ini. Pemandangan langit gradasi oranye-pink terhampar di atas kepala. Burung-burung beterbangan melintasi langit. Angin semilir yang berhembus, menggesek dedaunan di pohon-pohon. Awan putih yang memantulkan cahaya matahari yang hendak menyinari bagian bumi lain. Semuanya terasa begitu tenang, sampai Gunhak mendengar Dongju batuk.

Gunhak yang tadinya menikmati pemandangan langit langsung menoleh ke arah Dongju. “Ma-mau plastik? Ada plastik?” tanya Gunhak panik. Mencoba merogoh sakunya, barang kali ia membawa kantong kresek berukuran kecil yang dilipat. “A-apa mau sapu tangan saja?”

Iya, dia tau melontarkan pertanyaan seperti itu takkan mungkin dijawab Dongju yang sedang terbatuk. Ia sedang panik. Menemukan sebuah sapu tangan di saku celananya, langsung ia berikan kepada Dongju.

Dongju langsung menutupi mulutnya dengan sapu tangan milik Gunhak. “Uhuk, uhuk, hoekk.”

Ketika ia jauhkan dari mulutnya, beberapa tetes darah kental terlihat menempel di sapu tangan milik Gunhak. Ia jadi tak enak hati telah mengotori sesuatu yang bukan miliknya.

“Y-yah, k-kotor.. Maaf,” ucap Dongju merasa bersalah.

“Ssshh, jangan minta maaf dulu. Gausah minta maaf. Mau ke kamar aja? Ayo aku anterin,” rujuk Gunhak.

“Tap-pi ini, sapu t-tangan kamu jadi ko—”

“Ssshh, dibilangin udah. Ayo ke kamar aja. Kecapekan pasti kamu,” Gunhak bersikeras.

“Oke deh.. Mulai agak pusing juga, ini.”

Gunhak langsung berdiri, menuntun kekasihnya kembali ke kamarnya yang berada di lantai tiga gedung tersebut.


Ceklek

“Nah, ayo ganti baju dulu,” omel Gunhak sambil menutup pintu di belakangnya. Membiarkan Dongju masuk terlebih dahulu.

“apasih, kayak emak-emak tau ga,” ucap Dongju kesal, tapi tetap tersenyum mendengarnya. Ia mengambil bajunya yang berada di koper sedang miliknya. Gunhak masuk ke kamar mandi untuk membersihkan sapu tangannya di wastafel. Hanya sebentar.

“Dih, gini-gini aku perhatian. Cepetan ganti baju,” Gunhak melangkah keluar dari kamar mandi mengomel sembari mengibas-ngibas sapu tangannya yang setengahnya basah.

“Iya, eomma,” jawab Dongju usil, lalu masuk ke kamar mandi sambil tertawa.

“Heh, dasar.” Gunhak duduk di kursi yang disediakan. Sapu tangannya ditaruh di meja di sebelahnya. Pikirannya berkelana ke skenario kejadian tadi sore.


Tadi mereka melukis di kanvas masing-masing, sambil duduk di rerumputan. Dongju melukis pemandangan dominan warna putih dan terang yang.. sulit diartikan. Sementara Gunhak melukis wajah cantik kekasihnya itu. Ketika selesai, Gunhak bertanya pada Dongju, “Kamu ngelukis apa?”

“Pemandangan..,” jawabnya agak kurang meyakinkan.

“Kok jawabnya ragu gitu? Kenapa?” tanya Gunhak penasaran.

“Gatau.. Ini.. sering muncul di mimpiku akhir-akhir ini. Yang kulihat hanya putih, putih awan, di mimpiku semuanya terasa begitu.. ajaib, jadi kutambahkan saja unicorn di pojok sini. Heheh,” jelas Dongju.

Gunhak yang menyimak entah kenapa mendapatkan perasaan tak enak dari lukisan dan mimpi Dongju.

“Kenapa?” tanya Dongju agak khawatir.

“Oh, gapapa.”

“Itu punyamu, ngelukis apa tadi?” tanya Dongju sambil menunjuk ke kanvas yang sedari tadi didekap oleh Gunhak.

“Ah? Oh, ini. Aku melukis.. Wajahmu yang cantik.”

Dongju yang mendengarnya langsung tersipu.

“Iya, kurang sempurna, tidak sesempurna wajah aslinya. Aku mungkin akan melanjutkan ini nanti,” jelas Gunhak.

Dongju makin tersipu. “Ck, gombal.”

Gunhak yang sedari menjelaskan tadi menunduk, langsung menoleh ke wajah Dongju. Tersenyum, Gunhak menyahut usil, “apasih, siapa yang gombal, dih.”


Hyung?” panggil Dongju, sontak membuyarkan lamunan seorang Kim Gunhak.

Ne?” jawabnya. Pikirannya masih berada di skenario tadi sore.

“Kok bengong? Mikirin apa?” tanya kekasih imutnya. Matanya menyiratkan kekhawatiran.

“Tinggal kurang dari dua bulan lagi ya..” lirih Gunhak. Merasa sedih karena waktu berjalan dengan cepat belakangan ini. Andai dia bisa memberhentikan waktu, dia akan melakukannya sekarang. Tidak ingin kehilangan kekasihnya dengan begitu cepat.

Sruk

“Iya.. Makanya kubilang tadi kita harus bisa manfaatin waktu dengan baik. Aku juga gamau pergi begitu cepet. Aku gabakal bisa ngerasain hangatnya pelukan ini lagi nantinya..”

Mata Gunhak berkaca-kaca mendengar kedua kalimat terakhir. Dia juga tak mau melepas rengkuhan hangat ini.

“Hiks- Ke-napa a-aku harus be-gini..” tangis Dongju pecah di pelukan Gunhak.

Gunhak duduk memangku Dongju yang sedang menangis di pundaknya. Tangan besarnya mengusap-usap pucuk kepalanya.

“Coba a-ja aku ga- begini- hiks, aku pas-ti masih bisa h-idup lebih l-lama.. Ak-u pasti ga- bakal bi-kin kamu sedi-h, aku ma-sih bisa me-luk kamu kay-ak gini-” ucap Dongju disela tangisannya. Terdengar begitu menyedihkan.

Gunhak melepaskan pelukannya. Lalu menangkup kedua pipi Dongju di depan wajahnya, hanya memberikan jarak sekitar 2cm dari ujung hidung masing-masing.

“Sshh, udah sayang, kamu jangan kebanyakan mikir kayak gitu. Ga baik berpikiran begitu terus-terusan, menyalahkan diri sendiri padahal kamu ga salah apa-apa,” ucap Gunhak berusaha menenangkan Dongju.

Hidung Dongju memerah lucu karena terisak tadi. Membuat Gunhak merasa gemas sendiri melihatnya.

Dongju hanya memperhatikan Gunhak dengan matanya yang sendu dan basah.

“Aku merasa beruntung banget bisa ketemu manusia cantik nan manis seperti kamu. Sanggup pengertian ke aku, nemenin aku, banyak deh. Gapeduli seberapa banyak kekuranganmu, aku bakal tetep sayang kamu.”

chup

“Makanya, kayak katamu tadi, kita harus bisa manfaatin waktu sebaik mungkin. Jangan ada rasa penyesalan di akhir nanti. Okey?”

Entah sudah berapa kali dirinya digombalin seperti ini. Tapi lagi-lagi jantungnya tak mampu menahan degupan yang begitu kencang. Membuat pipinya memunculkan semburat merah muda.

Mengangguk pelan mengiyakan, lalu kembali memeluk Gunhak. Kembali merasakan kehangatan yang ia suka. Mengendus ceruk lehernya yang wangi karena cologne yang dipakainya. Ia suka.

Ia suka semua yang dimiliki Gunhak.

“Aku juga sayang kamu,” bisik Dongju di pundak Gunhak.

“Aku lebih sayang kamu,” balas Gunhak berbisik.


to be continue