우리 시간 (Our time)
Chapter 4
Sudah 3 hari mereka tidak saling sapa. Berada di ruangan masing-masing terasa sangat membosankan. Tidak bisa saling bertatap muka, melepas rindu meski baru 3 hari. Tidak bisa saling berpelukan, saling bertukar cerita, saling menyemangati. Mereka ingin bertemu.
Selama 3 hari itu kondisi Dongju sedang drop karena kelelahan. Jadi ia disarankan oleh dokter untuk beristirahat dulu sampai merasa lebih baikan.
Dan selama 3 hari itu pula Gunhak belajar berjalan lagi—layaknya anak bayi. Ia ingin menemani Dongju lagi. Ia ingin melihat senyum dan tawa Dongju lagi sebelum semuanya terlambat. Ia ingin memeluk Dongju lagi, sebelum semuanya terlambat. Makanya ia sangat bersemangat untuk belajar berjalan lagi. Menggunakan tongkat penopang tentunya.
Kenapa tidak pakai kursi roda? Ribet, kalau kata Gunhak. Ia ingin langsung belajar jalan supaya ia bisa minimal menikmati waktu berdua dengan Dongju tanpa ribetnya kursi roda.
Tapi nanti Dongju lah yang akan menggunakan kursi roda..
Hari ini, ia sudah tidak perlu bantuan Youngjo dan Keonhee untuk berjalan menggunakan tongkat pemapahnya. Dan hari ini pula, ia akan menjenguk Dongju yang berada di kamarnya.
Menurutnya, berada di rumah sakit ini mempermudahnya untuk bertemu Dongju. Tapi ia tidak suka berada di kamarnya terus-terusan. Tangan kanannya yang tersambung selang infus kurang bisa ia pakai untuk bermain game di ponselnya, membuatnya benar-benar bosan berada di kamarnya.
Ya mau gimana lagi, dirinya terlalu ceroboh sampai bisa dirawat seperti ini.
tok tok tok
“Iyaa, sebentar.”
Jam menunjukan pukul 10 pagi. Tidak mungkin ada penjenguk datang sepagi ini. Biasanya teman-teman maupun keluarganya sedang sibuk. Gunhak pun biasanya datang jam 11—kalau sedang tidak sakit.
Dongju yang sedang membaca buku langsung beranjak dari kasurnya untuk membuka pintu kamarnya.
Melihat sosok yang berdiri di ambang pintu membuatnya terkejut, lalu berangsur memeluknya. Yang dipeluk hampir kehilangan keseimbangan karena pelukan yang begitu mendadak.
“Kangen banget..” ucapnya.
“Baru tiga hari, by,” balas Gunhak sambil mengelus kepala Dongju.
“Ya tapi itu lama.” Dongju melonggarkan pelukannya, lalu cemberut menatap Gunhak.
Gunhak mendengus, “Iya, tapi tiba-tiba berasa cepet. Taunya udah tiga hari kan kita ga ketemu? Termasuk cepet menurutku.”
“Lama-lamain aja sih,” balas Dongju. Masih memeluk leher Gunhak.
“Andai bisa, by,” Gunhak membalas dengan nada yang terdengar sedih.
“Ayo masuk aja, by, masa begini di lorong rumah sakit,” kata Gunhak melepas pelukan mereka.
“Oiyah.” Dongju berjalan ke dalam, lupa kalau pacarnya menggunakan alat bantu untuk berjalan. “Eh iya ya ampun lupa aku, maaf, Bae. Sini ayo masuk.” Dongju langsung membantu pacarnya berjalan masuk ke kamarnya.
“Heuh aneh, pacar sendiri kelupaan,” kesal Gunhak.
“Ya lagian kamu aneh-aneh.”
“Ya lagian kamu ngilang.”
Dongju mematung. Gunhak sebenarnya masih marah padanya?
Ia berbalik, “Maaf,” ucapnya.
“Ngapain minta maaf sih,” tolak Gunhak.
“Ya.. Karena aku salah,” Dongju mengaku.
“Kemaren kamu udah minta maaf.”
“Masa bodoh, aku minta maaf pokoknya,” Dongju memaksa. Ia memang merasa bersalah karena ide buatannya sendiri.
“Aku udah maafin kamu. Kamu gausah ngerasa bersalah lagi. Lagi pula memang aku yang ceroboh menyetirnya,” Gunhak mendengus.
“E-ehm, oke..” Dongju mengangguk pelan.
Dongju mengambil ponselnya, kemudian membalas beberapa pesan dari teman-temannya. Sementara Gunhak duduk di kursi yang ada. Memperhatikan Dongju yang bisa seindah bidadari.
Kadang ia heran sendiri, kekasihnya ini manusia atau bidadari, sih? Kenapa bisa sangat indah dan mempesona? Dengan semua flaws-nya membuatnya terlihat sungguh flawless di mata seorang Kim Gunhak.
Gunhak memperhatikan sekitar, kemudian perhatiannya sampai pada sebuah jar yang berisi beberapa kertas kecil di atas meja Dongju.
“Itu apaan, by?” Gunhak bertanya sambil menunjuk benda yang dimaksud. Sementara yang ditanya bingung harus menjawab apa.
Iya, itu adalah hadiah untuk Gunhak. Ide yang membuat pacarnya bisa-bisa meregang nyawa lebih dulu darinya.
Ide awalnya hanya memberi sebuah surat kecil. Lalu ia selipkan di kantung baju yang ia beli kemarin. Tapi idenya ia ubah. Karena selama 3 hari ia merasa bosan, ia mengubah ide surat-suratan tersebut menjadi 'jar of love'.
Tujuannya membuatnya karena, pertama, ia bosan. Kedua, ia ingin Gunhak tau bahwa dirinya akan terus berada di sampingnya. Salah, berada di hatinya. Apapun kondisinya.
Kapan akan diberikan? Setelah sekiranya 100 surat kecil telah tertulis. Dan dari kurun waktu 3 hari kemarin, ia baru membuat sekitar 8 surat. Jadi mungkin hadiahnya ini akan diundur waktu pemberiannya.
“U-uhm, itu.. catatan obat yang udah kuminum dalam sehari. Heheh,” Dongju beralasan. Tapi itu memang benar. Ia memang minum beberapa obat dari dokter yang merawatnya. Dan terkadang kemoterapi setiap 3 minggu sekali. Kemarin ia baru melakukannya lagi.
“Oooh, obatmu berapa hari sekali?”
Mampus, ia tak pernah menghitung secara pasti berapa kali sehari ia minum obatnya. Ia hanya bergantung pada catatannya. Tapi catatan obatnya ia simpan di laci mejanya.
“Eum.. 2 kali, iya dua kali,” ia menjawab seingatnya. Dibalas dehaman mengiyakan dari Gunhak.
Keadaan menjadi hening selama semenit, sampai akhirnya Gunhak angkat bicara lagi.
“Gaenak banget duduk-duduk di sini doang. Aku pake ikutan sakit sih ah,” keluhnya. Dongju hanya terkekeh, “Ya lain kali hati-hati dibilangin.”
“Hehe, iya,” balasnya. Kemudian hening lagi sesaat.
“By, katamu tadi waktu itu berjalannya lama kan?” tanyanya kepada Dongju.
“Eum,” ia mengangguk.
“Andai beneran berjalan lambat, by.”
“Maksudnya?”
“Iya, akhir-akhir ini waktu berjalannya cepet banget. Ga sadar aja kan sekarang udah hari Rabu? Padahal kemaren berasa masih hari Sabtu. Tiga hari lagi udah Sabtu lagi. Waktu jadi berjalan cepet banget,” curhatnya.
Dongju merenung, iya, benar. Akhir-akhir ini memang berjalan dengan sangat cepat.
Yang berarti, ia akan pergi dalam kurun waktu yang dapat dibilang sebentar.
“Iyaya.. Tapi aku gamau pergi begitu cepet, bae. Nanti siapa yang nemenin kamu..” lirihnya.
“Jangan khawatirin aku.” Gunhak beranjak dari kursi, lalu berjalan ke kasur yang didudukin Dongju. “Khawatirin dirimu dulu,” sambungnya.
“Gaguna juga, aku ujungnya juga bakal mati.” Dongju menoleh ke arah Gunhak.
“Hus, omongannya.”
“Gimana? Emang bener kan?” tanyanya.
Gunhak tidak bisa membantahnya. Memang benar ia akan pergi. kankernya sudah memasuki stadium akhir. Chance of survival-nya lebih rendah.
Gunhak hanya bisa menghela napas. “Sini, sini.” Gunhak menggerakkan tangannya mengisyaratkan Dongju agar memeluknya.
“Aku gamau pergi, bae..” lirihnya di pelukan Gunhak.
“Ya, sama. Aku juga gamau kamu pergi,” balas Gunhak sambil mengelus kepala Dongju.
Menurutnya itulah yang paling ampuh untuk menenangkan Dongju; memeluknya sambil mengelus kepalanya. Dulu setiap ia melakukan itu Dongju pasti langsung tertidur di pundaknya. Mengorok lucu.
“Kamu pernah bilang bukan, kita harus bisa manfaatin waktu dengan baik?” tanya Gunhak.
“Iya..”
“Then, let's use the time we have left as best as we could. Jangan ada yang terlewat. Kita harus bisa lewatin ini semua bareng. Okay?” Gunhak menarik Dongju, lalu mendekatkan kepala mereka sambil menangkup pipinya.
“Even though we don't have much time left, we could still try to make it meaningful to each other. It's our time— the time is ours, we could do whatever we want. Makanya—”
“Kita harus bisa manfaatin waktu yang tersisa dengan baik,” ucap mereka berbarengan.
“Jangan sampe ada penyesalan di akhir nanti, yakan?” sambung Dongju sambil tersenyum.
“Benar sekalii~” Gunhak melakukan nose scrunch-nya tanpa ia sadari. Membuat Dongju yang melihatnya langsung terkekeh gemas.
“Ish lucu amat pacarku.” Dongju juga menangkup pipi tirus Gunhak. Kemudian memberinya kecupan.
“Heh mulai berani yaa?” tantang Gunhak. Kemudian balas mengecupnya.
“Ya lagian kamu gemesin. Siapa yang ga greget pengen nyium coba?”
“Aku ga gemesin.”
“Iya, kamu gemesin. Dah, no debat.” Lalu berangsur menghujani wajah Gunhak dengan kecupan.
“Apasih, geli tau,” Gunhak menjauhkan dirinya dari Dongju. Namun Dongju makin mendekati wajahnya sampai akhirnya mereka bertindihan. Gunhak di bawah, Dongju di atas.
“Kok begini posisinya?” tanya Gunhak.
“Posisi apa?” Dongju balik tanya, bingung.
“Ini. Kok malah kamu yang di atas? Bukannya kebalik?” goda Gunhak.
“APASIH.” Dongju langsung bangun dan melempari bantalnya ke arah Gunhak.
“Makasih loh, baydewey.”
“Apanya?”
“Udah naikin moodku. Pengen tidur di sini aja biar gausah jauh-jauh ke kamarmu.” Gunhak langsung menutup matanya.
“DIH MALAH TIDUR.”
“Biarin, aku ngantuk. Numpang ya, bentar aja. Nanti kalo udah mulai malem bangunin aku,” pintanya.
“Ogah,” jawab Dongju sambil terkekeh. “Bae, besok nobar yuk,” ajaknya. Ia memunggungi Gunhak yang berbaring. Dibalas dehaman mengiyakan.
Melihat pacarnya langsung tertidur, ia langsung lanjut menulis surat-surat kecil untuk mengisi toplesnya. Semoga sampai 100 surat sebelum kepergiannya.
to be continue